Share

Chapter 3

"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya.

Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu.

"Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya.

Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas.

Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelanggaran yang berakibat fatal nantinya.

"Kenapa kaget? Udah pernah?" tanya Sisil menyelidik. Menatap satu persatu manik mata sepasang kekasih itu.

"Mama!" pekik Zelin dan Yhosan bersamaan.

Sisil tersenyum simpul. "Ya, kalau udah pernah bilang aja biar Mama tahu bagaimana cara menghukum kalian? Atau jangan-jangan Yhosan ingin menikmati indahnya jeruji besi karena telah meraba-raba anak orang?" tanya Sisil menggoda anak dan calon menantunya.

Yhosan dengan cepat menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Kenapa masalahnya bisa jadi serumit ini? Dari belum bisa menikah lalu tiba-tiba dikira sudah melakukan hal yang bukan-bukan. Hidup memang tidak bisa diterka.

"Ma, Yhosan berani bersumpah kalau titid ini masih digunakan untuk buang air kecil saja. Belum pernah melakukan yang bukan-bukan apalagi enak-enak."

Yhosan berkata seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang makan permen oleh ibunya padahal sebelumnya sudah dilarang. Yhosan bahkan menutup bagian inti tubuhnya dengan kedua telapak tangannya.

"Yakin? Kalau cuma ngomong gak pernah, orang lain juga bisa," kata Sisil semakin menjadi-jadi. "Awas kalau kalian sampai macam-macam sebelum waktunya." Sisil memicingkan matanya, mengancam putrinya dan juga Yhosan.

Sisil hanya berpura-pura saja. Dia sengaja mencairkan suasana, sebab tak ingin putrinya dan juga Yhosan terlalu memikirkan hal tersebut. 

"Sumpah, Ma. Yhosan tidak pernah macam-macam hanya sekedar memeluk, mencium, mengelus, merabah, menikmati––"

"Yhosan!" pekik Sisil dan Zelin bersamaan.

"Ups! Maaf ... keceplosan," kata Yhosan dengan polosnya.

Melihat ibu dan anak yang memandang Yhosan dengan tatapan seperti ingin memangsa. Membuat laki-laki dengan kemeja biru itu lari keluar dari kamar Zelin.

Meninggalkan kekasihnya seorang diri. Mata Sisil kini menatap Zelin tak berkedip. Ada rasa iba dan lucu di hati Sisil. Padahal niat Zelin dan Yhosan tulus. Dengan begitu pun mereka sebagai orang tua tidak perlu takut jika anaknya akan melakukan yang bukan-bukan.

Namun, keadaan Ziko–anak sulung Zoy dan Sisil yang sampai saat ini belum menikah terpaksa membuat mereka sebagai orang tua mengambil langkah.

"Jangan melakukan apa pun yang bisa membuatmu dipandang rendah. Selama ini, Mama percaya. Maka dari itu jangan hancurkan kepercayaan, Mama," kata Sisil memberi nasehat.

Zelin hanya mampu menganggukkan kepalanya. Melihat sang Mama yang tidak bisa melawan perkataan Papanya tadi membuat Zelin sedikit kesal.

Sisil merengkuh tubuh Zelin. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh juga. Mengusap punggung Zelin seolah sedang menyalurkan kekuatan untuk putrinya.

"Semua akan baik-baik saja. Mama, yakin kalau Bang Ziko pasti bisa mendapatkan pasangan dan menikah. Percaya pada, Mama bahwa semua akan baik-baik saja."

Zelin menganggukkan kepalanya dalam pelukan Sisil. Ibu memang tempat paling nyaman untuk anak-anaknya.

****

Zelin dan Yhosan kini tengah berada dalam perjalanan. Tak lupa sebelum pergi, Zelin mengoles sedikit makeup untuk menutup matanya yang baru menangis dan tentu saja untuk membuat wajahnya lebih fresh.

Tujuan mereka kali ini adalah bertemu dengan Ziko. Sebab ada rencana yang akan dijalankan pasangan kekasih itu. Sebelum melajukan kendaran ke kantor tempat di mana Ziko bekerja. Mereka terlebih dahulu menemui orang tua Zelin.

Mengatakan kalau mereka setuju untuk menunda pernikahan dan menunggu sampai Ziko mendapatkan wanita yang tepat. Namun, keduanya juga mengajukan sebuah syarat untuk Zoy dan Sisil bahwa kedua orang tua Zelin itu harus setuju kalau Yhosan dan Zelin membatu Ziko untuk mendapatkan pujaan hatinya–pelabuhan terakhir.

Untunglah dari pihak Zoy maupun Sisil sebagai orang tua tidak keberatan. Lagi pula yang dilakukan Yhosan dan Zelin juga untuk kebaikan Ziko. Dan tentu saja buat mereka agar keduanya bisa segera menikah.

"Kamu, yakin jika kita akan berhasil?" tanya Zelin saat mereka sudah setengah perjalanan menuju kantor Abangnya.

"Kita pasrahkan saja pada Tuhan. Lagi pula jodoh, rezeki dan maut sudah ditentukan oleh-Nya. Rencana yang Tuhan buat pun jauh lebih baik daripada kita," kata Yhosan seolah percaya diri.

Mengingat bahwa calon Abang iparnya memiliki sifat dingin dan sulit bergaul apalagi dengan wanita membuat Yhosan sedikit ragu. Apalagi laki-laki yang sedang mengemudikan mobil Bentley itu tidak tahu bagaimana sepak terjang Ziko.

Dia hanya berpura-pura yakin saja untuk menenangkan hati dan perasaan Zelin. Yhosan tidak ingin kekasihnya itu terlalu berlebihan dalam memikirkan hal ini.

"Semoga Bang Ziko bisa cepat menemukan pujaan hatinya," kata Zelin penuh harap. "Sebenarnya ada hal yang membuat aku penasaran," kata Zelin pelan. Pandangannya menerawang jauh.

"Tentang apa?" tanya Yhosan melirik sekilas kekasihnya itu.

"Tentang alasan mengapa Bang Ziko bisa memilih untuk tidak menikah," jawabnya dengan pasti

Banyak pikiran-pikiran aneh merasuki kepala Zelin. Mulai dari Ziko yang mungkin pernah disakiti wanita atau bahkan sampai berpikir bahwa Abangnya bukan laki-laki normal.

"Memangnya kalian berdua tidak pernah berbagi cerita?" tanya Yhosan menaikkan sebelah alisnya.

Terlahir sebagai anak tunggal tentu saja membuat Yhosan tidak terlalu paham akan artinya memiliki saudara. Dia hanya sendiri, berbagi cerita pada orang tau atau teman-temannya.

Zelin menjawab dengan menggelengkan kepalanya. "Apa dulu Bang Ziko pernah disakiti oleh wanita, ya?" tanya Zelin yang entah ditujukan pada siapa sebab tatapan matanya tertuju pada jendela mobil.

"Apa kita harus selidiki sepak terjang, Bang Ziko terlebih dahulu?" Yhosan balik bertanya sebab dia tidak bisa menjawab pertanyaan Zelin barusan.

Bagaimana mau menjawab kalau dia sendiri tidak terlalu dekat dengan calon Abang iparnya itu.

Kalaupun bertemu, mereka hanya membicarakan soal bisnis. Mengenai masalah pribadi, Ziko tak pernah terbuka pada siapa pun. Bahkan kepada kedua orang tuanya.

"Boleh dicoba," kata Zelin menganggukkan kepalanya.

Zelin sangat tertarik untuk mencaritahu akan hal ini. Dia benar-benar penasaran. Kira-kira apa alasan Ziko sampai tidak ingin menikah dan menghindar dari wanita?

Semua ini harus cepat selesai pikir Zelin. Kalau lebih lama lagi menunda pernikahannya dengan Yhosan bisa saja laki-laki yang saat ini menjadi kekasihnya itu akan berubah pikiran.

Bukankah waktu terus berputar dan kita sebagai manusia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya?

"Baiklah mulai hari ini kita harus mencari tahu segala hal tentang Bang Ziko termasuk urusan pribadinya," kata Yhosan semangat.

Ya, mereka berdua memang harus semangat dan saling menguatkan juga. Sebab semua ini ada kaitannya dengan masa depan Zelin dan Yhosan.

Atau mungkin hal ini bukan masalah Ziko melainkan karena Zelin dan Yhosan yang tidak berjodoh? Zelin dengan cepat menggelengkan kepalanya saat pikiran buruk itu datang. 

Enak saja! Masa setelah tujuh tahun pacaran harus berpisah? Memangnya Zelin ini panti asuhan apa? Yang bisa merawat dan memberikan kasih sayang pada seseorang yang nantinya akan pergi. Oh tidak! Tidak! Hati seorang Zelin Wiraguna tidak sebaik itu.

"Pokoknya aku akan berusaha agar Bang Ziko bisa segera menikah. Dia tidak boleh menjadi perjaka tua selama hidupnya. Kalau, dia tak menikah maka aku ...." 

Zelin tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia bahkan juga tak bisa membayangkan kalau hal itu sampai terjadi pada dirinya sendiri. Apalagi membayangkan sampai tidak berjodoh dengan Yhosan.

"Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Saat ini, 'kan kita sedang mencari cara supaya Bang Ziko bisa cepat menikah."

Berpikir panjang dan menerka-nerka segala hal yang belum tentu terjadi hanya akan membuat mereka menambah beban pikiran saja.

"Ada keperluan apa kalian berdua kesini? Mau minta restu?" tanya Ziko saat melihat adik perempuannya dan Yhosan datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status