LOGIN"Mbak yakin? Apakah Mbak sudah cek semuanya dengan benar?" tanya Jasmine yang mulai panik, suaranya terdengar bergetar walau ia berusaha mati-matian untuk tetap terlihat tenang di hadapan resepsionis itu.
"Saya sudah cek dengan benar, Nona," angguk resepsionis tersebut, nadanya datar tanpa sedikit pun menyadari kepanikan Jasmine yang semakin menjadi-jadi.
Mendengar jawaban itu, tubuh Jasmine mendadak terasa lemah dan lunglai. Lututnya seakan kehilangan kekuatan, membuatnya hampir roboh jika saja ia tidak cepat-cepat berpegang pada meja resepsionis. Seketika hatinya berdesir hebat, dan napasnya terasa berat di balik cadar yang menutupi sebagian besar wajahnya.
"Astaghfirullahaladzim. Dimana kamu, Rosa?" lirih Jasmine, suaranya nyaris hilang. Genangan air mata terlihat berkumpul di pelupuk matanya, membuat dunia di depannya tampak kabur sejenak.
Kecemasannya telah memuncak. Jasmine sudah dikuasai rasa panik yang begitu mencekik, sampai-sampai ia nyaris saja putus asa. Ia tidak tahu harus melangkah kemana lagi untuk mencari adiknya. Semua petunjuk terasa buntu, membuat hatinya seakan diremas oleh tangan tak terlihat.
"Huhuhu. Ya Allah, dimana Rosa? Semoga dia baik-baik saja, Ya Robb." Tangis itu tak jatuh, tetapi suaranya terdengar lirih dan bergetar, menandakan betapa rapuh dirinya saat itu.
Karena tak menemukan keberadaan Rosa di hotel tersebut, Jasmine akhirnya memutuskan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin ia tempuh adalah pulang. Lebih lama berada di hotel seperti itu justru membuat dadanya semakin sesak. Terlebih saat ia melihat dua remaja lelaki dan perempuan yang masuk sambil berangkulan mesra, membuat Jasmine spontan memalingkan wajah dengan gerakan cepat. Tubuhnya bergidik penuh ketidaknyamanan, seakan tempat itu begitu asing dan penuh dosa.
"Ya, memang sudah seharusnya aku pulang," gumamnya lirih, mengangguk pelan pada dirinya sendiri.
Ia pun berbalik dengan langkah terburu-buru. Namun, baru saja ia memutar tubuh, matanya menangkap sosok seorang gadis berhijab yang sekilas—hanya sekilas—sangat mirip dengan Rosa.
Jasmine tertegun. Ia mematung seperti patung marmer yang tak mampu bergerak barang sedetik pun. Tatapannya melebar, menatap intens ke arah gadis bergamis panjang itu.
"Itu Rosa. Ya, itu memang Rosa." Jasmine mengangguk spontan, suaranya dipenuhi harapan yang sempat hilang. Kegembiraan melesat masuk memenuhi hatinya, seperti cahaya terang yang memecah gelap.
Sosok gadis berhijab itu berjalan cepat menuju lift, seolah tidak menyadari bahwa ada seseorang yang tengah mencarinya mati-matian.
"Masya Allah, Rosa!" seru Jasmine yang langsung berlari. Suaranya menggema di lobi hotel yang luas, namun ia tidak peduli.
Ia berusaha mengejar secepat mungkin, tetapi pintu lift keburu tertutup sebelum ia berhasil masuk. Jasmine menepuk-nepuk pintu lift itu dengan panik, seakan berharap lift tersebut akan terbuka kembali. Namun tentu saja itu percuma.
Jasmine lunglai, kembali kehilangan tumpuan harapan yang baru saja ia genggam. Nafasnya terengah, dadanya terasa semakin sesak, dan kecemasannya seperti gelombang besar yang menghantam dirinya berulang kali.
"Ya Allah, Rosa! Tunggu kakak!" serunya frustasi.
"Astaghfirullah, aku harus bagaimana lagi?" bisiknya, hampir menangis di tempat.
Saat ia menunduk, berusaha mengatur napas, pandangannya menangkap sebuah tangga darurat yang berada tidak jauh dari lift. Di sana, entah bagaimana, muncul seberkas harapan baru. Senyumnya muncul perlahan, sangat tipis, namun begitu tulus.
"Iya, aku bisa melewati tangga itu untuk mengejar Rosa," tekadnya dengan penuh semangat yang kembali pulih.
Tanpa ragu, Jasmine segera mengambil langkah panjang dan berlari menaiki tangga tersebut. Ia menelusuri lantai demi lantai, menahan napas, menahan letih, demi satu tujuan: menemukan Rosa.
Setibanya di lantai lima, lutut Jasmine terasa seperti hendak copot. Nafasnya tersengal-sengal, dan peluh membasahi dahinya hingga terasa pedih saat menyentuh kulit.
"Masya Allah, capek banget," keluhnya. Meski begitu, ia langsung menyeka keringatnya dengan ujung gamis, bersiap melanjutkan pencarian.
Saat ia mengangkat wajah, mendadak matanya kembali menangkap sosok gadis yang mirip Rosa tadi. Senyum lega terapung di matanya yang kembali berair.
"Rosa. Itu dia," gumamnya dengan suara lega yang tak bisa disembunyikan.
Jasmine segera berlari lagi, mengikuti adiknya dari kejauhan. Ia melihat dengan jelas bagaimana gadis itu berdiri di depan salah satu pintu kamar hotel, lalu masuk.
"Ya Allah, apa yang Rosa lakukan kesana? Kenapa dia masuk ke kamar itu?" kecemasannya menggulung kembali, jauh lebih besar dari sebelumnya.
Ia menghampiri kamar tersebut dengan hati-hati namun tergesa-gesa. Sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan pintu.
"Aku yakin kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini. Aku akan segera mencarinya ke dalam. Bismillah."
Jasmine menarik napas panjang, meneguhkan hati, lalu perlahan memutar gagang pintu dan masuk ke dalam.
Begitu masuk, ia tertegun. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu pojok. Suasananya tampak tidak berpenghuni, namun aneh… ada aroma tidak sedap yang menyelinap masuk ke balik cadarnya, membuat perutnya bergejolak.
"Bau apa ini?" desis Jasmine pelan, berusaha tetap tenang.
"Aaahhhh."
Jasmine langsung tersentak. Suaranya hampir tidak keluar karena kaget. Suara itu… suara seorang pria. Suara desahan yang jelas tidak seharusnya ada dalam ruangan suram seperti ini.
"Astaghfirullahaladzim." Jasmine mengusap dadanya, berusaha mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.
"Suara siapa itu? Apa jangan-jangan? Rosa?" pikiran buruk kembali menyeretnya ke jurang cemas.
Dengan tangan gemetar, Jasmine menelusuri dinding, mencari tombol lampu. Begitu menemukannya, ia langsung menyalakannya tanpa pikir panjang.
Pyarr!
Dalam sekejap, seluruh ruangan terlihat jelas. Kamar itu berantakan: botol kaca, tas terbuka, seprai kusut. Namun semua itu bukan fokus Jasmine. Tatapannya langsung tersedot ke arah ranjang, dimana terlihat jelas ada seseorang bergumul di balik selimut tebal.
"Ahh! Ohh!" suara desahan pria terdengar samar, membuat Jasmine bergidik ketakutan.
"Rosa, awas kamu," geramnya, setengah marah, setengah takut.
Dengan langkah terburu, ia mendekati ranjang itu. Jantungnya berdetak sangat keras, seakan hendak meledak. Tangan Jasmine langsung mencengkeram ujung selimut, menariknya dengan hentakan kuat.
"Rosa!"
Namun apa yang terlihat justru membuat Jasmine membelalak lebih besar dari sebelumnya. Napasnya terhenti, dan tubuhnya seketika gemetar hebat.
"Aaaaaaaa!"
"Aaaaaaaa!"
Ia dan pria itu menjerit bersamaan. Refleks, Jasmine menutup kedua matanya dengan tangan.
"Hey, apa yang kamu lakukan?" bentak pria itu, terkejut setengah mati sambil buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Pria itu tampak linglung, bertelanjang dada, dan hanya mengenakan boxer yang jelas memperlihatkan bentuk tubuh bagian bawahnya yang tampak menggembung.
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







