Rumah keluarga Lawrence yang megah berdiri dalam diam yang menekan, seperti sedang menahan napas untuk menyambut sesuatu yang tak diundang.
Zera baru saja turun dari tangga saat suara deru mobil mewah memecah keheningan halaman. Ia menghentikan langkah, tangannya menggenggam ujung pegangan tangga dengan gugup. Ada suara langkah cepat dari para pelayan, lalu denting sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. “Nyonya Evelyn Lawrence sudah tiba!” ucap seorang pelayan tergesa. Zera menegang. Nama itu tak asing. Ibu Johnny. Sosok yang selama ini hanya hadir dalam bisikan samar para pelayan—anggun, kuat, namun berhati dingin seperti salju musim dingin. Tak sampai semenit, suara langkah semakin mendekat. Dan kemudian ia mendengarnya—suara perempuan dewasa, lembut namun tajam, seperti belati dibungkus sutra. “Mana suamimu?” tanya Evelyn, nada suaranya seperti penguasa yang menuntut penjelasan. Johnny muncul dari ruang kerja di sisi kanan lorong. Ia tampak acuh seperti biasa, namun Zera melihat bagaimana gerakan bahunya mengeras sejenak. “Ibu datang tanpa pemberitahuan. Seharusnya kami menyambut lebih layak,” ucap Johnny datar. “Pemberitahuan hanya untuk tamu. Aku ibu kandungmu, Johnny. Dan aku punya hak untuk tahu dengan siapa kau mengikat pernikahan,” sahut Evelyn. Zera melangkah pelan ke arah lorong, berniat menyapa, tapi suara lain membuatnya terpaku. “Sayang… aku terlambat?” suara itu ringan, menggoda, dan penuh percaya diri. Dari arah pintu utama, seorang wanita melangkah masuk. Wajahnya cantik memikat, rambut cokelat gelap digerai ikal longgar, bibir merah menyala tersenyum penuh keanggunan. Gaun putih gading membalut tubuh rampingnya sempurna. Johnny mematung. Wajahnya seketika berubah. Zera tidak perlu menunggu penjelasan. Perasaan itu datang sendiri, menyengat di dada. Wanita itu menatap Johnny dengan sinar mata yang menyala. “Masih ingat aku, kan?” Evelyn tersenyum tipis. “Tentu saja Johnny ingat. Dia tidak mungkin lupa wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Zera Lawrence… ini Clarisse Moreau.” Zera menelan ludah. Ia berdiri kaku di ambang lorong, tak tahu harus mendekat atau pergi. Clarisse menghampiri Johnny, lalu memeluknya sepintas dengan akrab. “Aku sungguh terkejut mendengar kabar pernikahanmu. Lebih terkejut lagi saat tahu pengantinnya… seorang gadis buta.” Zera menegang. “Cukup,” ucap Johnny tegas, tapi matanya tak menatap Zera. Clarisse tersenyum. “Oh, maaf. Aku terlalu blak-blakan, ya? Aku hanya khawatir. Apa dia bisa mengurusmu, Johnny? Maksudku… dengan kondisi seperti itu. Kau terbiasa dengan standar tinggi, bukan?” Evelyn mendekat. Tatapannya menusuk Zera. “Apa yang membuatmu berpikir kau pantas berada di rumah ini, Zera?” Zera menggigit bibir. “Karena saya sudah menjadi istri putra Anda, Bu.” “Kau pikir status bisa membeli kelas?” cibir Evelyn. “Gadis dari desa, buta, tanpa koneksi, tanpa silsilah. Johnny hanya sedang menghukum dirinya sendiri dengan menikahimu. Atau mungkin… sedang main-main.” “Sudah.” Johnny mendekat, suaranya rendah tapi tegang. “Ini rumahku. Jangan mempermalukan orang yang tinggal di sini.” Evelyn mendesah. “Lihat? Kau bahkan tidak menyangkal bahwa ini semua lelucon.” Clarisse menoleh ke Zera, lalu mendekat. Tatapannya penuh kasihan yang dibuat-buat. “Aku tahu ini bukan salahmu. Kau pasti hanya menjalankan perintah. Mungkin keluargamu butuh uang, atau kau ingin kehidupan lebih baik. Tapi Johnny—dia bukan pria yang bisa jatuh cinta pada seseorang sepertimu.” Zera menunduk. Suaranya bergetar. “Saya tidak pernah memaksa siapa pun mencintai saya.” Clarisse tertawa kecil. “Tapi kau tinggal di sini, mengenakan cincin Lawrence, memegang nama keluarga yang tidak kau bangun.” Semua pelayan diam. Ruangan menjadi saksi penghinaan yang bertubi-tubi. Zera mengangkat wajahnya. Walau tak melihat, air matanya tertahan di pelupuk. “Saya tidak minta belas kasihan siapa pun. Saya tidak buta hati seperti yang kalian pikirkan.” Clarisse menyeringai. “Tapi tetap saja, kau tidak akan pernah setara dengan Johnny. Tidak sekarang, tidak nanti.” Evelyn melipat tangan di dada. “Dan jika kau pikir bisa menaklukkan keluarga Lawrence dengan sikap manismu, kau keliru, Zera. Kami tidak mengakui perempuan seperti kau.” Zera membuka mulut, ingin menjawab, tapi tubuhnya gemetar. Ia mundur satu langkah… lalu dua. Suasana mencekam, seperti tanah tempatnya berpijak berubah menjadi lumpur hisap yang menariknya ke dasar. Johnny hanya berdiri diam. Tak satu pun kata pembelaan keluar dari mulutnya lagi. Zera akhirnya berbalik, meninggalkan ruangan itu dalam diam yang menyayat. Ia menaiki tangga dengan gemetar, satu tangan menahan isak, satu tangan menyapu air mata yang jatuh tanpa suara. Sore hari menjelang. Rumah itu sepi kembali, tapi udara tetap terasa dingin, bukan karena cuaca… melainkan luka yang belum reda. Johnny berdiri di balkon lantai dua. Rokok menyala di jemarinya, dibiarkan membakar ujungnya perlahan. Zera belum keluar dari kamarnya. Tak makan siang. Tak menjawab ketukan pintu. Pelayan bilang ia mengunci diri sejak pagi. Suara langkah pelan terdengar. Johnny menoleh. Zera muncul dari balik pintu, tubuhnya lemah namun tetap berusaha tegak. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya pucat. Tapi matanya—mata yang tak melihat—menatap Johnny dengan keberanian yang menyakitkan. “Kau tidak perlu berpura-pura peduli,” ucap Zera pelan. Johnny menghembuskan asap rokok. “Aku tidak pura-pura.” Zera tersenyum tipis. “Tapi kau juga tidak membelaku.” Keheningan menelan jawaban Johnny. Zera melangkah mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Aku tidak minta dikasihani. Tapi jika aku harus dihancurkan di depan orang-orangmu, aku ingin tahu: apakah itu perintahmu juga?” Johnny menatap gadis itu. Lama. Lalu akhirnya menjawab. “Aku menikahimu karena alasan tertentu. Tapi itu tidak berarti aku ingin mereka memujamu.” Zera menahan napas. “Jadi mereka boleh menghina?” “Aku sudah melarangnya,” sahut Johnny, lebih pelan. “Tapi kau diam saat mereka menyerang harga diriku. Dan itu… lebih menyakitkan dari hinaan mereka.” Johnny menunduk. “Kau harus kuat. Hidup di keluarga Lawrence tidak mudah.” Zera menoleh ke luar jendela. “Aku bukan gadis lemah, Johnny. Tapi aku tidak bisa menjadi batu. Aku berdarah. Aku merasa.” Johnny mendekat, berdiri di hadapannya. “Kalau begitu, jangan jatuh hati padaku. Jangan berharap aku akan jadi tempatmu bersandar.” Zera mengangkat wajah. “Sudah kau katakan sejak malam pertama.” “Karena itu kenyataan.” Zera menahan napas, lalu mengangguk. “Kalau begitu, jangan salahkan aku jika suatu hari… aku pergi tanpa menoleh.” Johnny tak menjawab. Matanya hanya menatap Zera sekilas sebelum berpaling, seolah gadis itu tak layak mendapatkan perhatian lebih lama. Gerak-geriknya tenang, nyaris malas, seperti seseorang yang sudah terbiasa bersikap acuh. Ia merogoh saku jaketnya, menarik sebatang rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan lambat namun mantap. Asap pertama mengepul di udara, mengaburkan sebagian wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak ada sepatah kata pun. Tak ada penjelasan. Ia hanya berdiri di sana beberapa detik, lalu berbalik dan melangkah pergi—seakan percakapan barusan tak berarti apa-apa. Seakan Zera hanyalah angin lalu yang kebetulan mengganggu harinya. Langkah sepatunya bergema pelan di lorong, menjauh... dan meninggalkan Zera sendirian dalam diam yang lebih menusuk dari bentakan apa pun.“Zera.”Zera berdiri, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak bisa membaca ekspresi Johnny, tapi bisa merasakan kemarahan yang menekan di antara jeda napasnya.“Ya?”“Jelaskan padaku... kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?” suara Johnny terdengar nyaris berbisik, namun sangat menekan. “Setelah apa yang kulihat di kamar lamamu dengan Shio. Lalu sekarang kau datang ke ruanganku... menyusun sesuatu. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”Zera mengepalkan jemarinya. “Aku tidak merencanakan apa pun. Aku hanya membawakanmu makan siang.”“Makan siang?” Johnny terkekeh sinis. “Kau tahu letak mejaku. Kau tahu di mana pot kecil itu diletakkan. Bahkan kau tahu posisi sendokmu jatuh—dengan akurat.”Ia menatap tajam. “Kau buta, Zera. Tapi hari ini kau seperti punya mata lebih tajam dari siapapun di rumah ini.”Zera diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Aku hafal ruangan ini. Setiap sudutnya. Karena aku sering ke sini. Karena aku mengingatnya... dari aroma, dari suara.”“Dari suara?” Johnny mendekat, nap
Clarisse berdiri diam. Matanya menyipit saat melihat bayangan dua tubuh yang saling melekat di dalam ruangan. “Zera…” gumamnya pelan, hampir berdesis seperti racun. Jemarinya mencengkeram dinding, rahangnya mengeras saat suara-suara lembut dari dalam ruangan terdengar samar. Saat Johnny menarik Zera dalam pelukan dan membisikkan kata-kata yang hanya diucapkan pria yang sedang jatuh cinta, Clarisse mundur perlahan. Tidak ada air mata di matanya—hanya bara api yang menyala di dasar tatapannya. “Kau benar-benar bodoh, Johnny,” bisiknya getir. “Kau pikir gadis buta itu tulus padamu?” Ia melangkah menjauh, gaun sutranya berdesir mengikuti irama langkah penuh amarah. Sesampainya di kamarnya, Clarisse menjatuhkan dirinya di sofa dengan napas tersengal. Wajahnya yang cantik memerah karena marah dan cemburu. “Aku tidak akan diam saja melihat dia mengambilmu dariku...” Clarisse Menyusun Rencana. Keesokan harinya, Clarisse mengundang pelayan tua bernama Risa, salah satu loyalisnya.
Pagi menjelang siang. Zera berjalan pelan dari kamar Johnny, tangannya meraba dinding sebagai penuntun, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Setiap gerakan terasa perih—bekas dari kejadian pagi-pagi buta yang terlalu panas untuk disebut sekadar kebetulan. Raut wajahnya datar, namun dari cara ia sesekali mencengkeram perut bagian bawah, terlihat jelas ada ketidaknyamanan. Ia mencoba menyembunyikannya… namun tidak cukup berhasil. Beberapa pelayan wanita yang kebetulan lewat, berhenti sejenak, lalu menatap satu sama lain. “Lihat cara jalannya…,” bisik salah satu pelayan sambil menahan senyum kecil. “Pagi-pagi keluar dari kamar Tuan Johnny… dan sekarang begitu?” “Jangan keras-keras. Tapi… sepertinya mereka benar-benar tidur bersama tadi malam.” “Tapi bukankah biasanya Tuan John tidur di ruang kerjanya?” Zera mengabaikan suara-suara itu. Tapi hatinya berdebar. Ia sadar apa yang mereka pikirkan. Ia tahu kabar bisa menyebar lebih cepat dari angin. Tiba-tiba langkahnya t
Sinar pagi menembus celah tirai, menyinari kamar dengan hangatnya. Udara terasa segar dan lembab setelah malam panjang yang menyimpan banyak rahasia. Zera keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk putih, rambutnya basah menetes perlahan hingga ke bahu. Ia mengusap rambut dengan handuk kecil, mengira Johnny sudah pergi sejak pagi seperti biasanya. “Dia pasti sibuk… Tak mungkin masih di sini,” gumamnya pelan. Zera berjalan perlahan menuju sisi ranjang, ingin mengambil baju dari tas kecilnya. Ia meraba ujung tempat tidur, tidak menyadari bahwa Johnny masih berbaring di sana, membelakanginya dalam diam. Johnny membuka matanya perlahan. Ia terjaga sejak Zera mandi. Tapi entah mengapa, ia terlalu malas untuk bangun… atau mungkin terlalu tertarik menunggu. Suara langkah kaki Zera. Aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Uap hangat dari tubuh yang baru selesai mandi. Semua membuat darahnya mendidih. Zera yang tengah berdiri dan membenahi rambut, tiba-tiba tersan
Zera bersandar lemah di bahu Shio. Tubuhnya tampak ringkih, dengan lengan kiri dibalut perban seadanya. Di pelukannya, selimut kecil membungkus tubuh mungilnya yang menggigil seolah habis diterpa badai.Shio berjalan pelan, berhati-hati agar tak menyakiti Zera yang tampak kesakitan."Aku... minta maaf, Shio..." gumam Zera dengan suara parau. "Karena aku... sudah merepotkanmu seperti ini."Shio menoleh, suaranya tenang tapi khawatir. "Berhenti bilang begitu. Kau baru saja diserang. Sudah sewajarnya aku melindungimu.""Tapi Johnny... dia pasti marah kalau tahu kau membantuku sejauh ini...""Aku tak peduli kalau dia marah. Aku bertanggung jawab menjaga keselamatanmu."Zera memeluk lengannya sendiri, berpura-pura menggigil lebih kuat."Aku takut... orang itu... dia bilang Johnny bukan orang baik. Tapi aku... aku tak ingin mempercayainya. Aku hanya ingin semuanya seperti biasa."Shio berhenti sejenak, lalu menatap wajah pucat Zera."Zera..." suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku tah
Zera duduk di bangku kayu, jubah tidurnya membungkus tubuh, sementara tangannya menggenggam kalung yang diam-diam ia sembunyikan. Ia tak sendiri.Dari balik semak tinggi, suara langkah kaki nyaris tak terdengar mendekat. Sosok lelaki muncul tanpa suara, mengenakan jas panjang hitam. Wajahnya samar, tapi nada suaranya dingin dan tenang."Zera."Tubuh gadis itu menegang. Tapi ia tak lari. Ia sudah tahu—seseorang pasti akan datang padanya lagi. Ia..tahu ia telah membuka pintu menuju dunia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan."Jangan teriak. Aku di sini bukan untuk mencelakakanmu," kata pria itu pelan. Ia meletakkan sebuah benda kecil ke tangan Zera. Bentuknya seperti kancing logam bundar, dingin dan ringan."Apa ini?" bisik Zera."Pemicu untuk membuka chip itu. Dengan ini, kau bisa mendengar rekamannya... semua rekaman yang Nia pertaruhkan nyawanya untuk disimpan."Zera meraba benda itu dengan hati-hati. Tak butuh banyak untuk merasa bahwa ini bukan benda biasa."Dan ini," lanj