"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.
Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu.
"Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.
Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.
Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.
Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yang masih setengah sadar. Wajah gadis itu tampak merah, matanya terpejam dengan napas yang teratur, namun ada jejak kegelisahan di raut wajahnya. Tuan Harris menyunggingkan senyum sinis, lalu dengan santai melepaskan dasinya, melonggarkan kemejanya seakan merasa situasi sepenuhnya berada dalam kendalinya.
"Aku ingin pulang..." gumam Charlotte lirih. Ia tiba-tiba bangkit dari ranjang, meski tubuhnya masih terasa lemah. Namun, Tuan Harris dengan sigap menahan bahunya, mendorongnya dengan lembut namun tegas agar kembali berbaring.
Charlotte menatapnya penuh kebingungan "Aku tidak mengenalmu... Kamu siapa sebenarnya?" tanyanya.
Pria itu mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari Charlotte. Dengan suara tenang namun penuh otoritas, ia berkata, "Ingat baik-baik. Namaku adalah Daniel Harris. Pria yang akan menjadi bagian dari hidupmu, ke mana pun kau pergi."
Charlotte terdiam, napasnya tercekat. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Daniel mendekatkan bibirnya dan mencium Charlotte perlahan. Ciuman itu semakin dalam seiring waktu, membuat Charlotte panik dan berusaha melawan. Ia meronta, mencoba mendorong tubuh pria itu, namun kedua tangannya ditahan erat di atas ranjang.
"Berhenti! Lepaskan aku!" teriak Charlotte dengan suara terputus-putus, tubuhnya bergerak gelisah. Namun kekuatan Daniel terlalu besar, dan ia hanya bisa merasakan cengkeraman pria itu semakin erat, seakan tidak memberinya ruang untuk melarikan diri.
Di malam itu, Daniel mencium Charlotte semakin dalam, bibirnya bergerak seolah menegaskan dominasi yang tak terbantahkan. Kedua tangannya menekan pergelangan tangan Charlotte ke ranjang dengan erat, seolah tak ingin memberikan gadis itu ruang untuk melawan. Charlotte meronta, namun kekuatannya kalah jauh. Air mata perlahan mengalir dari sudut matanya, tetapi Daniel tampak tidak peduli, tatapannya dipenuhi tekad yang dingin.
---Keesokan harinya, sinar matahari terang menerobos masuk melalui celah tirai, menerangi kamar hotel yang sunyi. Charlotte mulai membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas seolah habis dilanda badai besar. Ia melirik ke sekeliling, melihat dekorasi kamar yang mewah namun asing baginya.
Dengan gerakan lemah, ia duduk di atas ranjang, jantungnya berdegup kencang. Pandangannya mulai terfokus, tetapi pikirannya penuh kekacauan, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi semalam.
"Apa yang terjadi? Di mana ini?" gumamnya pelan, suara gemetar memecah kesunyian. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa cemas yang mulai memenuhi hatinya. Matanya tanpa sengaja jatuh ke tubuhnya yang terbalut selimut tebal. Perlahan, ia membuka selimut itu dengan tangan gemetar.
Saat ia melihat tubuhnya sendiri yang tidak tertutup sehelai benang pun, jeritan melengking keluar dari mulutnya. "Aaahhh!" Charlotte dengan panik menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhnya, matanya melebar, dan napasnya memburu.
"Siapa... siapa yang membawa aku ke sini?!" Charlotte berteriak penuh amarah dan kebingungan. "Dan siapa yang berani-beraninya merenggut malam pertamaku?!" suaranya pecah, mencerminkan kekalutan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Tangannya mencengkeram erat selimut yang membungkus tubuhnya. Tubuhnya mulai gemetar, antara marah, takut, dan malu. Pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan yang tak memiliki jawaban, membuat dadanya terasa semakin sesak.
"Pria mana yang melakukannya? Dia pasti yang membawaku ke sini..." gumam Charlotte dengan suara gemetar. "Ini semua salahku... Kenapa aku minum terlalu banyak sampai mabuk seperti itu? Aku tidak pulang semalaman..." Charlotte menarik napas panjang, matanya mulai memerah. "Papa dan nenekku pasti akan membunuhku kalau mereka tahu," lanjutnya, suaranya semakin lirih.
Dengan tubuh yang masih gemetar, ia menoleh ke arah meja samping kasur. Matanya langsung menangkap setumpuk pakaian yang terlihat baru, dilipat rapi di atas meja tersebut. Dahinya berkerut, dan amarah mulai berkecamuk di dalam dirinya.
"Apakah... pakaian ini untukku?" gumam Charlotte dengan nada tajam. Ia menggigit bibirnya, rasa kesal memuncak. "Pria brengsek itu... Di mana pakaianku?!" Tangan Charlotte mengepal erat, wajahnya penuh kemarahan yang tertahan.
"Jangan sampai aku tahu siapa dia," bisiknya dengan nada mengancam. "Kalau aku tahu siapa yang melakukan ini... aku tidak akan tinggal diam," katanya dengan kesal.
***
Sementara itu, Daniel Harris berdiri di atas bukit yang tinggi, memandang ke kejauhan. Angin bertiup kencang, membuat ujung jas hitamnya berkibar. Wajahnya yang dingin dan penuh teka-teki terlihat semakin tajam di bawah sinar matahari yang perlahan mulai memudar.
Langkah kaki seorang pria terdengar mendekat. Levis, salah satu anak buahnya yang paling dipercaya, datang menghampirinya dengan sikap hormat.
"Tuan," sapa Levis, menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat.
Daniel menoleh perlahan, matanya menatap Levis dengan tajam. "Levis, kenapa memintaku ke sini?" tanyanya dengan nada dingin dan berwibawa.
"Tuan, mengenai anak yang kita cari... hingga saat ini masih belum ditemukan. Bahkan, orang itu menghilang begitu saja tanpa jejak," lapor Levis sambil menunduk, tak berani menatap langsung ke mata Daniel.
"Cari lagi sampai dapat," perintahnya dengan nada tegas yang tak bisa dibantah. "Terakhir informasi yang kita dapatkan, dia sudah menikah, bukan? Itu petunjuknya. Gunakan informasi itu. Aku tidak peduli berapa lama atau seberapa sulit. Temukan dia."
"Baik, Tuan," jawab Levis dengan patuh.
Levis baru saja akan melangkah pergi ketika suara Daniel yang dingin menghentikannya.
"Ada lagi," ucap Daniel, menatap Levis dengan mata tajam yang penuh ketegasan. "Selidiki tentang gadis yang bersamaku semalam."
Levis mengerutkan dahi, tetapi ia tetap mendengarkan tanpa bertanya.
"Dalam waktu dekat, aku ingin kau temukan alamatnya," lanjut Daniel.
Levis menatap Daniel sejenak sebelum mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya."
Daniel Harris, seorang pria penuh teka-teki, dikelilingi oleh misteri yang bahkan anak buahnya sendiri tidak sepenuhnya memahami. Identitas aslinya terselubung rapat, hampir tidak ada yang mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Namun, satu hal yang jelas, Daniel adalah pria berwajah tampan dengan sorot mata tajam yang mampu membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.
Namun, mengapa Charlotte yang hanya seorang gadis biasa justru menjadi target perhatian Daniel? Apa alasan di balik obsesinya terhadap gadis itu?
Charlotte berdiri di ambang pintu dengan tubuh bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena amarah yang membakar setiap inci dirinya. Matanya memerah, dan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Ia tak lagi peduli jika terlihat lemah—saat ini, ia hanya ingin melampiaskan semua rasa sakitnya."Tuan, mungkin istri Anda akan datang. Lebih baik kita hentikan dulu," ucap wanita itu dengan suara menggoda, meski ada sedikit kegelisahan dalam nadanya.Daniel tertawa kecil, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Ia mengusap wajah wanita itu dengan penuh gairah sebelum menjawab, "Kristy, biarkan saja. Jangan sampai dia merusak kesenangan kita. Tubuhmu sangat seksi dari atas hingga bawah, dan selain membuatku puas, mulai saat ini aku tidak membutuhkan siapa pun, termasuk Charlotte. Aku hanya membutuhkanmu. Tetap rawat tubuhmu dan buat aku bahagia."Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk jantung Charlotte tanpa belas kasihan. Tangannya
"Kita tidak serasi sama sekali. Kalau bersama juga tidak akan bahagia. Daripada dipaksa lebih baik diakhiri saja," ucap Daniel dengan suara dingin dan tak berperasaan.Charlotte menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Sakit. Kata-kata itu menusuknya tanpa ampun. Dua bulan yang ia habiskan sebagai istri pria itu ternyata tidak berarti apa-apa baginya. Hanya omong kosong."Baru dua bulan menikah, kau sudah bisa melontarkan ucapan seperti itu?" Suaranya bergetar. "Daniel Harris, aku tidak menyangka kau adalah manusia paling kejam dan tidak berperasaan."Daniel tersenyum miring, seolah menikmati rasa sakit yang ia berikan. "Iya, aku adalah pria yang tidak berperasaan," katanya tanpa sedikit pun penyesalan. "Jadi jangan serius dan percaya semua ucapanku. Aku bisa memberi janji apa saja di saat aku ingin memiliki seorang gadis. Setelah itu, aku akan bosan dan ingin meninggalkannya. Itulah sikapku yang sebenarnya."Charlotte terkekeh sinis. Tawanya dipenuhi kepedihan. Air mata yang sejak
"Bos, apakah Anda tidak ingin memberitahu kakak ipar yang sebenarnya?" tanya Levis dengan ragu. Daniel menghela napas panjang, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Dia akan tahu suatu saat nanti," jawabnya dengan suara pelan, tetapi penuh kepastian. "Namun, pada saat itu, semuanya sudah berubah."Levis menatap Daniel dengan hati-hati. "Lalu, apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih penting.Daniel menegakkan tubuhnya, sorot matanya kembali tajam seperti biasanya. "Selidiki di mana markas mereka," perintahnya dengan suara dingin. "Aku harus membubarkan organisasi mereka."Levis mengangguk mantap. "Baik, Bos," jawabnya tanpa ragu.Daniel meraih gelasnya dan meneguk isinya dalam satu tegukan sebelum berkata, "Pergilah! Aku ingin sendirian!"Tanpa banyak bicara, Levis segera beranjak dari sana, meninggalkan bosnya yang masih tenggelam dalam pikirannya. Namun, saat tiba di pintu, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Daniel.Dalam h
Beberapa hari kemudian.Charlotte masih sibuk mencari keberadaan suaminya yang hilang tanpa jejak. Ia mencoba menghubungi nomor Levis, tetapi tidak aktif. Nomor suaminya pun tak bisa dihubungi. Hanya ada satu cara—Charlotte harus kembali ke rumah keluarga suaminya dan menemui Sannia serta Lucia, adik tiri Daniel."Suamimu tidak pulang, dan kau mencarinya di sini? Apa dia sudah mencampakkanmu?" tanya Sannia dengan nada mengejek."Apakah Daniel pernah pulang ke sini?" tanya Charlotte, mengabaikan ejekan itu."Dia seorang mafia. Mana mungkin selalu ada di rumah? Kalau kau sudah memilih menikah dengannya, maka kau harus bersabar dan menerima apa adanya. Kakakku itu orang yang berbahaya dan tidak punya perasaan. Meskipun kau istrinya, jangan lupa bahwa Kristy selalu ada di sisinya," jawab Lucia santai."Jangan mengarang cerita di depanku. Wanita itu sudah pergi," balas Charlotte tegas."Kau percaya begitu saja? Kristy adalah wanita paling penting setelah Samantha. Daniel hanya ingin menenan
Daniel yang penasaran ia melepaskan tempelan tersebut dan menemukan sebuah kartu memori."Kenapa bisa ada kartu memori di sini? Apakah ada rahasia yang tersimpan?" batin Daniel, alisnya berkerut tajam. Ia menggulirkan kartu kecil itu di antara jemarinya, matanya meneliti setiap sudutnya dengan seksama.Karena penasaran, Daniel mengambil kartu memori tersebut dan beranjak dari kamarnya. Ia memasukkannya ke dalam flash disk lalu menyambungkannya ke laptop miliknya.Jantungnya berdebar tak menentu saat layar monitor menyala, menampilkan rekaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Daniel menatap layar monitor laptop dengan saksama. Matanya membesar, tubuhnya menegang, dan napasnya tercekat. Tangannya mengepal erat, kuku-kuku jarinya hampir menancap ke telapak tangan. Apa yang ia saksikan benar-benar menghancurkan perasaannya.Di layar, seorang pria dengan tatapan dingin tanpa belas kasihan menghabisi nyawa seorang wanita—ibunya. Sosok itu tidak asing baginya. Daniel ingin meyakinkan
Elvis dan Jhon saling bertatapan tajam, masing-masing tidak mau mengalah dalam ketegangan yang mulai memanas. Dengan ekspresi dingin, Elvis berkata dengan nada mengancam, “Tuan Jhon, jangan bertindak sesuka hati. Ini bukan wilayahmu. Siapa pun yang berani maju, akan kupastikan mereka tidak akan bisa pulang dengan hidup-hidup.”Anak buah Jhon yang berdiri di belakangnya mulai saling pandang, menyadari bahwa jumlah mereka kalah banyak dibanding kelompok Elvis. Meski begitu, Jhon tetap berdiri tegap, menatap pria di hadapannya dengan penuh selidik.“Tuan Wilson, apakah Anda seorang mafia?” tanyanya dengan nada tenang, tapi penuh kecurigaan.Mata Elvis sedikit menyipit, tetapi ia tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik hening, ia tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap tajam. "Kau tidak perlu tahu. Tapi satu hal yang harus kau ingat, jangan coba-coba mendekati putriku jika kau masih sayang dengan nyawamu," ujarnya dengan suara rendah