Share

Bab 6

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 6

"Karena apa, Mas? Kita bisa sambil bulan madu di sana," ujarku merengek. Mengambil bantal, lalu meletakkan di pangkuan.

Mas Daffa merendahkan tubuhnya dengan berlutut di depanku. Kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.

"Sayang, kamu lupa, ya kalau kamu 'kan, sedang datang tamu bulanan. Jadi, kita belum bisa bulan madu. Hmm, gini aja deh, gimana kalau nanti saja. Saat tamu bulanan kamu sudah selesai, kamu boleh, kok susul aku ke sana. Sekarang, jangan dulu, ya?"

"Ya, enggak apa-apa, bulan madunya nunggu aku selesai saja. Tapi, berangkatnya kita tetap barengan. Ya, Mas, ya?" rengekku lagi.

"Jangan, dong. Nanti aku tidak kuat iman, loh. Apalagi punya istri cantik begini, aku tambah geregetan jadinya."

Aku mengerucutkan bibirku seraya mencebik, "tapi nanti kalau udah selesai, boleh nyusul, ya?" tanyaku.

"Jelas boleh, dong. Nanti aku simpan alamat vila tempat aku menginap di sana. Sebelum ke sana, kamu telpon aku dulu, ya. Takutnya aku lagi di lapangan."

Aku mengangguk paham. Kalau sudah begini, apalagi yang aku lakukan selain mengalah lagi. 

Selama lima tahun pacaran dengan Mas Daffa, kami memang tidak punya banyak waktu untuk bersama. Hanya enam bulan pertama aku dan dia sering bersama, selebihnya kami hanya bertemu tiga sampai enam bulan sekali. 

Keluarga Mas Daffa yang mempunyai usaha kebun teh di Bogor, mengharuskan dia ikut andil dalam pengelolaan perkebunan itu.

"Berapa lama, Mas di sana?" tanyaku kemudian.

"Mungkin hanya satu minggu."

"Yah, lama, Mas."

"Sebentarlah, Sayang. Biasanya juga enam bulan kita baru ketemu. Sekarang cuma seminggu aja." Mas Daffa mencium kedua tanganku bergantian.

"Bedalah, dulu kita belum nikah. Jadi, biasa aja. Sekarang ceritanya beda lagi," ujarku sembari menyugar rambutnya yang setengah kering.

"Kamu kalau lagi manja gini, bikin aku jadi tambah gemas tahu, tidak?" ujarnya terkekeh.

Aku pun menjauhkan diri dari Mas Daffa. Aku memilih untuk mandi sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi padaku. 

*

Hari ini Mas Daffa berangkat ke Bogor, setelah semalam aku mempersiapkan baju yang akan dia bawa, sekarang aku tengah mempersiapkan sarapan untuk kami semua.

'Masak, untuk suami tersayang,' gumamku dalam hati.

Setelah menikah, aku memang dibawa Mas Daffa untuk tinggal di rumahnya bersama Mama Arum. Mama Arum satu-satunya orang tua yang dimiliki Mas Daffa. 

Setelah ayahnya meninggal empat tahun yang lalu, Mas Daffa yang harus bertanggung jawab atas semua perkebunan yang dimiliki keluarganya. Termasuk perkebunan yang ada di kota Bogor.

"Di mana garamnya, sih?" tanyaku pada diri sendiri.

Aku tidak menemukan apa yang aku cari. Aku pun berniat untuk menanyakannya kepada Ibu Mertuaku.

Beginilah kalau hidup di rumah yang berbeda dengan sebelumnya, tempat garam pun sulit untuk aku menemukannya. Aku meninggalkan dapur dan berjalan ke arah kamar Mama Arum, untuk menanyakan di mana bumbu itu berada.

"Jangan terlalu lama bersama Bila. Kamu harus ingat, kamu sudah punya Yumna di sini."

Seketika langkahku terhenti saat aku mendengar Ibu Mertua berbicara di dalam kamarnya.

"Iya, Ma. Aku hanya satu minggu di sana." 

'Oh, Mama sedang bersama Mas Daffa, tapi siapa Bila?' Hatiku terus bertanya-tanya.

"Sudah Mama bilang, sudahi semuanya dengan dia."

"Tidak semudah itu, Ma. Ada an ... Yumna! Sedang apa kamu di sana?" 

Aku gelagapan saat Mas Daffa menyadari keberadaanku yang tengah berdiri di ambang pintu kamar Mama Arum yang tidak tertutup.

Raut kaget terlihat dari dua wajah di dalam sana. Mama Arum dan Mas Daffa menatapku tanpa berkedip.

"Eh, ini Mas, aku mau bilang ke Mama, kalau aku tidak menemukan garam di dapur." Aku berkata dengan sedikit gugup.

"Sudah lama kamu di sana?" tanya Mama Arum dengan sorot mata yang ... entahlah, tidak bisa aku jelaskan.

"Emm, tidak kok, Ma. Baru saja aku datang. Kenapa, kok Mama sepertinya tidak suka melihat, Yumna?" 

Sepertinya ada suatu rahasia yang tengah mereka sembunyikan dariku. Tapi apa? 

"Oh, tentu tidak, Sayang. Masa iya Mama tidak suka dengan menantu kesayangan Mama. Ayo, kita cari garamnya bersama," ujar Mama seraya mendekat dan menggandeng tanganku.

Berbagai pertanyaan bersarang di benakku. Adakah sesuatu yang tengah mereka sembunyikan dariku? Tapi kenapa harus disembunyikan? Aku harus mencari tahu.

"Yumna, apa yang kamu dengar tadi di kamar Mama?" tanya Mama saat kita sudah berada di dapur.

"Tidak ada, Ma. Memangnya kenapa?" kataku balik bertanya.

"Oh, tidak apa-apa. Mama hanya asal bicara saja. Ayo, lanjutkan masaknya," ujar Mama.

Mendengar pertanyaan Mama, aku semakin curiga jika ada rahasia yang tidak aku ketahui di keluarga ini.

'Bila. Nama yang tadi disebutkan Mama. Apa hubungannya nama itu dengan keluarga suamiku?' 

Setelah selesai memasak, aku masuk ke kamar untuk membersihkan diri yang sudah berubah menjadi harum bawang.

Tidak ada suamiku di dalam sini. Ke mana Mas Daffa?

Aku mengurungkan niatku yang akan ke kamar mandi setelah melihat Mas Daffa di balkon kamar. Dengan langkah pelan aku menghampiri suamiku, ingin mengejutkannya dengan memeluknya dari belakang. Namun ... sesuatu menghentikanku.

"Iya, iya. Tolong jangan menghubungiku dulu, Bila. Sebentar lagi juga aku akan berangkat ke sana."

'Bila lagi?'

*

"Sayang, kamu hati-hati di rumah, ya?" 

"Iya, Mas. Kamu juga jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai di sana."

"Pasti, dong. Aku berangkat dulu, ya." 

Aku mencium tangan suamiku. Mas Daffa masuk ke dalam mobil. Saat dia akan menutup pintu, dia kembali memanggilku dan menyuruhku mendekatinya.

"Apalagi, Mas?" 

"Peluk dulu, dong. Aku bakalan rindu banget sama kamu, Sayang," ujarnya menarikku ke dalam pelukannya.

"Nanti aku, 'kan bakalan nyusul kamu ke sana, Mas."

"Jadi, beneran, kamu akan ke Bogor?" tanyanya melepaskan pelukan.

"Hmmm, gak janji, deh. Aku harus mengurus butik," ujarku cepat.

"Oh, baguslah. Memang harusnya kamu di sini saja. Biar kamu tidak kelelahan harus pergi ke Bogor, juga harus mengurus butikmu yang selalu ramai," ujar Mas Daffa tersenyum lega.

Bukan itu alasan aku sebenarnya. Aku akan tetap pergi ke sana, tapi bukan untuk berbulan madu. Namun, untuk mencari tahu siapa Bila itu. Dan apa hubungan dia dengan keluarga suamiku.

Mobil Mas Daffa sudah terlihat semakin menjauh, aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Menemui Ibu Mertua untuk meminta izin pergi ke rumah orang tuaku.

Dari sinilah kecurigaanku berawal. Aku harus mencari tahu siapa Bila yang selalu disebut oleh Mas Daffa dan Mama Arum. 

'Tunggu saja, aku akan segara datang ke sana, Mas.'

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status