Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.
Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.
Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, membuatnya menjerit pelan.
"Menjadi selingkuhan dan masih berani ikut campur? Lebih baik kau diam sebelum aku menghajarmu juga," ujar Charlotte dingin, suaranya seperti pedang yang menusuk langsung ke hati wanita itu.
Calvin yang panik langsung bangkit, meski langkahnya goyah. "Lolipop, aku bisa menjelaskan semuanya," katanya dengan nada memelas, mencoba mendekati Charlotte.
Namun, Charlotte mengangkat tangannya, menghentikan Calvin yang mendekat. "Senyuman, pegang tangan, cium tangan, apa lagi yang harus kau jelaskan?" tanyanya dengan nada penuh kekecewaan, sebelum tiba-tiba ia melayangkan galon kosong yang dipegangnya. Dalam satu gerakan cepat, ia menghantamkan galon itu ke kepala Calvin.
Brak!
Suara benturan keras itu membuat para pengunjung kafe terkejut, sementara Calvin terhuyung ke belakang dan terjatuh ke lantai, terkapar dalam keadaan pusing.
"Aahh!" Calvin mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang kini terasa berdenyut hebat.
Wanita yang tadi berdiri di dekat Calvin langsung menjerit panik. "Calvin!" Ia berlutut, memegang bahunya dengan wajah cemas.
Charlotte hanya berdiri diam, menatap pemandangan itu dengan dingin. Ia melipat tangan di dada, lalu melangkah mendekati Calvin yang masih terbaring. "Sekarang aku yang mencampakkanmu," ucapnya tegas dengan suara rendah namun tajam. Tatapannya lalu beralih kepada wanita itu. "Kalau kau suka, ambil saja. Aku tidak mau lagi!" Setelah berkata demikian, Charlotte melemparkan galon kosong itu ke arah Calvin, meski tidak mengenainya, lalu berbalik, meninggalkan tempat itu tanpa sedikit pun menoleh.
Sementara itu, di pojok kafe, pria yang berpenampilan rapi dengan setelan jas hitam mengamati adegan tersebut dengan penuh minat. Ia menyilangkan kaki, tangannya yang memegang cangkir kopi berhenti di tengah perjalanan menuju bibirnya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman kecil.
"Menarik," gumamnya pelan sambil memperhatikan Charlotte yang melangkah keluar dengan langkah penuh emosi. Ia tampak memikirkan sesuatu yang tidak seorang pun tahu.
Tak lama kemudian, seorang pelayan kafe mendekatinya dengan hati-hati, membawa secarik kertas di tangannya. "Tuan Harris, ini adalah alamat yang Anda minta," ujar pelayan itu dengan nada sopan, menyerahkan kertas tersebut.
Pria yang dipanggil Tuan Harris itu mengambil kertas tersebut tanpa tergesa, membacanya sekilas. Ia lalu mengeluarkan selembar uang dolar dan meletakkannya di meja sebagai tip. "Baiklah," jawabnya singkat sebelum berdiri. Senyum misterius masih tersungging di wajahnya.
Ia melangkah keluar, niatnya sudah bulat. Charlotte telah menarik perhatiannya, dan ia tidak berniat membiarkan wanita itu pergi begitu saja.
***
Malam itu, suasana di klub malam begitu ramai. Lampu-lampu neon berwarna-warni memantul di lantai dansa, menciptakan suasana yang semarak. Musik berdentum keras, menggetarkan dinding-dinding dan mengisi seluruh ruangan. Di salah satu sudut klub, Charlotte duduk bersama rekan kerjanya, Sally, di sebuah meja kecil yang penuh dengan gelas dan botol kosong. Matanya sedikit sayu, pipinya memerah akibat beberapa gelas minuman yang telah ia habiskan.
Sementara itu, di dekat resepsionis, seorang pria berpenampilan rapi, Tuan Harris, duduk dengan tenang sambil memegang segelas minuman. Ia tampak tidak tertarik dengan hingar-bingar di sekitarnya, tatapannya terfokus ke satu arah—Charlotte. Senyumnya tipis, namun matanya menyiratkan rasa penasaran yang dalam.
"Gadis semanis dia, malah dikhianati," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Di sisi lain, Charlotte sedang melampiaskan kekesalannya. Sally, yang duduk di sebelahnya, mencoba menenangkan suasana. "Lolipop, aku tahu kau sedang putus cinta. Tapi jangan sampai mabuk. Kau sudah menghabiskan beberapa gelas minuman," ujar Sally sambil menatap Charlotte dengan khawatir.
Charlotte mendengus, lalu mengangkat gelasnya lagi, menatap isinya yang hampir habis. "Kami pacaran dua tahun," katanya dengan nada kesal, suaranya sedikit tersendat karena emosi. "Dua tahun, Sally! Dan dia akhirnya berselingkuh. Aku menyesal sekali karena tidak pecahkan saja kepalanya tadi," gerutunya.
"Charlotte, kamu masih muda. Tidak usah pikirkan lagi, biarkan saja dia pergi!" kata Sally dengan nada lembut. "Lagi pula, pekerjaanmu sudah bagus. Lebih baik fokus saja pada dirimu sendiri."
Charlotte hanya menatap kosong ke arah gelasnya sebelum akhirnya tersenyum pahit. "Aku ingin ke toilet," ujarnya sambil berdiri, meski langkahnya sedikit terhuyung akibat efek alkohol yang mulai mempengaruhi tubuhnya.
Di meja dekat resepsionis, Tuan Harris terus mengawasi Charlotte yang berjalan menjauh. Sorot matanya tajam, seperti sedang mempelajari setiap gerakan wanita itu. Ia kemudian mengikuti langkah gadis itu yang menuju ke lorongan club malam.
Beberapa saat kemudian, Charlotte keluar dari toilet dengan langkah terhuyung-huyung. Wajahnya merah karena emosi yang ditahan.
"Dasar pria brengsek! Kalau kita bertemu lagi, aku tidak akan segan-segan memukul kepalamu!" gumamnya dengan suara pelan namun penuh amarah.
Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di hadapannya, menghalangi jalannya. Tuan Harris menatapnya tajam, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Siapa kau? Jangan menghalangi jalanku," ujar Charlotte dengan nada kesal.
Tuan Harris mendekatkan wajahnya ke telinga Charlotte, membuat gadis itu mundur selangkah. Dengan suara rendah namun penuh ancaman, ia berbisik, "Aku adalah pria yang akan selalu mengincarmu, ke mana pun kau pergi."
Cuaca dingin dengan terpaan angin kencang menyapu tepian laut.Langit mulai menggelap, seakan ikut menjadi saksi bisu pertemuan dua insan yang telah lama terpisah. Angin menggoyangkan helaian rambut Charlotte yang terlepas dari ikatannya, sementara matanya masih tak percaya melihat Daniel berdiri di hadapannya.Mereka saling diam beberapa saat, membiarkan rindu dan luka masa lalu berbicara dalam tatapan.Daniel akhirnya memecah keheningan."Lama tidak bertemu... bagaimana dengan kabarmu?" tanyanya, suaranya berat namun lembut.Charlotte menelan ludah, suaranya terdengar tenang, tapi jelas ada dinding yang ia bangun di antara mereka."Aku baik-baik saja... Kenapa kau bisa ada di Jepang? Apakah ada urusan bisnis?"Daniel mengangguk singkat, meski jelas ia menyimpan sesuatu di balik jawabannya."Iya. Aku ada urusan penting."Charlotte tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai penolakan."Baiklah kalau begitu, aku p
Malam hari.Apartemen.Lampu ruangan hanya menyala redup, menebar cahaya hangat ke seluruh sudut ruangan yang luas namun terasa sepi. Di salah satu sisi, Daniel duduk sendirian di sofa kulit hitam, ditemani sebotol wine yang hampir habis dan sebatang rokok yang mengepul di antara jari-jarinya. Asapnya berputar di udara, seolah menjadi bagian dari pikirannya yang kusut.Ia menatap kosong ke arah jendela, tempat bayangan kota malam terlihat kabur."Charlotte, lima tahun berlalu... kenapa kau masih tidak pulang?" batinnya lirih, suara hatinya lebih keras dari gumaman bibirnya. "Keluargamu ada di sini... apa kau berencana menghindar dariku seumur hidupmu?"Ia menarik napas dalam-dalam, menyesap wine perlahan, membiarkan rasa getirnya mengalir bersama kenangan."Aku ingin memulai hubungan baru denganmu... Aku tahu, masa lalu adalah kesalahanku juga. Tapi pengorbananmu, darahmu—semuanya membuatku sadar... aku telah membuat kesalahan besar." Ma
Rumah Sakit. Malam Hari.Suara sepatu para tenaga medis bergema di lorong rumah sakit, membawa Charlotte yang bersimbah darah ke ruang UGD. Para dokter dan perawat bergerak cepat. Detak jantung Charlotte melemah. Wajahnya pucat, dan luka tembak di bagian perut kirinya terus mengucurkan darah. Sementara itu, di luar ruangan...Daniel berdiri kaku di depan pintu UGD. Matanya memerah, wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya mencengkeram erat liontin kalungnya—tempat cincin pernikahan Charlotte tergantung. Cincin itu berayun pelan, seolah mengikuti detak cemas hatinya.“Bos... Jangan khawatir, nyonya pasti bisa melewatinya,” ucap Levis, mencoba menenangkan. Ia berdiri di samping Daniel, namun suara tenangnya tak mampu menyentuh hati pria itu yang tengah diliputi penyesalan.Daniel menggeleng pelan, suaranya serak. “Kalau Charlotte sampai meninggal... aku lah pembunuhnya.”Ia menarik napas panjang, seakan berusaha menahan
"Aku... kembali... untuk menebus... hutangku padamu..." suara Charlotte mulai melemah, nafasnya terputus-putus. Wajahnya pucat, matanya mulai buram. "Ibumu... meninggal... karena aku... bukan... papaku..." lanjutnya sebelum akhirnya kepalanya terkulai, tak sadarkan diri dalam pelukan Elvis."Lolipop... Lolipop!" jerit Elvis panik, mengguncang tubuh putrinya yang sudah lemas. "Bangun, Lolipop! Jangan tinggalkan Papa…!"Daniel berdiri membeku, air matanya mengalir tanpa mampu ia cegah. Ia menatap sosok wanita yang pernah ia cintai, kini bersimbah darah di pelukan pria yang dulu ia anggap musuh.Dengan suara serak, ia bertanya, "Beritahu aku… apa maksud Charlotte tadi?"Elvis menatap Daniel dengan wajah kusut penuh penyesalan. Ia menggeleng pelan, suaranya berat saat menjawab, "Kalau aku tahu begini jadinya… seharusnya aku lebih berhati-hati...""Apakah ada sesuatu yang aku tidak tahu?" tanya Daniel, suaranya bergetar antara amarah, kebingungan, dan kesedihan yang menggerogoti pikirannya
Beberapa saat kemudian, anak buah Elvis berjatuhan tak berdaya. Suara tembakan menggema di udara, meninggalkan jejak darah dan erangan sakit yang memekakkan telinga. Beberapa di antara mereka tewas seketika, sementara yang lain tergeletak dengan luka parah, menggeliat menahan rasa sakit yang luar biasa.Elvis berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya gemetar melihat kondisi anak buahnya yang begitu mengenaskan. Matanya memerah, bukan karena rasa takut, melainkan karena perasaan bersalah yang mendalam. Ia tidak pernah ingin pertumpahan darah ini terjadi. Nafasnya memburu, tubuhnya tegang menahan emosi.Dengan langkah berat, Elvis maju ke depan. Tangannya terangkat ke udara sebagai tanda menyerah."Daniel, bunuh saja aku... mereka tidak tahu apa-apa sama sekali," ucap Elvis lirih, suaranya parau oleh emosi. Ia berdiri di antara tubuh-tubuh yang terkapar, menjadi tameng hidup bagi mereka yang tersisa.Daniel melangkah maju perlahan, wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. Pistolnya terarah t
Tidak lama kemudian, sejumlah mobil mendekati markas Elvis. Suara deru mesin dan debu yang mengepul di jalan tanah membuat suasana di sekitar mendadak tegang. Kehadiran mereka tidak luput dari perhatian Charlotte, yang tengah duduk menunggu di warung sepi di tepi jalan yang tidak begitu jauh dari markas ayahnya.Dahi Charlotte berkerut saat melihat iring-iringan kendaraan itu. Matanya menatap tajam ke arah mobil-mobil yang melaju cepat."Apakah itu Daniel?" gumam Charlotte dengan suara gemetar. Ia bangkit dari kursi usangnya dan berdiri sambil memandangi mobil-mobil yang semakin mendekat ke markas.Beberapa detik kemudian, mobil-mobil itu berhenti mendadak di depan gerbang. Daniel turun lebih dulu, disusul seluruh anak buahnya. Mereka semua keluar dari kendaraan dengan sigap, menggenggam senjata api di tangan masing-masing. Tatapan mereka penuh tekad, seakan tak akan mundur meski maut menanti di depan.Sementara itu, di dalam markas, Elvis, sang pemimpin