Share

Chapter 4

Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa.

Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya.

Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin.

"Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya.

Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan, tapi tetap saja laki-laki yang duduk di kursi direktur utama itu menganggap bahwa Yhosan adalah orang lain.

Pernah suatu ketika mereka bertengkar dan Yhosan membela Zelin. Saat itulah keluar ucapan Ziko yang mengatakan bahwa orang luar tidak perlu ikut campur dalam urusan pribadi abang dan adik serta anak dan orang tua.

"Enggak," jawab Ziko sambil membereskan beberapa berkas yang telah dia tanda tangani. "Kerjaan gak banyak yang banyak itu pikiran. Kapan kalian menikah?" tanya Ziko tiba-tiba.

Sontak saja pertanyaan itu membuat Yhosan dan Zelin saling bertatapan satu sama lain. Mereka tak percaya kalau ternyata Ziko sudah tahu kabar ini.

"Ba–bagaimana ...." Zelin tak mampu melanjutkan pertanyaannya saat dia mengingat bahwa, Ziko selalu mempunyai seorang mata-mata untuk mengawasi segala tingkahnya.

Sementara, Yhosan memilih bungkam. Jarang berinteraksi dengan Ziko membuatnya sungkan untuk menimpali obrolan kakak beradik itu. Lagi pula ini bukan ranahnya. Yhosan cukup tahu diri akan hal itu. Kalau bukan karena dipaksa Zelin untuk masuk dia pasti akan memilih menunggu di luar saja.

"Sudah tahu jawabannya?" tanya Ziko.

Zelin menganggukkan kepala pelan dan tersenyum kaku pada Ziko. Dia tak tahu harus berkata apalagi setelah ini.

"Apa kabar, Yhos?" tanya Ziko basa-basi.

"Sehat, Bang." Yhosan menjawab, menerbitkan senyum kecil di bibirnya.

Ziko dan Yhosan tidak terlalu akrab. Tak sering membahas hal pribadi atau menanyakan tentang apa yang disukai serta tidak oleh Zelin. Mereka berdua hanya berbicara jika ada keperluan mengenai pekerjaan saja.

"Syukurlah. Oh ia kaalau, kamu perlu gedung yang lebih besar aku bisa mencarikannya untukmu," kata Ziko.

"Gak perlu cari gedung baru, Bang. Lagipula perusahaan itu masih dalam status berkembang. Nanti kalau memang butuh, Yhosan akan minta bantuan, Abang."

Yhosan terlihat canggung padahal ini bukan pertemuan pertama mereka. Meskipun akrab dalam hal bisnis tetap tak bisa membuat mereka terlihat seperti teman atau calon kakak dan adik ipar.

"Hum baiklah. Oh ya nanti tolong sampaikan rasa terima kasihku pada kedua orang tuamu. Kemarin mereka baru saja memenangkan tender dan barusan mengirim bingkisan padaku," ucap Ziko sambil melirik shopping bag di atas meja tamu.

"Mereka menang lagi?" tanya Yhosan kaget.

Ziko hanya menjawab dengan anggukan kepala sembari memberi senyum kecil.

"Pasangan suami istri itu memang tidak perlu diragukan lagi dalam hal bisnis. Mereka selalu mendapatkan yang terbaik. Akan ku sampaikan salammu pada mereka," ucap Yhosan.

Zelin yang jengah memberi kode lewat tatapan mata pada Yhosan. Niat datang kesini bukan untuk membahas soal bisnis tapi soal Ziko yang harus mendapatkan pasangan dan menikah.

Yhosan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan segera permisi untuk pergi ke toilet. Membiarkan Ziko dan Zelin mengobrol berdua.

"Bang," panggil Zelin manja saat memastikan Yhosan sudah benar-benar pergi dari ruangan itu dan memilih menggunakan toilet umum di luar.

Kedekatan kakak beradik itu memang tidak perlu dilakukan lagi. Segala hal apa pun yang diinginkan oleh Zelin dengan senang hati dikabulkan Ziko.

Zelin bahkan selalu bersikap terbuka apalagi kalau mengingat kakaknya memiliki mata-matanya yang selalu mengawasi Zelin dua puluh empat jam dalam sehari.

Oh, astaga apa jangan-jangan ... ahh, tidak mungkin mata-mata itu bisa sampai di rumah apalagi menerobos masuk ke kamar Zelin atau pun kamar mandi.

Ok berarti bukan dua puluh empat jam. Mungkin hanya saat Zelin keluar rumah bukan saat didalam ruangan pribadi lalu mengintip kegiatannya

"Ya, kenapa?" tanya Ziko menaikkan sebelah alisnya. Kalau sudah begini pasti Zelin menginginkan sesuatu. "Kalau sudah mau menikah, jangan berprilaku seperti anak kecil lagi," sambung Ziko mengingatkan.

Dari kursi kebesaran direktur utama Wiraguna Crop itu Ziko berjalan menuju kursi tamu dimana adiknya sedang duduk.

"Abang!" pekik Zelin tiba-tiba. 

"Jangan teriak-teriak! Ini bukan hutan," kata Ziko sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di sebelah Zelin agar mereka duduk bersebelahan. "Kamu punya masalah apa?" lanjut Ziko bertanya.

"Kapan Abang akan menikah?" tanya Zelin langsung pada tujuan utamanya datang ke kantor Ziko.

"Entah," jawab Ziko acuh sambil mengangkat kedua bahunya. "Sudah, aku katakan bahwa sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menikah. Jadi, kamu saja yang menikah lebih dulu dengan Yhosan," lanjutnya.

"Itu artinya, aku juga tidak akan pernah menikah ..." kata Zelin lirih, mata wanita cantik yang rambutnya dikucir kuda itu sudah berkaca-kaca.

"Siapa bilang? Kalau, kamu mau menikah, ya menikah saja. Mengapa harus mengunggu, aku untuk menikah lebih dulu?" tanya Ziko dengan polosnya.

"Bang, jangan pura-pura gak tahu sama apa yang sedang terjadi saat ini," kata Zelin memicingkan matanya.

Rasa sakit hati akibat susah untuk menikah serta rasa kesal yang menjalar di hati akibat peraturan tak tertulis ditambah lagi melihat tingkah Ziko membuat tensi darah Zelin naik. Emosinya sudah mendidih diubun-ubun.

"Aku, tidak akan menikah! Tidak akan pernah!" pekik Ziko keras membuat Zelin kaget

"Apa alasannya?" tanya Zelin dengan suara meninggi.

"Para wanita itu cerewet juga membosankan! Apalagi hobi mereka yang suka menghabiskan waktu dan uang di Mall," lanjut Ziko

Kening Zelin berkerut. Tidak mungkin hanya karena alasan itu membuat Ziko tak ingin menikah. Sungguh tidak masuk akal sama sekali.

"Hanya itu saja?" tanya Zelin memastikan.

"Huum," jawab Ziko berdehem.

"Bagaimana kalau kita taruhan," tawar Zelin tiba-tiba Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya.

"Tidak! Aku sudah pasti tidak mendapatkan keuntungan bila bekerjasama dengan, kamu dan Yhosan." Ziko menolak dengan tegas.

Zelin menghembus nafasnya kasar. Sulit sekali memang berinteraksi apalagi sampai bekerja sama dengan laki-laki ini.

"Kalau menguntungkan bagaimana?" tanya Zelin berusaha menawar.

"Memangnya rencana apa yang kamu punya sampai ingin bekerjasama denganku? Beli baju saja masih minta padaku," ucap Ziko dengan sombongnya.

"Itu karena memang kewajiban kamu sebagai Abang untuk memanjakan adik sematawayang ini," jawab Zelin kesal.

Dia memang seorang wanita pengangguran yang kebetulan lahir dari keluarga kaya raya. Memiliki pendidikan tinggi dan bisa membeli apa saja yang ia mau tanpa tahu bagaimana susahnya mencari uang.

"Huum. Sudah ku duga," ucap Ziko malas.

"Bang, ayolah. Kerjasama kita memang tidak menguntungkan secara materi, tapi aku yakin secara hati, perasaan, batin eemm lalu apa lagi ya ... pokoknya itu lah. Abang pasti mendapat untung dan kebahagiaan."

"Tidak!" Satu kata penuh ketegasan membuat Zelin terdiam.

"Kalau aku tidak bisa membujuk Bang Ziko dengan cara baik-baik maka, aku akan menggunakan cara kedua," kata Zelin dalam hatinya.

LanLan

Mulai hari ini dan seterusnya. Cerita ini akan update setiap hari. Semoga kalian suka!!!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status