Share

Hinaan Tetangga

Bab 3 Mulut Pedas Tetangga

Lelaki itu mendekat dan menepuk pundak Hana.

"Yang sabar ya, Nak. Bapak kamu sudah meninggal," ucap pria lembut.

"A-apa?" tanya Hana dengan suara yang bergetar. Gadis itu mundur ke belakang sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia tak percaya dengan apa yang didengarnya tadi.

"Bapak," hanya itu yang terucap dari bibirnya yang gemetar, air matanya tumpah bagaikan air bah yang tak bisa dibendung lagi.

Seketika Hana berlari menuju rumahnya tak perduli walau kaki terkena batu dan kerikil karena jalanan di kampung Hana yang masih belum di aspal, dia terus berlari kencang hingga sampai di depan rumah.

"Bapak.." Hana berlari ke dalam rumah tak peduli dengan para tetangga yang memperhatikan dirinya.

"Bapak, kenapa bapak pergi Pak, Bapak kan janji gak akan ninggalin Hana dan Hana juga janji mau bawa Bapak naik haji. Tapi, kenapa Bapak pergi sebelum semuanya tercapai Pak," Hana mulai menangis, " Pak, bangun, Pak!" seru Hana yang berharap Bapaknya hanya pingsan saja.

"Eh Hana sudahlah tak usah bicara macam-macam kamu, memang umur Bapak kamu cuma segitu, lagian kamu itu kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, rumah aja masih numpang sekolah juga sering gak naik kelas kok menghayal mau membawa Bapak kamu pergi haji. Kamu pikir naik haji itu murah," ujar tetangga Hana yang memang selalu saja merendahkan keluarga Hana.

Hana hanya terdiam, gadis itu masih terisak di dekat jenazah Bapaknya, dia bahkan berharap ini semua hanya mimpi.

"Eh Pak RT ini ngomong-ngomong Bu Mutiah sama Laura kemana, kok gak kelihatan?" tanya salah satu warga yang menyadari bahwa istri dan anak pertama Pak Fahmi tak ada di situ.

"Iya apa ada yang tahu ke mana Bu Mutia sama anaknya yang pertama?" tanya Pak RT kepada warga yang ada di situ.

"Kalau nggak salah tadi pagi Bu Mutia sama Laura itu pergi , Pak, waktu saya tanya katanya dia mau ketemu sama agency untuk memasukkan anak pertamanya itu menjadi model," jawab salah seorang warga di situ.

"Keluarga ini memang aneh, dia itu nggak sadar diri bagaimana keadaan keluarganya kalau sudah miskin itu ya miskin saja pakai mau acara memasukkan anak jadi model, memang dia pikir kalau mau kerja seperti itu nggak pakai modal apa," kata lelaki yang tadi menghina Hana.

"Iya, nggak sadar diri betul udahlah anaknya yang ini pakai bercita-cita mau membawa Bapaknya ke pergi haji lagi, eh maknya ternyata lebih gila mau memasukkan anaknya menjadi model, jangan-jangan anak pertama nanti jual diri ke agency biar jadi model pula," timpal tetangga yang lainnya.

"Sudahlah Bapak-bapak, kita tidak perlu menghina keluarga ini sekarang yang perlu kita pikiran adalah bagaimana caranya kita bisa menguburkan Pak Fahmi ini dengan secepatnya karena kasihan kalau dia yang sudah meninggal ini terlalu lama kita biarkan seperti ini." Kali ini saya seorang warga yang sepertinya adalah ustadz di kampung itu yang berbicara.

"Loh, Pak, bukannya kami nggak mau bantu tapi masalahnya kalau kita mau menguburkan jenazah itu kita kan harus beli kain kafan, beli batu nisan dan juga membeli papan terus duitnya itu dari mana sementara ibu dan kakaknya aja nggak ada."

Lelaki berpakaian ustaz itu kemudian mendekat ke arah Hana.

"Hana, apa kamu punya uang untuk membeli batu nissan, membeli kain kafan dan juga membeli papan karena kita perlu semua itu untuk menguburkan jasad Bapak kamu," ujar ustadz itu dengan nada lembut.

Hana menoleh ke arah ustad itu dengan tatapan yang penuh air mata.

"Kira-kira berapa total biayanya pak?" tanya Hana dengan suara sebak.

"Biasanya orang akan menyerahkan uang sebesar rp700.000 kepada saya nanti saya akan mencarikan semua bahan-bahan itu," jawab ustadz tersebut.

"Maaf Pak kalau sebanyak itu saya nggak punya karena uang saya hanya tinggal rp100.000 saja karena tabungan saya sudah diambil oleh kakak dan Ibu saya," jawab Hana sambil menunduk.

Tak terbayangkan betapa perih dan hancur hati Hana saat ini yang sudah kehilangan Bapaknya, mendapatkan cemoohan dari tetangga dan tak punya uang pula untuk biaya penguburan sang Bapak.

"Sudah aku duga dia pasti nggak punya duit, dasar orang miskin, awas aja kalau kita semua disuruh menyumbang untuk menguburkan Bapaknya," kata salah satu warga yang dari tadi terus menghina keluarga Hana.

"Maaf Pak Ustadz bolehkah saya berhutang terlebih dahulu yang penting Bapak saya bisa dikubur dengan layak, nanti insyaallah saya akan bekerja dan membayar hutang ini dengan cara mencicil karena kebetulan saya memiliki usaha kecil yang saya lakukan sambil sekolah dengan uang itu insyaallah saya bisa mencicil sedikit demi sedikit biaya penguburan Bapak saya," kata Hana di sela-sela tangisnya.

Lelaki berpakaian ustad itu menepuk pundak Hana sambil mengangguk lalu segera mengalihkan perhatian kepada orang-orang yang ada di situ.

"Bapak-bapak adik Hana sudah bilang kalau dia tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli peralatan jenazah, sementara saya juga hanya memiliki uang sebesar rp500.000 ditambah uangnya Adik ini sebesar rp100.000. Jadi kita masih kurang 100.000 lagi, saya mohon untuk Bapak-bapak di sini yang memiliki uang lebih sudilah kiranya membantu adik Hana ini," ujar ustadz tersebut dengan nada merendah.

"Huu hidup menyusahkan sudah mati juga menyusahkan!" teriak lelaki yang dari tadi terus menghina keluarga Hana itu membuat orang-orang yang ada di situ menggelengkan kepalanya saja.

Tiba-tiba seorang Ibu maju ke depan menghadap Pak ustad.

"Pak, kebetulan saya memiliki rezeki lebih jadi ini bisa saya sumbangkan untuk keperluan mengubur jasadnya Pak Fahmi, semoga ini membantu," kata Ibu itu sambil memberikan sejumlah uang kepada Pak Ustadz.

"Alhamdulillah, terima kasih, Bu."

Setelah semua keperluan terpenuhi maka para warga pun segera menguburkan jasad Fahmi tanpa menunggu kehadiran Mutia dan Laura terlebih dahulu.

_______

Setelah selesai pemakaman

"Hana, jadi ini bagaimana apa ada acara tahlilan atau tidak, jika ada maka nanti orang-orang kampung akan saya beritahukan untuk datang ke sini," ujar salah seorang warga.

Hana yang dari tadi terus menunduk kini menoleh ke arah sumber suara.

"Sebetulnya mau Pak. Tapi, saya ini nggak memiliki apa-apa, saya nggak punya uang untuk membeli konsumsi, apa Bapak bersedia kalau datang nanti saya cuman kasih air putih saja?" tanya Hana.

"Enak aja, datang cuma dikasih air putih, memangnya kamu pikir membaca Yasin itu nggak pakai tenaga itu namanya nggak menghargai tetangga, tahu nggak," sinis orang itu.

"Pak Yadi, nggak boleh seperti itu kita itu mengirim doa kepada seseorang khususnya tetangga itu harus ikhlas kita nggak gak mengharapkan apapun kalau ada yang kita makan kalau nggak ada ya sudah yang penting niat kita adalah mengirimkan doa untuk tetangga kita yang sudah meninggal jadi Bapak jangan pernah berpikir seperti itu, mau datang kalau hanya ada konsumsi saja," ujar ustadz itu menegur.

"Ah nggak mau aku kalau datang nggak dikasih apa-apa biar saja orang-orang itu yang datang ke sini kalau saya mah nggak sudi, sudahlah menguburkan bapaknya minta bantuan ini tahlilan juga gak mau kasih apa-apa, padahal kalau di tempat lainnya selain kita mendapat konsumsi kita juga dapat uang hitung-hitung untuk menggantikan waktu kita, lah ini kok malah kosong nggak dikasih apa-apa," jawab lelaki itu sinis.

"Ya sudahlah Pak ustad nanti saya bicarakan dulu dengan Ibu saya kemungkinan hari ini Ibu dan Bapak saya mau pulang. Jadi, saya nanti tanya dulu kepada mereka baru saya ambil keputusan Pak," jawab Hana.

"Loh ada apa ini rame-rame?"

Perhatian mereka segera teralihkan oleh sebuah suara yang tak lain adalah milik Mutia. Entah kapan datangnya wanita itu, tiba-tiba saja sudah berada di ambang pintu bersama dengan Laura anak pertamanya.

"Ibu."

Hana segera berlari memeluk ibunya.

"Ih," Mutia mendorong tubuh Hana," kamu itu bau keringat tau gak," kata Mutia kesal dan seolah jijik sama anaknya itu.

"Bu, bapak meninggal, Bu. Baru saja jasadnya di kuburkan, Bu," ujar Hana yang kembali menangis terisak.

"Ya sudahlah kalau sudah dikubur mau apa lagi?"

Mata Hana melotot mendengar ucapan ibunya itu, bisa dia sesantai itu padahal ditinggalkan suaminya.

Apa memang tak ada rasa cinta sama sekali di hati Mutia pada Fahmi?

Apa ada masalah lain yang membuat Mutia begitu membenci suaminya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status