Mas Daffa merendahkan tubuhnya dengan berlutut di depanku. Kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.
"Sayang, kamu lupa, ya kalau kamu 'kan, sedang datang tamu bulanan. Jadi, kita belum bisa bulan madu. Hmm, gini aja deh, gimana kalau nanti saja. Saat tamu bulanan kamu sudah selesai, kamu boleh, kok susul aku ke sana. Sekarang, jangan dulu, ya?"
"Ya, enggak apa-apa, bulan madunya nunggu aku selesai saja. Tapi, berangkatnya kita tetap barengan. Ya, Mas, ya?" rengekku lagi.
"Jangan, dong. Nanti aku tidak kuat iman, loh. Apalagi punya istri cantik begini, aku tambah geregetan jadinya."
Aku mengerucutkan bibirku seraya mencebik, "tapi nanti kalau udah selesai, boleh nyusul, ya?" tanyaku.
"Jelas boleh, dong. Nanti aku simpan alamat vila tempat aku menginap di sana. Sebelum ke sana, kamu telpon aku dulu, ya. Takutnya aku lagi di lapangan."
Aku mengangguk paham. Kalau sudah begini, apalagi yang aku lakukan selain mengalah lagi.
Selama lima tahun pacaran dengan Mas Daffa, kami memang tidak punya banyak waktu untuk bersama. Hanya enam bulan pertama aku dan dia sering bersama, selebihnya kami hanya bertemu tiga sampai enam bulan sekali.
Keluarga Mas Daffa yang mempunyai usaha kebun teh di Bogor, mengharuskan dia ikut andil dalam pengelolaan perkebunan itu.
"Berapa lama, Mas di sana?" tanyaku kemudian.
"Mungkin hanya satu minggu."
"Yah, lama, Mas."
"Sebentarlah, Sayang. Biasanya juga enam bulan kita baru ketemu. Sekarang cuma seminggu aja." Mas Daffa mencium kedua tanganku bergantian.
"Bedalah, dulu kita belum nikah. Jadi, biasa aja. Sekarang ceritanya beda lagi," ujarku sembari menyugar rambutnya yang setengah kering.
"Kamu kalau lagi manja gini, bikin aku jadi tambah gemas tahu, tidak?" ujarnya terkekeh.
Aku pun menjauhkan diri dari Mas Daffa. Aku memilih untuk mandi sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi padaku.
*
Hari ini Mas Daffa berangkat ke Bogor, setelah semalam aku mempersiapkan baju yang akan dia bawa, sekarang aku tengah mempersiapkan sarapan untuk kami semua.
'Masak, untuk suami tersayang,' gumamku dalam hati.
Setelah menikah, aku memang dibawa Mas Daffa untuk tinggal di rumahnya bersama Mama Arum. Mama Arum satu-satunya orang tua yang dimiliki Mas Daffa.
Setelah ayahnya meninggal empat tahun yang lalu, Mas Daffa yang harus bertanggung jawab atas semua perkebunan yang dimiliki keluarganya. Termasuk perkebunan yang ada di kota Bogor.
"Di mana garamnya, sih?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku tidak menemukan apa yang aku cari. Aku pun berniat untuk menanyakannya kepada Ibu Mertuaku.
Beginilah kalau hidup di rumah yang berbeda dengan sebelumnya, tempat garam pun sulit untuk aku menemukannya. Aku meninggalkan dapur dan berjalan ke arah kamar Mama Arum, untuk menanyakan di mana bumbu itu berada.
"Jangan terlalu lama bersama Bila. Kamu harus ingat, kamu sudah punya Yumna di sini."
Seketika langkahku terhenti saat aku mendengar Ibu Mertua berbicara di dalam kamarnya.
"Iya, Ma. Aku hanya satu minggu di sana."
'Oh, Mama sedang bersama Mas Daffa, tapi siapa Bila?' Hatiku terus bertanya-tanya.
"Sudah Mama bilang, sudahi semuanya dengan dia."
"Tidak semudah itu, Ma. Ada an ... Yumna! Sedang apa kamu di sana?"
Aku gelagapan saat Mas Daffa menyadari keberadaanku yang tengah berdiri di ambang pintu kamar Mama Arum yang tidak tertutup.
Raut kaget terlihat dari dua wajah di dalam sana. Mama Arum dan Mas Daffa menatapku tanpa berkedip.
"Eh, ini Mas, aku mau bilang ke Mama, kalau aku tidak menemukan garam di dapur." Aku berkata dengan sedikit gugup.
"Sudah lama kamu di sana?" tanya Mama Arum dengan sorot mata yang ... entahlah, tidak bisa aku jelaskan.
"Emm, tidak kok, Ma. Baru saja aku datang. Kenapa, kok Mama sepertinya tidak suka melihat, Yumna?"
Sepertinya ada suatu rahasia yang tengah mereka sembunyikan dariku. Tapi apa?
"Oh, tentu tidak, Sayang. Masa iya Mama tidak suka dengan menantu kesayangan Mama. Ayo, kita cari garamnya bersama," ujar Mama seraya mendekat dan menggandeng tanganku.
Berbagai pertanyaan bersarang di benakku. Adakah sesuatu yang tengah mereka sembunyikan dariku? Tapi kenapa harus disembunyikan? Aku harus mencari tahu.
"Yumna, apa yang kamu dengar tadi di kamar Mama?" tanya Mama saat kita sudah berada di dapur.
"Tidak ada, Ma. Memangnya kenapa?" kataku balik bertanya.
"Oh, tidak apa-apa. Mama hanya asal bicara saja. Ayo, lanjutkan masaknya," ujar Mama.
Mendengar pertanyaan Mama, aku semakin curiga jika ada rahasia yang tidak aku ketahui di keluarga ini.
'Bila. Nama yang tadi disebutkan Mama. Apa hubungannya nama itu dengan keluarga suamiku?'
Setelah selesai memasak, aku masuk ke kamar untuk membersihkan diri yang sudah berubah menjadi harum bawang.
Tidak ada suamiku di dalam sini. Ke mana Mas Daffa?
Aku mengurungkan niatku yang akan ke kamar mandi setelah melihat Mas Daffa di balkon kamar. Dengan langkah pelan aku menghampiri suamiku, ingin mengejutkannya dengan memeluknya dari belakang. Namun ... sesuatu menghentikanku.
"Iya, iya. Tolong jangan menghubungiku dulu, Bila. Sebentar lagi juga aku akan berangkat ke sana."
'Bila lagi?'
*
"Sayang, kamu hati-hati di rumah, ya?"
"Iya, Mas. Kamu juga jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai di sana."
"Pasti, dong. Aku berangkat dulu, ya."
Aku mencium tangan suamiku. Mas Daffa masuk ke dalam mobil. Saat dia akan menutup pintu, dia kembali memanggilku dan menyuruhku mendekatinya.
"Apalagi, Mas?"
"Peluk dulu, dong. Aku bakalan rindu banget sama kamu, Sayang," ujarnya menarikku ke dalam pelukannya.
"Nanti aku, 'kan bakalan nyusul kamu ke sana, Mas."
"Jadi, beneran, kamu akan ke Bogor?" tanyanya melepaskan pelukan.
"Hmmm, gak janji, deh. Aku harus mengurus butik," ujarku cepat.
"Oh, baguslah. Memang harusnya kamu di sini saja. Biar kamu tidak kelelahan harus pergi ke Bogor, juga harus mengurus butikmu yang selalu ramai," ujar Mas Daffa tersenyum lega.
Bukan itu alasan aku sebenarnya. Aku akan tetap pergi ke sana, tapi bukan untuk berbulan madu. Namun, untuk mencari tahu siapa Bila itu. Dan apa hubungan dia dengan keluarga suamiku.
Mobil Mas Daffa sudah terlihat semakin menjauh, aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Menemui Ibu Mertua untuk meminta izin pergi ke rumah orang tuaku.
Dari sinilah kecurigaanku berawal. Aku harus mencari tahu siapa Bila yang selalu disebut oleh Mas Daffa dan Mama Arum.
'Tunggu saja, aku akan segara datang ke sana, Mas.'
Bersambung
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 72Dalam kebingunganku, tiba-tiba Azzam melepaskan sabuk pengamannya, ia menarik tanganku dan memeluk tubuhku. Menyandarkan kepalaku di dadanya."Maaf, ya tadi aku teriak di depanmu, dan bikin kamu takut," ujarnya seraya mengusap kepalaku.Oh, ternyata dia mengerti kegelisahanku. Aku pun membalas pelukannya dengan menganggukkan kepala.Setelah mengecup kepalaku singkat, Azzam kembali memakai sabuk pengamannya, dan melajukan mobil."Mau mampir dulu, enggak?" tanyanya."Ke mana?""Ke mana aja. Kamu maunya ke mana, aku ikutin," ujarnya melirikku seraya tersenyum.Mendadak aku teringat pada Nabila. Sejak mengantarkan dia ke madrasah, aku tidak pernah tahu lagi keadaan dia. Juga tidak pernah bertukar kabar dengannya.Rasanya aku ingin sekali melihatnya. Bagaimana keadaan dia sekarang, dan kehidupan dia sesudah keluar dari rumah Mama
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 71"U—Umi?""Jangan seperti itu, Yumna." Umi berucap dengan manatapku lekat."Maaf, Umi.""Ayo, ikut Umi."Umi menuntunku ke belakang rumah. Hatiku jadi tidak karuan, pastinya Umi akan memarahi aku karena niatku jailku tadi."Kamu mau mengerjai Rahma, 'kan?" tanya Umi."Maaf, Umi. Yumna, tidak suka karena tadi dia mendekati Bang Azzam," jawabku pelan."Iya, intinya tadi kamu mau ngerjain Rahma, 'kan?"Aku mengangguk lemah."Bukan pakai itu, caranya." Umi mengambil bubuk cabe dari tanganku. "Tapi, dengan itu," tunjuk Umi pada ulat bulu yang berada dalam toples.Aku membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang Umi lakukan."M—maksud Umi?""Kita kerjain dia pakai itu. Ini memang salah, tapi Umi sudah empet banget sama Rahma. Beberapa kali sudah Umi bilang, kalau datang ke sini harus
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 70"Maaf, Umi. Yumna tidak bisa bantu menyiapkan sarapan," ucapku pada Umi pagi ini.Bagiamana aku bisa membantu Umi, kalau Azzam tidak membiarkanku keluar kamar setelah salat subuh tadi. Dia mengurungku dengan alasan kami adalah pengantin baru."Tidak apa-apa, Yumna. Ayo duduk, kita sarapan bareng."Aku mengangguk, mulai melayani suamiku di meja makan. Setelah makanan untuk Azzam sudah siap, aku duduk di samping Syila yang sedang menikmati sarapannya."Nda, yambutnya basah, ya? Tuh, keyudung Nda jadi ikutan basah."Sontak saja, semua mata kini tertuju padaku yang terkena serangan rasa malu. Jangankan untuk menjawab, menelan ludah pun rasanya sulit. Bibir Syila membongkar segalanya. Ketahuan juga jika aku baru saja mandi sebelum turun untuk sarapan.Jika Umi hanya tersenyum menanggapi celotehan cucunya, beda lagi dengan Azzam y
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 69Kakiku mendekati ranjang. Rasanya begitu berbeda dengan sebelumnya. Aku merasa gugup dan bingung harus berbuat apa.Haruskah aku loncat ke atas ranjang?Ah, memalukan!Apa aku harus pura-pura ke kamar mandi untuk menghilangkan kegugupan ini?Terlambat. lututku sudah mentok menyentuh ranjang.Ya Allah, bisakah malam ini mati lampu, agar dia tidak bisa melihat wajahku yang sudah terasa memanas ini?Pinggulku sudah menyentuh ranjang. Aku duduk dengan kaki yang masih menjuntai ke bawah. Sedangkan dia, dia terus saja menatapku tanpa berkedip.Itu mata emang gak pedih, ya?Detak jantungku bertalu-talu saat kurasakan ranjang di sebelahku bergoyang. Dia bergerak merangkak semakin dekat dan .... Azzam menyimpan kepalanya di pangkuanku.Aku bisa bernapas lega, tapi desiran halus kini kurasakan kembali saat dia mengambil tanganku lalu diletakkan di k
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 68"Dra, yang mau menjalani rumah tangga itu kamu, bukan Umi. Jadi, pandai-pandailah mengenali karakter dan sifat seseorang yang akan kamu jadikan istri. Umi tidak bisa menjawab pertanyaan kamu, karena Umi pun, belum mengenal Salsa itu. Mungkin nanti kamu bawa dia ke sini, kenalkan sama Umi," ujar Umi panjang lebar.Salsa itu orangnya baik, cuma memang bicaranya saja yang suka nyablak dan sesuka bibirnya kalau berucap."Sayang, sudah sarapannya? Kita jalan-jalan, yuk!"Azzam bicara padaku, aku pun mengangguk karena memang sarapanku sudah habis."Hadeuh ... terus saja terus, bikin ubun-ubunku tambah ngebul!" ujar Andra yang melihat kemesraan aku dan Azzam.Tanpa mendengarkan ledekan adiknya, Azzam menggandengku dan Syila untuk pergi. Setelah sebelumnya kita berpamitan kepada Umi terlebih dahulu.Aku tidak mau bertanya ke mana di
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 67"TIDAK!!""Sssttt ... kok, malah teriak?"Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan telapak tangan.Oh, ya ampun, ternyata aku hanya berhalusinasi! Ternyata kita belum melakukan apa-apa. Azzam yang tadi mengulurkan tangannya, kini menariknya kembali. Aku menoleh ke sampingku, melihat gadis kecil itu yang masih terlelap dalam tidurnya.Azzam bangkit dan menghampiriku, ia duduk di pinggir ranjang, tepat di sampingku yang tengah mengatur napas."Kenapa?" tanyanya."Jangan, Bang. Kita tidak bisa melakukannya sekarang, aku tidak mau apa yang ada dalam bayanganku jadi kenyataan. Serem, Bang."Azzam menautkan alis. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan."Maksudnya? Emang kamu membayangkan apa?"Aku pun menceritakan apa yang aku bayangkan tadi. Namun, diluar dugaan. Azzam malah tertawa. Ia sampai menutup mulut menggunakan telapak tangan agar tawanya