Share

Chapter 8: Tamu penting 

Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala.

Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru bicaranya terus menerus berbunyi. Ia yakin sahabatnya itu sudah menjelma menjadi ibu yang mengomel pada anaknya sesaat akan berangkat sekolah.

Malam mulai menjulang gelap, Rudra sudah siap dengan setelan kemeja rapi dan celana bahan lengkap dengan sepatu hitam mengkilap. Sedikit menggosok sepatu yang diwariskan ayahnya, pria tersebut tampil dengan percaya diri menunggu jemputan di depan rumah. Beberapa pasang mata wanita melemparkan senyum kepadanya. Awalnya senyum tersebut dibalas dengan baik, lama kelamaan pria tersebut merasa tidak nyaman, dan memilih masuk kembali ke dalam rumah.

“Kalau sudah sampai depan rumah kabari saja.” 

Isi sebuah pesan singkat yang ia kirimkan kepada kawannya.

Tin! Tin!” bunyi klakson mobil yang baru saja datang. 

Mobil jemputan pria itu sudah datang. Memang bukan sebuah mobil mewah seperti Limousine atau Alphard, hanya mobil subsidi berwarna putih, itu saja kurang dua bulan lagi untuk lunas dibayarkan. Supirnya tidak terlalu istimewa, bukan perawakan layaknya pasukan pengawal presiden, hanya lelaki tambun yang masih bimbang lantaran kekasihnya menuntut untuk dinikahi.

“Iya, sabar.” kata seorang pria dari dalam rumahnya.

Brug!” suara pintu mobil. Seorang pria masuk ke mobil tersebut.

“Ya ampun masa sih calon seniman muda yang akan gemilang karirnya hanya menggunakan kemeja saja sih? Tuh ambil bingkisan di kursi belakang, Nisa membelikannya untukmu karena dia tau hari ini adalah hari yang penting untuk karir kita berdua. Lihat. Nisa saja lebih memperdulikan kamu ketimbang aku pacarnya. Dah sana kamu kenakan itu” jelas si Gofano lengkap dengan setelan rapi ala borjuis.

Gofano segera melajukan mobilnya menuju sebuah restoran yang berada di hotel bintang lima di dekat kawasan elit dekat pantai. Malam itu tidak terlalu ramai seperti malam biasanya yang terjadi di kota metropolis ini. Melalui jendela kaca mobil, matanya menelusuri pinggir jalan, di sana terlihat seorang anak yang berlarian dengan koran yang menempel pada pundaknya. Seakan-akan anak itu adalah pahlawan layaknya di buku komik yang bisa terbang, tak jauh dari situ ibunya memasak makanan di dapur darurat. Bagaimana tidak mereka berada di sebuah tenda dengan atap terbuat dari baliho bekas partai yang sudah tidak terpakai. Dari baliho-baliho itu terlihat senyum-senyum calon pejabat yang khas dan kharismatik yang siap menebar janji-janji palsu.

Laju mobil terhenti, tatkala lampu merah yang menyala di pojok kanan jalan. Sebentar lagi mereka akan segera sampai menuju tempat pertemuan. Mobil berhenti kembali dengan suara ketukan di jendela mobil. Seorang valet parkir hotel tersebut langsung menawarkan jasanya untuk memparkirkan mobil tersebut, karena tamu restoran dan tamu hotel berbeda lokasi parkirnya.

Mereka keluar dari mobil dan memasuki ruangan restoran. Sepanjang perjalanan menuju restoran, Rudra asyik menikmati suasana mewah dengan banyak lukisan besar dipajang. Di tengah ruangan terlihat seorang pria dengan dasi merah bermotif bunga mawar melambaikan tangannya ke arah mereka. Mereka berjalan menelusuri meja-meja di sana, beberapa orang di sana langsung bangkit berdiri ketika mereka mulai mendekati meja.

Setelah memesan makanan, perbincang seru mulai timbul di meja itu.

"Saya sudah lama tahu karya-karyamu sungguh menyejukkan ketika dipandangi terus-menerus, dan dilihat berkali-kali pun saya semakin terbawa ke sebuah nostalgia lama yang saya yakin saya sangat merindukan saat itu", ungkap seorang kolektor memulai obrolan di meja tersebut.

"Kemarin Kuncoro menghubungiku, nampaknya akan ada yang ingin bergabung di lingkaran ini. Nah, kau lihat bukan. Banyak orang yang menginginkan karyamu lahir, Nak. karyamu itu mengingatkan kami pada sosok maestro bangsa yang sudah lama meninggalkan negeri ini, Affandi", kata seorang investor menambahkan.

"Tuan Schmidt von Luberg menunggu karya-karyamu lahir, dia berani dan tak segan-segan menyediakan kastilnya untuk kau pameran di sana" kata seorang investor yang memulai pembahasan baru.

Obrolan serta pujian menjadi menu penting dalam pertemuan tersebut, beberapa makanan mulai tersaji di meja tersebut, mulai dari pembukaan makanan ala orang Perancis, menu utama khas negara Turki, hidangan penutup dari Italia.

Senyum lebar terpancar dari wajah Gofano si pria berkacamata. Rudra yang malam ini menjadi bintang utama topik pembicaraan pun tak luput pula melemparkan senyum untuk ikut turut serta dalam euforia kebahagiaan.

Sekilas bayangan sesosok gadis yang pernah ia temui di kedai tempo hari muncul di seberang mejanya. Gadis itu hadir dengan gaun merah yang tampak seperti putri mawar yang berjalan menuju altar kerajaan. Rambutnya disanggul modern, membuat wajah mempesonanya dapat terlihat jelas. Pria itu tertegun. Dia hendak bangkit untuk mengejarnya, namun terhenti ketika sang kolektor mengajaknya berbicara. Sekali lagi dia kehilangan kesempatan untuk bertanya kepada gadis itu demi mengetahui siapa namanya.

Pertemuan ini diakhiri dengan saling sulang antara pria di meja itu. “Cring” bunyi gelas dengan air anggur merah yang pasti harganya tidak murah itu karena tertera tanggal pembuatan yang jika dihitung berusia lebih dari dua abad. Kali ini senyum dari si pria calon seniman tidak terlihat sumringah. Di otaknya masih menumpuk rasa penasaran yang semakin meninggi, karena sudah berhari-hari masih tidak punya penyelesaiannya. Sebelum pria si calon seniman muda itu melangkah untuk menjauhi meja, sang kolektor tersebut menepuk bahunya.

“Jaga kesehatanmu, Nak, dunia harus melihat karyamu. Perkara negeri ini? Kau tidak usah larut untuk berpikir. Bangsa ini belum mampu mendidik rakyatnya untuk menghargai senimu. Biarkan saya yang mewakili bangsa ini untuk menghargainya” kata si kolektor yang langsung menghampiri orang-orang berbusana hitam-hitam berbadan kekar di dekat pintu keluar.

Sebuah kalimat yang dapat mengalihkan pikirannya dari seorang gadis yang sudah bersemayam di otaknya cukup lama. Dalam perjalanan pulang pun, jalan raya yang sepi seperti sedang memunculkan sosok gadis itu, tepat di tiap bawah lampu-lampu jalan. Sementara  si supir yang juga adalah sahabatnya itu tertidur di kursi belakang.

“Rindu kali ini berbentuk bulat karena rindu tersebut tak ingin menyudutkan siapapun”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status