Happy Reading
***** "Saya, Pak," ucap Kiran gemetaran disertai jari telunjuk yang mengarah ke wajah. Amir menutup teleponnya dan menatap gadis itu lekat. "Iya kamu. Siapa lagi yang ada di sini selain dirimu, dasar cewek aneh." "Ada apa, Pak?" Kiran masih gemetaran, tangannya meremas ujung blazer. "Taruh kunci ini di meja ruanganku," kata Amir yang langsung berbalik arah menuju parkiran. Namun, beberapa langkah kemudian, dia berbalik menoleh pada Kiran. "Terima kasih." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari si gadis. "Untung dia enggak marah karena kejadian tadi," kata Kiran. Gadis itu bernapas lega karena si bos tidak mengungkit kejadian di kafe tadi. Sepeningal si bos, Kiran tak langsung memenuhi permintaan tersebut. Gadis itu memilih berdiam di pos satpam beberapa menit, berusaha menetralkan ketakutannya. Beberapa saat setelahnya, barulah masuk dan menuju ruangan si bos. Takut-takut perempuan berjilbab itu membuka pintu berwarna biru wardah yang bertuliskan direktur. Sekalipun sang pemilik ruangan tidak berada di tempat, tetap saja rasa ngeri itu hadir apalagi mengingat wajah seram dan suara menggelegar bosnya. Mengendap-endap seperti ada Amir di dalam sana, Kiran memelankan langkah kaki. Menaruh kunci yang diamanahkan tepat di depan sebuah foto. Si gadis tertegun menatap senyum manis dalam bingkai. Ternyata Pak Amir sudah menikah, anaknya cantik. Senyumnya gemesin. Kiran tersenyum sendiri melihatnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia segera keluar ruangan, menuju tempat kerjanya sendiri ketika wajah Amir dengan segala kuasa dan suara yang mengelegar terlintas. Sepersekian detik sebelum kepergian si gadis, Syaif melihatnya. Rasa penasaran di hati sang manajer HRD makin besar. Ada hubungan apa antara dua insan itu? "Ngapain dia di ruangan Amir? Pasti mereka memiliki hubungan spesial kalau nggak mana mungkin Amir membiarkan seseorang memasuki ruagannya di saaat dia nggak ada," gumam sang manajer HRD dengan segala asumsinya. Oleh karena penasaran dengan hubungan kedua insan berbeda jenis tersebut, Syaif pun menghubungi Amir. Beberapa kali, panggilan sang manajer HRD tidak digubris. Syaif pun memutuskan kembali ke ruangannya, ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini. Namun, pikirannya selalu mengarah pada keanehan yang diperlihatkan oleh Kiran sehingga jemarinya bergerak lincah menekan kontak Amir pada ponsel. "Halo," sapa lelaki yang dihubungi Syaif dengan suara khasnya. "Apa ada masalah di kantor?" "Kamu di mana? Kok, nggak balik ke ruangan setelah makan siang?" tanya Syaif. "Aku ada kerjaan di luar kantor. Katakan ada apa?" Kembali, Amir mengulang pertanyaan yang sama. "Aku lihat ada cewek masuk ruanganmu? Apa kalian ada hubungan spesial? Kok, kamu nggak pernah cerita, Mir? Malah tadi sok-sokan nggak kenal. Eh, ternyata di belakangku kalian begitu, ya." Syaif tertawa lirih. "Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti. Cewek siapa yang berani masuk ruanganku? Apa dia karyawan kita?" Suara Amir mulai terdengar meninggi. "Nggak usah pura-pura gitu, Mir. Aku yakin kamu pasti pernah punya hubungan khusus sama karyawan baru utusan Om Wijananto." "Dih, nggak jelas. Kalau tujuanmu cuma mau gosipin cewek itu. Maaf, deh. Aku nggak punya waktu, masih ada pekerjaan yang jauh lebih penting yang harus aku rampungkan. Aku tutup dulu, deh. Bye." "Mir, tunggu!" cegah Syaif. "Apalagi, Sya?" tanya Amir mulai lelah dengan sikap absurd sahabatnya itu. "Aku nggak punya banyak waktu." "Jawab dulu pertanyaanku tadi kalau kamu beneran nggak punya hubungan apa-apa sama Kirani?" tuntut Syaif untuk memuaskan rasa penasarannya. "Nggak ada!" bentak Amir dan langsung memutus sambungan mereka. Syaif menggaruk kepala yang tak gatal. Benar-benar penasaran dengan sikap dua orang itu. Berbeda dengan Syaif yang makin penasaran. Kiran masuk ke ruangannya dengan degup jantung berdetak cepat. Sampai-sampai gadis itu tidak mendengar sapaan dari sang sahabat. "Ran, kamu kenapa?" tanya Fitri sambil menyentuh pundak gadis berjilbab yang terlihat melamun. "Heh?" Kiran menatap sahabatnya, cengo. "Kenapa? Aku enggak papa, kok?" "Ish." Fitri menggeser kursinya lebih dekat pada Kiran. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu lari seperti orang ketakutan tadi pas di kafe? Terus sekarang, kamu malah melamun padahal sudah jam kerja. Kamu nggak biasanya gini, lho." "Prasangkamu aja, Fit. Aku enggak ketakutan, kok." "Beneran? Terus kamu dari mana? Kok, baru masuk ruangan? Jam kerja udah masuk dari tadi, lho?" Fitri memainkan kedua alisnya. Sengaja, menggoda sang sahabat yang terlihat resah dan tidak baik-baik saja. "Oh, itu. Aku dari ruangannya Pak Amir. Beliau memintaku ke sana." Setelah menjawab pertanyaan Fitri, Kiran mulai menghidupkan layar komputer di depannya. Kening Fitri berkerut, senyumnya mulai terlihat apalagi ketika teringat perkataan si manajer HRD. "Jadi, kalian berdua beneran punya hubungan spesial, ya?" Reflek, Kiran menggerakkan kepalanya menatap aneh pada sang sahabat. "Siapa yang punya hubungan spesial? Maksudmu apa, Fit. Enggak usah aneh-aneh, ya," peringatnya. "Siapa yang aneh, sih? Aku cuma mengatakan apa yang terlihat dengan begitu jelasnya di antara kamu sama Pak Amir. Lagian bukan cuma aku yang berasumsi seperti itu. Pak Syaif juga memiliki pemikiran demikian." "Fitri ...," teriak Kiran lepas kendali. "Apa? Ngaku, deh." "Kamu, ya ...."Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa keras
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam