Share

Chapter 2

"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?"

Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin.

Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin.

Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu.

Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.

Tujuh tahun menjalani hubungan pacaran. Nyatanya membuat mereka bisa mengenal satu sama lain. Meski terkadang banyak sekali masalah yang menerpa keduanya. Namun, Zelin dengan setia menemani Yhosan. 

Setiap ada masalah keduanya memilih untuk menghilangkan ego daripada mempertaruhkan hubungan mereka. Berdiskusi mengenai apa yang terjadi, tidak menghilang dan membiarkan masalah berlarut-larut.

Didalam setiap keadaan dan kondisi yang menerpa Yhosan. Zelin tidak pernah meninggalkan dirinya. Hal itu lah yang menjadi nilai plus untuk Yhosan mempersunting Zelin.

Zelin juga ada dibalik kesuksesan yang kini diraih Yhosan. Memilih mandiri dan membangun bisnis sendiri hingga akhirnya sampai seperti sekarang. Semua itu tidak luput dari kesetiaan, kesabaran dan support dari Zelin yang selalu mendukung.

Mengerjap-erjapkan matanya, Zelin benar-benar tak percaya dengan apa yang barusan Yhosan katakan. Dia bahkan hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya. Baru saja mendapatkan kejutan karena dibawa dalam perjalanan bisnis menggunakan kapal pesiar. Lalu sekarang ada kalimat yang Zelin tunggu-tunggu selama ini.

Satu hal yang membuatnya bingung, sejak kemarin mereka selalu bersama. Kapan Yhosan menyiapkan semua ini? Bukankah kegiatan Yhosan tak luput dari pandangan mata Zelin ? Sungguh dia benar-benar tidak menyangka.

"Hei! Will you marry me or not?" tanya Yhosan sekali lagi saat tak mendapatkan reaksi dari kekasih hatinya.

"Ya, aku bersedia! Aku bersedia menjadi istrimu, Alexander Yhosanio!" teriak Zelin dengan bangganya.

Dia terlihat begitu senang dan bangga. Setelah tujuh tahun bersama akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba juga. Sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan.

Satu langkah menuju jenjang serius itu sudah dilewati, tinggal menjalani step-step yang akan membawa mereka untuk membangun indahnya bingkai rumah tangga.

Riuhnya tepuk tangan para tamu yang turut serta menjadi kolega bisnis Yhosan membuat Zelin seketika sadar bahwa saat ini mereka sedang menjadi tontonan banyak orang.

Menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasa bahagia itu tiba-tiba berganti dengan rasa malu akibat banyaknya pasang mata yang menyaksikan.

"Buka wajahmu," titah Yhosan

Zelin menggelengkan kepalanya. Demi apapun sungguh dia benar-benar malu jadi tontonan publik. Setelah ini pasti akan ada yang mengunggah moment spesialnya itu ke media sosial.

"Kalau kamu tidak membuka wajahmu, bagaimana caraku memasangkan cincin ini? Atau jangan-jangan kamu tidak senang dengan apa yang ku lakukan?" tanya Yhosan seolah murung.

Dengan malu-malu Zelin membuka wajahnya. Menyerahkan tangan kanan untuk dipasangkan cincin pertunangan pada jari tengahnya.

Yhosan pun memasangkan cincin itu dengan penuh cinta dan rasa bahagia yang menggebu dihatinya. Zelin adalah wanita kedua yang dia cintai setelah Ibunya.

Moment itu terus berputar-putar dipikiran Zelin. Harusnya dia sedang bahagia, tapi aturan dalam keluarga membuatnya bagi seorang yang gagal dalam perang.

"Aturan dari mana ini? Aturan seperti apa yang mereka katakan?!" Tangisan Zelin semakin menjadi-jadi saat mengingat ucapannya Papanya tadi.

Hingga saat dia terdiam sejenak karena mendengar suara ketukan pintu. Tak terlalu jelas siapa yang datang. Namun, Zelin pikir itu pasti Mamanya.

Melirik sekilas pada gagang pintu yang naik turun dan suara ketukan semakin menggebu. Zelin sama sekali tidak perduli. Dia, malah menutup wajahnya dengan bantal.

"Harusnya ruangan kedap suara ini juga tak usah bisa mendengar ketukan pintu!" gerutu Zelin kembali terisak lebih dalam lagi.

Jika Papa dan Mamanya lebih perduli dengan aturan keluarga yang tidak tertulis dan melanggar hak asasi manusia. Lalu untuk apa Zelin perduli pada mereka?

"Ketuk saja pintu itu sampai tangan kalian tak mampu bergerak lagi," kata Zelin sama sekali tidak perduli. Dia malah mencari posisi nyaman. Lelah menangis membuat kantuk datang.

Untuk beberapa saat pintu kamar miliknya berhenti diketuk. Zelin yang sadar sama sekali tidak memperdulikan hal itu. Namun, dari balkon kamarnya muncul seorang laki-laki yang amat dia cintai. Membuat Zelin menatap curiga.

"Yhosan!" teriak Zelin saat menangkap siluet tubuh kekasihnya dibalik sliding door.

"Ya, ini aku. Kenapa kamu tidak membuka pintu kamar? Tanganku hampir saja terluka sebab mengetuk berulang kali." Yhosan menggerutu pada Zelin yang berjalan setengah lari menghampirinya.

Zelin mengerucutkan bibirnya, dia kemudian mencubit kecil perut Yhosan. Dia paling benci melihat tingkah kekasihnya yang sok manja ini.

"Aw ... sakit, Zelin." Yhosan mengusap perutnya yang dicubit Zelin.

"Kamu, sangat menyebalkan. Sama seperti orang-orang yang ada di rumah ini. Papi dan Mami Tua juga pasti turut andil didalamnya. Tidak ada yang menyayangiku."

Papi dan Mami Tua yang dimaksud oleh Zelin adalah Abang dari Papanya. Mereka hanya dua bersaudara. Itu lah sebabnya, Zelin sangat yakin kalau keluarga pamannya pasti juga memiliki aturan yang sama.

Yhosan, dengan cepat merengkuh tubuh kekasihnya itu. Tujuh tahun menjalan hubungan berbagi suka duka dan saling mengenal satu sama lain. Tentu saja membuat Yhosan sedikit paham akan apa yang sedang dirasakan Zelin.

Tadi saat dia tiba dikediaman Wiraguna sekitar tiga puluh menit lalu, atau tepatnya setelah keluarga itu baru saja menyelesaikan pembicaraannya dengan Zelin.

Zoy menceritakan segalanya pada Yhosan. Berharap laki-laki yang akan menjadi calon menantunya itu mengerti. Untunglah, Yhosan bisa bersabar dan berjanji untuk menunggu sampai Ziko–Kakak kandung Zelin menikah.

"Semua itu bukan lah hal yang tidak adil untuk kamu, tapi untuk menjaga perasaan Bang Ziko." Yhosan berusaha menjelaskan, dia juga tidak masalah bila memang itu adalah aturannya.

"Kamu, kenapa malah membela mereka? Apa, kamu juga sudah tidak ingin menikah dengan, aku? Apa sudah berubah pikiran?" Zelin mencerca Yhosan dengan berbagai pertanyaan.

Api amarah terus berkobar didalam dadanya. Tadi dipatahkan oleh Papa sekarang Yhosan malah setuju dengan aturan yang dibuat keluarganya. Sebenarnya Yhosan serius atau tidak?

"Daripada, kamu berpikir yang bukan-bukan soal diriku. Lebih baik kita pikirkan caranya untuk membuat Bang Ziko bisa tertarik menjalin hubungan dengan wanita."

Mendengar hal itu langsung membuat, Zelin melepaskan rengkuhan Yhosan dari tubuhnya. Dia memandang dalam manik mata kekasihnya itu. Berusaha mencari tahu apa yang ada dalam pikiran Yhosan saat ini.

"Jangan seperti itu! Kamu, tidak memiliki bakat untuk membaca pikiran orang lain." Yhosan mendorong kecil kening Zelin dengan jari telunjuknya.

"Habisnya, kamu sih! Kenapa tiba-tiba bisa ngomong seperti itu? Emangnya Kakak aku pecinta sesama jenis sampai harus mencarikan wanita untuknya," kata Zelin ketus.

Mendengar ucapan Zelin membuat Yhosan tergelak. Dia sungguh tak menyangka jika Zelin yang periang dan memiliki kepintaran di atas rata-rata bisa berpikir seperti itu.

Melihat Yhosan tertawa membuat Zelin semakin kesal. Bukannya memadamkan kobaran api malah memercikan minyak tanah kedalamnya.

"Menyebalkan! Pergi sana dari kamarku. Aku tidak membutuhkan, kamu lagi. Selalu saja bercanda di setiap keadaan penting. Aku membencimu!" 

Setelah beradu agrumen dengan drama yang cukup panjang akhirnya Zelin dan juga Yhosan siap menerima kenyataan. Pasangan kekasih itu mengalah. Bersedia menunggu Ziko untuk menikah terlebih dahulu. Lagi pula apa yang diucapakan Zoy ada benarnya.

"Jangan terlalu lama berada di ruangan tertutup atau kalian akan digoda makhluk tak kasat mata untuk melakukan hal lebih jauh nantinya."

Sisil tiba-tiba datang. Mama Zelin itu rupanya sejak tadi mencari kunci cadangan agar bisa membuka pintu kamar putrinya.

Sebagai seorang ibu tentu saja Sisil merasa khawatir jika anak perempuannya dan laki-laki berada dalam satu ruangan tanpan ikatan. Bisa saja mereka melakukan dosa nanti.

Padahal Sisil malah sering membiarkan Zelin dan Yhosan pergi liburan. Bahkan sampai keluar Negara. Mungkin kalau memang ingin melakukan hal itu ... sudah mereka lakukan sejak lama.

"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status