Share

Chapter 7: Tang Tang

Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar.

"Pak, pesan dua porsi ya."

"Siap, Mas dan Mbak yang dari tadi mesra banget ihiw."

Tatap mata si gadis dan pria itu bertemu dan saling melontarkan raut geli.

Mereka mendapati fakta bahwa mereka pernah berjumpa di perlombaan melukis suatu masih duduk di sekolah dasar. Meski Lintang memutuskan untuk tidak melanjutkan bakatnya dan memilih menjadi akuntan di sebuah firma terkenal. Mereka semakin akrab satu sama lain, tak lupa gadis tersebut memberikan nomor kontak gawainya supaya tetap dapat berkomunikasi dengan Rudra.

Dua mangkok berisi bubur ayam panas nampak sangat lezat menghampiri keduanya. Ada percikan tawa yang muncul di sana ketika mereka berdebat antara bubur diaduk dan tidak diaduk.

Taman tersebut memang sangat rindang sehingga panasnya hari menjelang siang tidak bisa mengusik obrolan yang mereka ciptakan di kursi taman itu. Mungkin karena nostalgia masa lalu memang terkadang membuat candu. Bagaimana tidak? Mereka pernah dipertemukan di kala perlombaan melukis, dimana pria tersebut dan gadis itu menjadi juaranya, meski si pria hanya menduduki posisi kedua. Rudra sedikit menyanyangkan, mengapa gadis tersebut memilih menjadi akuntan ketimbang melanjutkan mimpinya menjadi pelukis terkenal. Pria itu selintas berpikir tahun ini ia merasa karirnya berada di puncak, karena saingannya sudah memilih jalan lain.

Perjalanan wisata masa lalu terganggu dengan sebuah realita dimana dering panggilan dari gawai Rudra terus berbunyi, dengan sangat terganggu pria itu mengangkat panggilan tersebut yang sudah ia abaikan beberapa kali.

“Iya halo, kenapa, Gof? Bukannya hari ini waktuku mencari inspirasi?” kata si pria dengan sedikit geram.

“Emang ya, kalau sudah dapat kesempatan pameran suka lupa diri. Aku sebagai juru bicaramu ingin memberikan kabar bahagia dan kabar buruk, mau pilih yang mana dulu untuk didengar?” jawab suara seorang pria dalam panggilan tersebut, yang bisa dipastikan dia adalah Gofano si pria berkacamata yang kemarin berada di meja kedai untuk berdiskusi.

“Sial, kenapa bisa ada kabar buruk segala? Aku pilih kabar buruk dulu saja, because I rest the best for the last” jawab si pria, yang sesekali melirik ke arah kursi taman tepat ke arah seorang gadis yang juga sedang terlihat sibuk dengan gawai pribadinya.

“Kabar buruknya, tempat pameran yang kita sudah rencanakan, ada yang membatalkannya dari pihak promotor, kamu tidak bisa untuk melaksanakan pameran disana” jawabnya.

“Lalu, dimana?” dengan cepat pria itu langsung menjawab.

“Kita pindah di galeri nasional, karena ada seorang investor dan kolektor yang tertarik dengan karya-karyamu sebelum ini, mereka ternyata diam-diam memperhatikan karya yang kamu ciptakan, untuk soal ini kamu bisa tanyakan langsung kepada mereka. Karena mereka mengundang kita untuk sebuah makan malam. Malam ini.”

“Apakah kamu serius? Pameranku akan dilaksanakan di galeri nasional?” jawab pria itu dengan sedikit tidak percaya.

“Halo, Rudra Batara Lesmana, sudah berapa lama kamu berteman denganku? Apakah pernah aku berbohong? Ya pernah sih, waktu aku memilih untuk pergi dengan kekasihku.” jawabnya

“Baiklah, sekarang berita baiknya apa?” lanjut si pria itu.

“Baiklah berita baiknya adalah kamu akan mendapatkan undangan untuk melakukan pameran di Paris jika kamu berhasil memukau para seniman negeri ini. Ini momen yang sangat langka. Karena kolektor yang berada disisi kita saat ini adalah kolektor yang sangat fanatik dengan seniman bukan karyanya saja dan dia orang yang membeli hampir semua hasil lukisanmu. Aku sangat tahu kamu sangat mengingkan untuk terbang ke Paris bukan? Memamerkan karyamu di sana?” jawabnya.

Pria itu hanya terdiam. Cahaya mulai menelusuri sela-sela ranting dan daun seakan-akan semesta memberikan dukungan untuk sebuah karismanya yang akan segera bersinar menyaingi kilau sang mentari.

“Rud.. Aku tau kamu sedang tidak bisa berkata-kata, sama persis kalau kamu sedang terkesima dengan seorang gadis, dasar cupu. Sudah ya, jangan lupa nanti malam pukul tujuh tepat kamu harus sudah siap berada di depan rumahmu itu. Oke? Bye.” sambungnya cepat.

“Tut.. Tut" suara dering panggilan tertutup.

Taman itu menjadi sesak olah senyum merekah yang tercetak berkali-kali dari si pria yang sedang berdiri mematung dengan gawai yang masih bersanding dengan daun telinganya. Dia merasa langkah yang diambil sudah akurat dan tepat meski sedikit terlambat untuk meyakini jalan yang dia pilihnya. Ya, jalan seni akan selalu sunyi dan sepi.

Sulit sekali orang di era hari ini memilih jalur seni, apalagi yang sama sekali menjadikan materi atau kekayaan sebagai pilihan nomor sekian untuk hidup dan gengsi. Kerap kali dia dikucilkan dari masyarakat karena pilihannya ini. Dia tegar saat ini karena almarhum orang tuanya mengajarkannya untuk tidak menyesali semua pilihan yang diambilnya, karena sebelum mengambil pilihan tersebut harus didasari nurani ynag kuat dan akhirnya memilih hal tersebutlah yang paling baik dari yang baik-baik saja. Lamunannya pecah di  saat si gadis pesepda tersebut menepuk bahunya.

“Rud, kamu kenapa?” tanyanya.

Tanpa aba-aba pria tersebut langsung memeluk gadis itu lalu melepasnya dan melemparkan senyum lebarnya. Lalu tersadar bahwa yang dia peluk adalah seorang gadis yang baru hari ini dia temui kembali setelah sekian lama tidak berjumpa.

“Maaf-maaf, aku tidak sengaja. Mungkin karena aku terlalu senang.” jawab pria tersebut gugup.

Gadis itu menyebulkan kemerahan pada pipinya, bagaimana tidak kulitnya yang bersih itu tak kuasa untuk menutupi kejujuran perasaan yang sedang dirasakan si gadis tersebut.

“Gak apa-apa kok rud santai aja. Memangnya kenapa? Kok kamu terlihat sangat senang sekali?” tanya si gadis tersebut kepada pria yang sedang menahan malu karena kejadian tadi.

Belum pria itu menjawab, dering telpon berbunyi dari gawai si gadis itu. Gadis itu hanya menganggukkan kepala, dan berkata kepada sesorang dalam panggilan tersebut untuk menunggu sebentar.

“Rud, sepertinya simpan cerita itu nanti. Aku akan menghubungimu nanti untuk menagih cerita yang akan kamu ceritakan padaku ini. Abang supir onlinenya sudah menungguku soalnya, boleh minta tolong sekali lagi gak? Untuk mengantarkanku dan sepedaku ke gerbang taman ini. Dia menungguku di sana” jawab si gadis dengan menampilkan muka sedikit memelas itu.

Pria tersebut langsung bergegas membereskan bawaannya, dan mengangkat sepeda tersebut untuk kemudian menuntunnya ke depan gerabang. Mereka berdua berjalan perlahan-lahan meninggalkan para dedaunan yang sedari tadi menjadi penonton yang menyaksikan percakapan sangat asik oleh keduannya.

Sesampainya di sana, mereka berpamitan dan pria tersebut melambaikan tangganya, lalu berpaling dan sedikit melompat kegirangan lalu berlari kearah sepedanya yang ia parkirkan di tiang lampu taman. Rudra menaiki sepedanya, melaju meninggalkan taman tersebut. Di jalan pria itu mulai menata kembali mimpi-mimpinya untuk menjadi sesorang yang bisa dihargai di dunia yang dia pilih yaitu seni. Dia sementara lupa kepada seorang gadis yang berhasil memukau perhatiannya, yang masih dia belum ketahui siapa namanya.

“Tepat di hari yang sama, ada tanya yang menjelma raksasa yang melangkah mendekati kita yang belum punya senjata jawabannya.” 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status