Share

Bab 7. Siasat (1)

last update Last Updated: 2025-07-01 16:14:27

Langit mulai memerah di ufuk barat saat Zera meninggalkan balkon, membiarkan Johnny terdiam dalam kesunyian yang menggantung pekat. Udara sore mulai menipis, dan langkahnya terasa berat saat ia kembali menuju kamarnya. Namun baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, sebuah suara dari lantai bawah membuatnya terhenti.

Bukan suara keras. Hanya bisikan yang terbawa angin—namun cukup untuk menusuk naluri waspadanya.

Dengan langkah perlahan, nyaris tanpa suara, Zera menyusuri tangga menurun. Ia berhenti di anak tangga keempat, tempat di mana pandangan tak bisa menembus ruang tamu, namun suara dapat mengalir jelas.

Cangkir beradu dengan piring kecil. Lalu suara Evelyn yang tenang namun dingin terdengar.

“Dia bukan tandinganmu, Clarisse. Hanya percikan kecil yang akan segera padam.”

Zera menegang. Matanya membulat kosong, dan tangannya yang menggenggam pegangan kayu mulai gemetar.

“Tapi Johnny membelanya,” suara Clarisse menyusul, nadanya mengandung kebencian yang terbungkus manis. “Meski hanya lewat sikap. Itu cukup membuatku muak.”

Zera memejamkan mata, menahan napas yang mulai memburu. Jantungnya berdetak seperti genderang perang—tak bisa dia hentikan, tak bisa dia abaikan. Ia ingin berbalik, melangkah pergi. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.

Evelyn terkekeh pelan, rendah dan menyeramkan. “Johnny keras kepala, tapi dia punya titik lemah. Kita hanya perlu menekannya di tempat yang tepat. Jika kau ingin menyingkirkan gadis itu, buat Johnny percaya bahwa dia membawa bencana.”

Ada jeda. Sunyi. Zera mendengar detak jarum jam di dinding ruang bawah, berdetak bersamaan dengan gemuruh ketakutan yang membesar di kepalanya.

Clarisse bicara lagi. Pelan, namun begitu dingin. “Aku akan urus sendiri.”

Gelas teh kembali beradu di piring kecil. Evelyn berucap dengan suara yang terdengar seperti mantera kutukan, “Lakukan dengan bersih. Jangan sampai Johnny tahu kau menjebaknya. Kalau tidak, kita berdua akan hancur.”

Zera mundur perlahan, langkahnya goyah. Kakinya nyaris tergelincir di anak tangga, tapi ia berhasil menahan diri dengan menggenggam kuat pagar kayu. Wajahnya pucat. Tubuhnya berkeringat dingin.

Suara-suara itu masih bergaung di telinganya. Tapi lebih dari itu—rasa ditargetkan, dan rasa takut yang mencengkeram, menggumpal jadi satu dalam dada.

Dia bukan sekadar pion dalam permainan ini.

Dia adalah sasaran.

Dan mereka sedang merancang kejatuhannya.

Malam turun pelan, membawa hawa dingin yang menusuk. Zera masih belum makan. Perutnya kosong, tapi kepalanya penuh. Ia tak ingin terlihat lemah, tapi tubuhnya sendiri mulai menolak untuk diajak berkompromi.

Pukul sembilan malam, ketukan pelan terdengar di pintunya. Bukan suara pelayan. Ketukannya terlalu ragu. Terlalu familiar.

Zera berdiri perlahan, mendekati pintu. “Johnny?”

Tak ada jawaban. Tapi ia membuka pintu perlahan.

Dan memang, lelaki itu berdiri di ambang, masih mengenakan kemeja hitam, lengan dilipat hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan, matanya merah kelelahan.

“Kau belum makan,” ujarnya pelan.

Zera diam sejenak. “Dan kau datang bukan karena peduli. Hanya karena takut aku jatuh sakit, lalu mempermalukanmu lagi di depan ibumu.”

Johnny tidak membalas langsung. Ia menyerahkan nampan kecil berisi sup dan sepotong roti.

“Makanlah.”

Zera menerima nampan itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih,” gumamnya tanpa menatap.

Johnny tidak pergi. Ia menatap ke dalam kamar, lalu menatap gadis itu. “Clarisse tidak akan tinggal lama.”

Zera menahan senyum getir. “Tapi dia belum pergi.”

Johnny mendekat. “Apa kau ingin aku usir dia malam ini juga?”

Zera menoleh ke arah suara Johnny. “Tidak. Karena aku tahu kau tidak akan melakukannya.”

Johnny terdiam.

Zera menarik napas panjang. “Aku hanya ingin kau jujur. Jika kau masih mencintainya, katakan. Aku akan tahu batasku.”

Johnny mendekat lebih jauh. Jarak mereka hanya sejengkal. Tapi dunia yang memisahkan terasa seperti jurang yang dalam.

“Bukan urusanmu, kau tak berhak bertanya, ” ucap Johnny.

“Baiklah, aku hanya ingin memastikan,” balas Zera lirih.

Johnny menatapnya. “Diantara kita tak lebih sebatas kesepakatan di atas kertas, Zera. Sudah ku tegaskan jangan bersandar padaku apalagi berani menaruh hati.”

Zera tertawa kecil. Suaranya nyaris pecah. “Akupun tak tau mengapa harus perduli pada hal semacam itu, maaf ....”

Johnny menatap mata Zera. Mata yang tak bisa melihatnya, tapi bisa membaca isi hatinya lebih dari siapa pun. Dan itu… menakutkan.

“Teruslah membenciku!” bisik Johnny.

Zera memejamkan mata. “Baiklah, aku sadar posisiku.”

Johnny masih berdiri di sana saat Zera menutup pintu perlahan. Kali ini, ia tidak menguncinya. Tapi Johnny juga tidak masuk.

Keesokan paginya, Zera bangun lebih awal dari biasanya. Tak ada mimpi semalam—hanya keheningan panjang yang menghimpit dadanya seperti batu.

Ia mengenakan gaun sederhana dan berjalan pelan menyusuri lorong, ditemani denting jam antik dan langkah kakinya yang nyaris tak bersuara. Telinganya menangkap bisik-bisik samar dari lantai bawah. Ia tak bisa melihat wajah mereka, tapi ia tahu betul: Evelyn dan Clarisse sudah menyusun sesuatu.

“Dia tidak boleh lama-lama di sini,” bisik Clarisse. “Dia mengganggu keseimbangan Johnny.”

Zera berhenti di anak tangga. Ia tidak berniat menguping, tapi kata-kata Clarisse begitu keras, seperti ditujukan agar ia bisa mendengarnya.

“Lagi pula,” lanjut wanita itu, “aku tahu bagaimana menyelesaikan ini tanpa membuat Johnny marah.”

Evelyn tertawa kecil. “Lakukan dengan anggun. Kita keluarga Lawrence, bukan preman pasar.”

Zera menarik napas dalam. Setiap kata mereka menambah lapisan keteguhan dalam dirinya. Jika mereka ingin mengusirnya… biarlah. Tapi mereka tidak akan menghancurkannya.

Ketika ia sampai di dapur, pelayan kaget melihatnya sudah berdiri di sana.

“Boleh aku membantu menyiapkan sarapan untuk Tuan Johnny?” tanyanya lembut.

Pelayan itu bingung, tapi mengangguk. Zera tersenyum samar dan mulai memotong roti, menyusun buah-buahan, dan menyeduh kopi. Tangannya terampil meski hanya meraba-raba. Dan semua itu dilakukan bukan untuk menyenangkan Johnny—melainkan sebagai caranya sendiri untuk tetap tegak, meski semua orang ingin membuatnya jatuh.

Tak lama, langkah kaki Johnny terdengar. Ia berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Zera duduk tenang di meja makan.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya, nada suaranya tak bisa ditebak.

“Membuat sarapan. Untukmu,” jawab Zera.

Johnny duduk perlahan. Ia menatap meja, lalu menatap Zera.

“Kau tak harus melakukan ini.”

Zera tersenyum samar. “Aku tahu.”

Johnny menggenggam cangkir kopinya. Tangannya bergetar. Entah karena marah, bingung, atau... takut.

“Clarisse akan tetap di sini beberapa hari,” ucap Johnny akhirnya. “Ibu yang memintanya.”

Zera mengangguk pelan. “Aku mengerti.”

“Kau boleh memilih tinggal di paviliun belakang jika merasa tidak nyaman.”

Zera menoleh ke arah suaranya. “Kau ingin aku pergi dari kamar?”

Johnny terdiam. “Aku hanya tak ingin—”

“Tak ingin mereka melihatku dan menganggapmu lemah?” potong Zera halus.

Johnny menatapnya tajam, tapi Zera tetap tenang.

“Aku akan tetap di kamar itu,” lanjut Zera. “Kecuali kau sendiri yang meminta aku pergi, sebagai suamiku.”

Johnny mengepalkan rahangnya. “Kau mulai bermain api, Zera.”

“Tidak. Aku hanya belajar melindungi diriku.”

Johnny bangkit, hampir menjatuhkan kursinya. Ia berjalan menjauh, tapi sebelum keluar dari ruangan, ia menoleh sekali lagi.

“Kau tidak tahu permainan macam apa yang sedang kau masuki.”

Zera mengangguk pelan. “Justru karena aku tahu, aku tidak akan mundur.”

Johnny pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Malam itu, Clarisse datang ke kamar Zera. Tanpa mengetuk. Hanya dorongan pelan pada pintu yang tidak dikunci.

“Aku tahu kau tidak tidur,” katanya sambil menyalakan lampu.

Zera duduk di ranjang, wajahnya tenang. “Apa yang kau inginkan?”

Clarisse berjalan mendekat, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah anggur, parfum mahalnya memenuhi udara.

“Aku hanya ingin bicara. Wanita ke wanita.”

“Apakah itu bisa disebut pembicaraan?”

Clarisse tertawa kecil. “Kau pintar, Zera. Tapi kau terlalu polos untuk dunia ini. Johnny adalah pria yang penuh luka. Aku mengenalnya sejak kami remaja. Aku tahu bagian dirinya yang paling gelap.”

Zera diam.

“Kau tidak akan bisa bertahan. Kau akan hancur oleh dirinya sendiri.”

Zera menatap lurus—bukan ke wajah Clarisse, tapi ke arah suaranya.

“Biar aku yang memutuskan itu.”

Clarisse mendekat hingga hanya sejengkal darinya. “Baik. Tapi jangan salahkan aku… jika aku merebut kembali apa yang seharusnya milikku.”

Zera menatap kosong. “Kau tidak perlu merebut apa pun, Clarisse. Karena aku tidak pernah memilikinya.”

Clarisse tercengang. Ia menatap Zera untuk waktu yang lama, lalu berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Namun di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi.

“Kau bukan wanita biasa, Zera. Tapi itu belum tentu pertanda baik.”

Zera hanya tersenyum samar. “Begitu juga dirimu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 17. Potongan Puzzle (2)

    Lampu tidur menyala redup, menyinari separuh ruangan dalam cahaya temaram. Angin malam mengalir pelan dari celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup, membawa aroma embun dan sedikit wangi parfum kayu cendana. Zera terbangun lebih dulu. Ia duduk perlahan di sofa panjang, selimutnya melorot hingga ke pinggang. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar napas Johnny—berat, teratur, dalam. Perlahan, ia bangkit. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara saat mendekati ranjang. Johnny terbaring miring, satu lengannya bersilang di atas dada, napasnya tenang dalam balutan kaus tipis berwarna gelap. Zera berlutut di sisi ranjang. Jemarinya terulur pelan, ragu-ragu, sebelum akhirnya menyentuh pipi Johnny. Kulitnya hangat. Jari Zera menyusuri garis rahang Johnny, perlahan ke dagu, lalu naik ke tulang pipi. Ia membayangkan setiap lekuknya, merekam bentuknya dalam pikirannya yang buta cahaya. “Kau... terlihat tenang saat tidur,” bisiknya lirih, hampir seperti doa yang tak ingin terdengar. S

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 16. Potongan puzzle

    Zera menghabiskan buburnya dalam diam. Namun saat ia meletakkan mangkuk kosong ke atas nampan, sebuah suara kecil dari dalam semak di ujung taman terdengar. Lembut... namun cukup untuk membuat tubuhnya menegang.Johnny juga mendengar.Dalam satu gerakan cepat, Johnny berdiri. Tangannya menyentuh pinggang, seolah mencari senjata yang biasa terselip di sana.“Masuk,” bisiknya pelan.Zera menoleh. “Apa maksudmu?”“Masuk ke dalam. Sekarang.”Nada suaranya berubah. Tegas. Tidak bisa ditawar.Zera berdiri dengan hati-hati. Namun sebelum ia sempat bergerak, dari arah semak itu, seorang pria berbaju hitam muncul—dengan wajah tertutup setengah dan luka panjang di lengan kirinya.Zera mundur setapak.Johnny segera maju, berdiri di antara Zera dan pria itu.“Leo?” desis Johnny tajam.Pria itu tersenyum tipis. “Masih cepat mengenali, ya?”“Apa yang kau lakukan di sini?” Johnny melirik kanan kiri, waspada.Leo melirik ke arah Zera. “Aku tak berniat membuat kegaduhan. Tapi... ada yang perlu kau tah

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 15. Melihat dengan Rasa

    Kamar itu senyap. Hanya suara rintik hujan di luar jendela dan detak jam dinding yang lambat namun konsisten mengisi udara. Lampu redup di sudut ruangan memandikan segalanya dalam cahaya kekuningan yang hangat, seolah ingin menyelimuti dinginnya malam yang terlalu panjang. Johnny duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus tipis abu-abu dan celana panjang gelap. Tatapannya sesekali melirik ke arah sofa, tempat Zera membungkus dirinya dengan selimut. Gadis itu belum juga terlelap, hanya duduk memeluk lutut dengan tatapan kosong mengarah ke dinding. “Sudah lewat tengah malam,” gumam Johnny, pelan. “Kau tak lelah?” Zera menggeleng pelan. “Tubuhku lelah. Tapi pikiranku... belum bisa diam.” Johnny menatapnya dalam diam. Ia memahami maksud kalimat itu lebih dari siapa pun. Ketika tubuh menyerah, namun pikiran tetap bergemuruh. Beberapa menit berlalu, suara hujan seperti musik latar yang samar. “Johnny...” bisik Zera, nyaris seperti ragu. “Hm?” gumam pria itu, tanpa menoleh. “Bol

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 14. Harap dalam Pasrah

    Langkah kaki terdengar bergema di lorong batu yang sempit dan lembap. Bau logam dan debu memenuhi udara, membalut setiap napas dalam ketegangan. Cahaya senter di tangan Shio berpendar ke dinding, memantul pada kelembapan yang mengilap di permukaan kasar itu. Johnny Lawrence berjalan di depan, diam dan tegas. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam menatap pintu besi besar di ujung lorong—pintu yang sejak beberapa hari lalu ia perintahkan untuk dikunci. Shio menyusul dari belakang, suaranya pelan tapi sarkastik. “Ini caramu memperlakukan istri sendiri, ya? Dikurung di tempat gelap, di antara batu, debu, dan tikus?” Johnny tak menjawab. Hanya diam. “Aku bisa mengerti kalau kau ingin menghukum dia karena menampar Clarisse. Tapi kau sadar ini tempat macam apa?” Shio melanjutkan, nadanya meninggi. “Dia buta, Johnny. Dan kau biarkan dia sendirian di ruang seperti—” “Aku tahu,” potong Johnny tajam, berhenti di depan pintu. Tangannya terulur, memutar gagang logam tua. “Aku tahu.” S

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 13. Retakan di Dinding berbatu

    Hari Ketiga. Zera menggigil. Udara di bawah tanah lebih pengap dari biasanya. Bahkan napasnya terasa berat, seolah setiap tarikan mengisi paru-parunya dengan debu masa lalu yang menolak dilupakan. Setelah Johnny membawanya ke tempat ini dua hari lalu dan mengurungnya di salah satu kamar kosong berjeruji besi, Zera mulai terbiasa dengan bau tanah lembap dan bunyi tetesan air dari langit-langit. Tapi hari ini berbeda. Saat ia meraba dinding di ujung sel lantai bawah, jemarinya menyentuh sesuatu yang ganjil—rongga kecil dalam batu. Seperti garis tak alami. Persegi panjang sempit yang menyatu dengan dinding, nyaris tak terlihat. Rak kayu tua menutupi celah itu. Dengan bingung dan rasa penasaran yang menyala, Zera mendorong rak itu dengan seluruh tenaga. Sendi bahunya nyaris copot, tapi rak itu perlahan bergeser, mengeluarkan bunyi berderit. “Krekk…” Seketika, udara lembap menyembur dari balik celah. Lebih dingin. Lebih tajam. Bau logam, tanah busuk, dan… darah. Sebuah loron

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 12. Luka yang Dituduhkan

    Lorong marmer itu sunyi ketika Zera melangkah perlahan, mengandalkan ujung jarinya menyentuh dinding. Dia tahu Clarisse ada di sana. Aroma parfumnya menyengat seperti racun.“Clarisse?” gumam Zera. “Apa kau yang terakhir masuk ke kamar Nia sebelum dia—”"Akhirnya bertanya juga."Suara Clarisse terdengar ringan, tetapi sarat dengan niat jahat. “Sayang sekali, Zera. Menyedihkan sekali melihatmu masih mempercayai pelayan rendahan itu.”Zera mengerutkan alis. “Dia bukan pelayan rendahan.”Clarisse mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai. “Oh, tentu saja dia bukan, kan? Dia sahabatmu. Teman bicaramu. Tapi tahukah kau? Nia itu pencuri.”Zera membeku. “Apa?”“Banyak barang milik Tante Evelyn yang hilang. Anting berlian, cincin pusaka. Dan tahu apa yang lucu? Semuanya lenyap satu per satu… sejak Nia ditugaskan untuk mengurus dirimu.”“Berhenti.” Suara Zera mulai gemetar. “Nia tidak mungkin mencuri. Dia tak akan menyentuh barang orang lain.”Clarisse tertawa kecil. “Lucu. Lalu siapa yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status