"Bangun, Cintaku! Matahari sudah tinggi di langit Amsterdam," ucap William di tepi telinga Emmy.Gadis kesayangannya masih saja betah berlari-lari di alam mimpi, sementara hari semakin siang. Memang acara jalan-jalan mereka semalam ke Red Light District cukup melelahkan sekalipun begitu menarik. "Ughh ... apa sudah pagi, Kakak Sayang?" lenguh Emmy sembari membuka kelopak matanya yang terasa seperti dilem dan sulit diajak bekerja sama. Pipi lembutnya dihujani kecupan mesra oleh William hingga dia terkikik geli. "Jam delapan sekarang, Baby. Kita harus sarapan lalu mengejar kereta di stasiun untuk berangkat ke Rotterdam. Mister Abram De Vries sudah menunggu kedatangan kita!" jawab William lalu meraup badan pacar kecilnya itu dan membawanya ke kamar mandi.Emmy pun tertawa karena kegigihan sugar daddynya yang berusaha membangunkannya dengan efektif. "Okay, aku sudah bangun sekarang, Kak!" seru gadis itu panik.Akhirnya dia didudukkan di atas kloset oleh William. "Mandi ya, kutunggu di k
"Selamat beristirahat, Mister MacRay. Oya, apa Emmy ini karyawan Anda atau siapa?" tanya Mister Abram De Vries sebelum melepas kepergian arsiteknya turun dari mobil di depan pintu lobi utama sebuah hotel di Rotterdam."Dia istriku, Sir. Kami baru saja menikah belum lama ini!" jawab William dengan ekspresi serius. Pria itu sengaja melakukannya karena melihat bahwa putra kliennya menaruh minat terhadap Emmy semenjak mereka bertemu di stasiun kereta.Jorges yang mendengar pengakuan William atas status pernikahannya dengan Emmy langsung mendengkus tak senang di bangku samping pengemudi. Dia nampaknya kecewa berat."Baiklah, selamat kalau begitu untuk pernikahan kalian. Istri Anda sangat belia, beruntung sekali bisa menemukan perempuan yang tidak mempermasalahkan perbedaan usia yang sangat lebar jaraknya!" sindir Mister Abram De Vries dengan halus seraya melirik ke arah Emmy yang wajahnya tersipu malu.Gadis itu tidak membantah apa yang dikatakan William mengenai status mereka berdua. Emmy
"Aahh ... kenyang banget makannya tadi, Kak!" ujar Emmy sembari menepuk-nepuk perutnya. Dia berjalan bersebelahan dengan William di trotoar jalanan kota Rotterdam yang tidak seramai Amsterdam. "Kalau kamu masih lapar, aku yang kaget, Baby. Sekalipun badan kamu mungil, bak penampungan usus kamu kayaknya lebar deh!" sindir William sambil terkekeh menggoda pacar kecilnya yang mengerutkan hidung ke arahnya.Emmy mengendikkan bahunya seraya menjawab, "Habisnya eman-eman kalau ditinggalin gitu aja makanannya, Kak. Kan mahal juga bayarnya!" "Lain kali pesan jangan terlalu banyak menunya deh, aku kuatir kamu sakit perut kalau over makannya. Oya, gimana kalau kita berkunjung ke museum? Masih buka sampai jam sembilan tuh, sempat kalau cuma lihat-lihat masuk sebentar," ajak William sambil merangkul bahu Emmy menyeberangi jalan raya yang cukup ramai kendaraan.Gadis itu menurut saja dengan ajakan William, berkunjung ke museum adalah kegiatan santai yang berkesan. Museum Kota Boijmans Van Beunin
"Emmy, cuacanya masih buruk di Rotterdam. Lebih baik segera kita selesaikan saja cetak birunya dan RAB untuk proyek Mister Abram De Vries hari ini. Besok pagi kita serahkan lalu berangkat ke Berlin setelahnya dengan kereta Eurostar!" ujar William sambil berdiri di balik kaca jendela kamar Hotel Marriot Rotterdam. "Iya, Kak. Aku setuju, kita tidak bisa berjalan-jalan ke luar gedung juga sesuai himbauan Badan Meteorologi dan Geofisika." Emmy menjawab sembari berkutat dengan gambar di kertas striminnya. Kemudian William kembali duduk menghadap laptopnya di tempat tidur karena Emmy menempati satu-satunya meja dan kursi yang ada di kamar tersebut. Mereka berdua tak membuang waktu untuk mengerjakan desain pesanan klien asal Belanda tersebut.Sesuai rencana, keesokan harinya William dan Emmy menemui klien di lobi hotel untuk menyerahkan hasil pekerjaan mereka. "Silakan dilihat terlebih dahulu cetak biru floating cottage desain kami di laptop, Sir. Salinannya ada di CD ini. Kalau kontrakto
"Mmm ... yummy!" Emmy bergoyang lidah menikmati kelezatan daging steak Rib Eye lembut yang gurih di mulutnya.William pun sedang makan bersama gadis itu, tetapi dia lebih tertarik untuk memandangi wajah kekasihnya dibanding fokus ke makanan di piring. "Crackers ini restoran yang lumayan terkenal di Berlin lho. Bersulang, Emmy!" ujarnya.Mereka mengangkat cawan bertangkai tinggi berisi sparkling wine bergelembung-gelembung udara kecil dan mendentingkan kedua permukaan kaca itu hingga berbunyi pelan. Emmy meminum wine mahal itu lalu tersenyum. "Semuanya enak, Kak. Terima kasih sudah ditraktir makan malam!" pujinya."Aku nggak pernah deh membiarkan cewek buat membayar bill kalau kuajak kencan," sahut William sambil memotong daging steak Tenderloinnya dengan pisau dan garpu. "Tapi aku pernah traktir Kakak Sayang kopi dan donat di bandara waktu pertama kita ketemu dulu," balas Emmy terkikik karena teringat pertemuan tak disengaja dengan sugar daddynya itu.William pun tertawa pelan. "Iya,
"You ... you are my universe and I just want to put you first!" Teriakan para penonton yang ikut menyanyi bersama idola mereka, Chris Martin terdengar membahana di lapangan alun-alun Gendarmenmarkt, Berlin pagi jelang siang itu. Emmy menggoyangkan badannya bersama William yang memeluknya dari belakang dengan protektif. Mereka berdua menikmati serunya konser di tengah lautan manusia yang menonton performance boyband idola jutaan umat manusia itu.Vokalis Coldplay itu mengacungkan mikrofon yang dipegang tangan kanannya ke depan panggung dan membiarkan para fans beratnya menyanyikan refrain part lagu legendaris bandnya, My Universe. "Are you happy, Girl?" seru William di tepi telinga pacarnya lalu mengecup pipi kanan Emmy."Happy dong, Kakak Sayang. Konsernya keren banget, seumur-umur lagi sekali bisa nonton live performnya si Chris Martin bareng Coldplay!" jawab Emmy penuh semangat. William pun tak kalah bersemangatnya karena lagu berikutnya yang dimainkan adalah Viva La Vida, salah
"Excelent! Desain townhouse ini sesuai dengan yang saya inginkan. Terima kasih, Mister William MacRay," ujar Mister Abelardo Zweig usai melihat tampilan 3D desain rumah tiga lantai buatan William di laptop lengkap dengan cetak birunya. Kemudian William menutup layar laptopnya sembari menyerahkan CD ke tangan kliennya. "Salinan file sudah saya simpan di CD. Satu untuk Anda dan satu lagi untuk kontraktor pengembang yang akan membangun rumah Anda, Sir!" "Senang bekerja dengan Anda, Mister William MacRay. Hasil pekerjaan Anda sangat bagus dan prosesnya cepat. Apakah setelah ini kalian berdua akan pulang ke Jakarta?" balas pria Jerman itu dengan ramah."Masih belum, ada tiga tempat lagi yang harus kami datangi sebelum pulang ke Indonesia. Dari Berlin lalu ke Dublin, setelah itu ke Porto, dan terakhir di Praha. Kebetulan klien-klien saya bersedia menunggu kedatangan saya demi membangun proyek sesuai keinginan mereka dengan desain saya!" tutur William sebelum berjabat tangan perpisahan den
Malam itu sekitar pukul 19.00 waktu Dublin, William merangkul bahu Emmy memasuki Temple Bar Dublin. Tempat nongkrong legendaris yang sangat terkenal dan wajib dikunjungi bila sedang melancong ke Irlandia. Bangunan luar pub itu bercat merah terang yang sangat eye catching di pusat jantung kota Dublin. Di dalam bar tersebut ramai pengunjung yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki memenuhi meja-meja makan dan juga bertengger di kursi tinggi yang mengelilingi meja bartender yang panjang melingkari para pria yang sibuk menyajikan berbagai macam minuman pesanan tamu.Suara penyanyi laki-laki diiringi band musik country terdengar dari atas panggung yang menjadi hiburan malam itu. Namun, William tidak tertarik dengan penampilan live music show tersebut, dia mengedarkan pandangannya mencari klien yang memiliki janji temu di Temple Bar Dublin. "Will, di sini!" teriak seorang pria bercambang subur merah menyala yang sekilas berwajah mirip Ed Sheeran dengan mata biru yang cemerlang melambaika