"Uggh!" lenguh Emmy menggeliat usai tidur panjang yang nyaman. Dia sontak membuka matanya karena teringat tadi sedang berada di taksi pulang ke Hotel Hilton Dublin. Ketika melihat langit-langit kamar hotel berpencahayaan remang-remang dan merasakan lengan berat melingkari perutnya, Emmy menoleh ke sebelahnya. Dia lega karena sugar daddynya nampaknya yang telah menggendongnya turun dari taksi hingga ke kamar tempat mereka menginap selama di Irlandia.Wajah William saat terlelap begitu tampan, hidung mancungnya dan bulu matanya yang lentik membuat Emmy betah menatap pria itu berlama-lama. Rahang yang kokoh itu jarang tanpa cambang tipis karena hormon testosteronnya membuat bagian itu bersemak subur.Hujan salju masih turun deras di luar sana, Emmy pun merasa kedinginan sekalipun kamar hotel itu sudah dipasang pemanas ruangan oleh William sebelum tidur. Dia mulai menggigil karena kemungkinan suhu udara di Dublin telah turun hingga di bawah 0°. William terbangun karena gadis itu bergera
"Yummy! Mister Alan pintar memasak, kalkun barbekyu ini lezat dan empuk sekali," puji Emmy saat mereka bertiga menikmati makan malam bersama sobat sugar daddynya.William pun mengangguk setuju dengan mulut penuh makanan. Dia menelannya lalu menimpali, "Kurasa dia memang berbakat di bidang kuliner selain memimpin perusahaan IT.""Hanya hobi yang berasal dari kebiasaan saja, aku tidak fokus belajar cara memasak dengan benar. Akan tetapi, aku memang ingin memiliki sebuah restoran yang bisa dijadikan tempat berkumpul keluarga dan sahabat. Oya, katamu maket tiga dimensinya sudah selesai, Will? Setelah dinner aku ingin melihatnya dulu agar bisa memberi masukan seandainya ada yang kurang cocok," ujar Alan Whittaker sambil memotong daging kalkun berwarna cokelat keemasan di piringnya."Tentu saja, aku juga butuh masukan agar sesuai dengan keinginanmu, Alan," jawab William lalu melanjutkan makan malam yang menyenangkan itu.Seusai makan malam mereka bertiga pun bersantai di ruang keluarga di a
"Wow, indah sekali lukisan dinding di Stasiun Sao Bento ini, Kak!" puji Emmy sesuai tebakan William. Gadis imut itu tertegun memandangi lukisan ubin keramik yang menggambarkan kisah sejarah yang pernah terjadi di kota Porto, Portugal.William merangkul bahu pacar kecilnya dan membiarkan gadis itu berdiri memandangi lukisan penaklukan Moroko oleh Henry sang navigator yang nampak epik dan impresif. Karya seni dua dimensi tersebut memang indah, tepat seperti kata Emmy."Seharusnya kalau kamu mau melihat semua lukisan ubin di stasiun kereta ini, ada empat cerita besar yang berbeda tema, Emmy. Hanya saja sudah petang mungkin lihat sekilas sambil berjalan ke pintu keluar stasiun saja ya!" tutur William yang disetujui dengan anggukan oleh Emmy. Mereka pun melangkah menyusuri lorong menuju ke gerbang keluar Stasiun Sao Bento sambil menyeret koper masing-masing. Langit telah gelap di atas kota Porto, William pun memutuskan untuk mencari taksi agar mereka bisa langsung beristirahat di hotel. A
Suara denting gelas kristal dan obrolan yang berdengung bak sarang lebah terdengar di antara permainan musik mini orkestra di sebuah hunian mewah yang berada di Jakarta. Acara pesta kalangan jetset memang selalu ada saja, kali ini adalah perayaan hari jadi ke-25 Grup Seven Seas Victory, sebuah perusahaan asing swasta yang bergerak di bidang properti dan konstruksi milik keluarga Tobias."Hello, Amanda. Bagaimana kabarmu?" sapa Nyonya Lindsay Tobias kepada kolega dekatnya, Nyonya Amanda MacRay seraya memberikan kecupan di pipi kanan kiri wanita berambut hitam legam bersanggul elegan tersebut."Hai, Linsay. Congrats untuk perusahaanmu dan Peter!" balas ibunda William MacRay itu. Kemudian dia juga berjabat tangan dengan putri sulung konglomerat yang menggelar acara megah malam ini. "Apa ini benar Vanessa? Wah, cantik sekali!" ucapnya terkesima dengan penampilan perempuan muda di sebelah Nyonya Lindsay Tobias.Perempuan bermata biru keturunan bule Amerika Serikat dengan rambut pirang luru
"Apa gambar yang aku buat sudah benar, Kak Willy?" tanya Emmy sambil menyesap hot chocolate di cangkir pinjaman hotel. Dia berdiri di dekat jendela kamar yang menghadap ke jalan raya.Lagi-lagi siang itu mereka berdua harus tertahan di kamar saja, hujan salju turun lebat sejak semalam dan membuat suasana mendung. Tidak nyaman bila berjalan-jalan di kota Porto dalam kondisi dingin membeku karena salju menumpuk tebal di jalanan."Pekerjaanmu bagus, Emmy. Lanjutkan lantai berikutnya. Ada total 30 lantai, bukan?" balas William lalu meletakkan kertas strimin biru di meja tulis yang digunakan Emmy untuk bekerja dalam kamar Hotel Sheraton Porto.William bangkit dari tempat tidur lalu menghampiri gadis kesayangannya yang nampaknya sedang merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama duduk menghadap meja serta menggambar proyeksi bangunan dalam bentuk dua dimensi berskala. Dia memijat bahu serta lekuk leher Emmy sembari bertanya, "Apa kamu capek, Baby?" Sebuah ciuman didaratkan di k
Tanggal 24 Desember pagi, William menemui kliennya di lobi Hotel Sheraton Porto bersama Emmy. Semua barang mereka telah dipacking rapi dan diletakkan di samping sofa. "Mister Ronaldo Fabricio, kuharap kontraktor yang Anda pilih akan mampu mewujudkan desain yang saya buat bersama Emmy. Semuanya telah saya teliti ulang dan semuanya sesuai dengan perhitungan ideal massa bangunan sesuai tinggi gedung pencakar langit yang Anda inginkan," tutur William dengan serius sembari menemani kliennya melihat maket 3D yang dibuatnya sebagai proyeksi gedung pencakar langit 30 lantai di layar laptopnya.Mister Ronaldo Fabricio terkekeh puas melihat hasil pekerjaan arsitek rekomendasi kolega dekatnya itu. Dia berkata, "Bravo, pekerjaan Anda sungguh excelent, Mister Will. Saya tak sabar melihat hasil bangunan ketika selesai nanti. Maket tiga dimensinya begitu mengesankan. Akan saya sampaikan salinan blue print serta dokumen dari Anda ke kontraktor pengembang pilihan saya secepatnya!" Kemudian William p
"Ternyata banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkunjung ke mari ya, Kak?" ujar Emmy sembari duduk melihat-lihat sekelilingnya. Pasangan kekasih itu sedang berada di area depan sebuah cafe fancy di Piazza del Risorgimento.William pun menyahut, "Nggak setiap hari ramai seperti ini. Maklum ini high season yang dirayakan oleh banyak umat Nasrani di seluruh dunia. Kalau hari-hari biasa sepi kok, Emmy!"Mereka memang tidak bisa ke Lapangan Santo Petrus karena terlalu padat oleh pengunjung. Namun, nyanyian paduan suara masih bisa terdengar jelas di cafe tersebut. Suasana kota Vatikan sangat sibuk di malam itu dan sangat menyenangkan hanya sekadar untuk diamati pun.Pesanan Tomahawk steak dan pasta mereka diantarkan oleh seorang waiter ramah berkebangsaan Perancis. "Selamat menikmati hidangan istimewa cafe kami, Sir, Miss!" ujarnya dengan bahasa Inggris berlogat Perancis."Merci," jawab William yang artinya terima kasih. Dia dan Emmy pun mulai mencicipi menu cafe tersebut yang ternyata
"Hari ini aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di Italia terlebih dahulu, Emmy. Tepat di hari Natal, banyak obyek wisata di Vatikan yang tutup. Kita naik kereta saja ke Venesia ya?" ajak William yang sedang menyiapkan barang bawaannya ke dalam tas selempang.Emmy yang sedang membedaki wajahnya di depan kaca wastafel kamar mandi pun menjawab, "Asik banget deh pasti, Kak. Tapi nanti malam kita bakalan pulang ke sini lagi 'kan?" "Iya, kita check out tanggal 27 pagi, Darling." William berdiri di ambang pintu kamar mandi mengamati pacarnya yang sedang merias diri. Seusai memulas lipstick warna soft rose di bibirnya, Emmy menghampiri William lalu berjinjit untuk mengecup bibir pria itu. Suara dua bibir beradu menggema di dalam kamar mandi hotel tersebut. Masih sambil berciuman, William merengkuh tubuh ramping gadisnya dan menaruh Emmy di atas meja wastafel. Rasanya Emmy seperti kehabisan napas karena ciuman marathonnya bersama sugar daddy gantengnya. Mereka saling bertatapan dalam jarak d