Happy Reading
***** Kiran memukul lengan sahabatnya pelan. Gemas sekali karena Fitri terus mengolok-oloknya memiliki hubungan spesial dengan si bos. Mereka berdua terus bersenda gurau hingga Kiran mendapat chat dari Wijananto. "Kerja, yuk. Big Father udah ngasih warning," ucap Kiran. "Sayang banget kayaknya beliau sama kamu. Jangan-jangan, kamu benar-benar punya hubungan spesial sama sang putra mahkota." Fitri mencolek dagu sahabatnya, menggoda Kiran. "Berhenti, enggak!" Tangan Kiran siap memukul Fitri, sengaja menakuti gadis itu. Fitri menjulurkan lidah ketika pukulan sahabatnya bisa ditangkis. Dia lebih cepat menggerakkan kursi, pindah posisi. "Kerja ... kerja biar nggak ditelpon si bos lagi. Ntar dikata kita bercanda terus," ucap Fitri setelah puas menggoda sahabatnya. "Hmm, padahal dia sendiri yang ngajak guyon dari tadi," sahut Kiran. Walau mulutnya berkata demikian, tetapi tangannya sudah mulai menari dia tas keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari sang atasan di pusat. Kedua perempuan itu tidak lagi saling melempar candaan. Keduanya tenggelam dengan pekerjaan masing-masing hingga menjelang sore. Namun, pekerjaan Kiran masih belum selesai juga padahal jam pulang kantor, sebentar lagi. Anggaran produksi yang dibuat perempuan itu masih kurang pas. Ada saja kesalahan kecil di dalamnya hingga dia harus mengkaji ulang perincian lebih teliti lagi. Kiran ingin mendapatkan apresiasi positif sebagaimana biasa dia dapatkan ketika masih berada di kantor pusat. Oleh karenanya, kesalahan sekecil apa pun berusaha dihindari. "Ran, udah jam lima. Kamu mau lanjut ngerjain itu atau gimana?" tanya Fitriya. Dia sudah membereskan meja kerja, mematikan komputer dan mulai memasukkan peralatan pribadi ke dalam tas. Bersiap meninggalkan meja kerjanya. "Tinggal aja, Fit. Kurang dikit lagi, nanggung banget kalau aku pulang sekarang." Merenggangkan tangannya sebentar, Kiran tersenyum manis pada sahabat satu-satunya yang masih bertahan hingga usia mereka dewasa. "Hari pertama di sini udah semangat aja ibu satu ini. Pantes dapet gelar karyawan teladan. Nggak kayak aku, predikat karyawan telatan." Fitriya tertawa sedikit keras. Sadar, dirinya selalu datang hampir terlambat dan pulang selalu lebih awal. "Mulai kumat," sahut Kiran disertai lemparan kertas kecil pada wajah sahabatnya. "Sana pulang. Aku sama sepertimu, kok. Cuma lebih beruntung saja dapat gelar teladan. Enggak tahu si Bapak kriterianya memilihku begitu." "Hmm, merendah, tapi memang kamu layak mendapatkannya. Nggak kayak aku." Lagi-lagi, gadis itu mengulang kalimat sebelumnya. Setelahnya, Fitriya menengok arlojinya yang sudah menunjukkan pukul lima kurang dua menit. "Aku duluan, ya, nyampe di depan finger print udah pas jam lima. Assalamualaikum." Gadis itu mencium pipi sahabat karibnya, kanan kiri. Seperti kebiasaan mereka ketika akan berpisah. "Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan. Fii amanillah, Fit," ucap Kiran sebagai salam perpisahan. Fitriya pun melambaikan tangan ambil membuka pintu, keluar. Setelah kepergian sahabatnya, Kiran masih fokus pada layar komputer. Tak terasa, satu jam berlalu, jika bukan karena ponsel yang berdering, fokusnya akan tetap berpusat pada layar. Perempuan itu mengambil benda pipih pintar miliknya. Terlihat pop up chat yang dikirim oleh big father terbaca. Owner perusahaan tempatnya bekerja itu menanyakan anggaran yang dibuat. "Sedang saya kirim, Pak. Tolong di koreksi ulang, takut masih ada kesalahan atau ketidaksesuaian dengan keinginan Bapak," ucap tulus Kiran. Tak butuh waktu lama, balasan dari sang atasan terbaca. "Terima kasih, Ran. Kamu memang yang terbaik. Semoga betah bekerja di cabang. Jaga kinerjamu, sama seperti ketika kamu bekerja di pusat." "Insya Allah, Pak. Terima kasih kembali sudah mempercayakan tugas ini pada saya." Kiran tersenyum setelah mengirimkan chat balasan pada si bos besar. Hal seperti itulah yang membuatnya betah bekerja di perusahaan yang dipimpin Wijananto. Lelaki paruh baya itu selalu berkata sopan dan lemah lembut. Sangat berbeda dengan putranya. Kiran menghela napas panjang ketika mengingat perilaku Amir yang sangat jauh berbeda dengan Wijananto. Setelah melihat layar komputer yang memberitahukan bahwa emailnya terkirim, Kiran mulai membereskan meja. "Amit-amit. Kenapa aku malah kepikiran sama dia," gumamnya sambil membereskan semua peralatan yang ada di meja kerja. Keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Kiran tersenyum sendiri, merasa berhasil dengan tugas yang diamanahkan padanya. Sesampainya di dekat pintu luar kantor, bahunya terangkat kaget. "Bodoh!" ucap seseorang dengan nada keras dari arah belakang Kiran. Kaki si gadis mulai gemetar mendengar kata kasar tersebut. Kiran berbalik arah dan melihat Amir berjalan ke arahnya sambil memegang ponsel di telinga kiri. Raut muka si bos terlihat serius. Tepat di depan Kiran, lelaki itu berhenti. "Sepertinya nggak ada jam lembur hari ini. Kenapa kamu baru pulang?" tanya Amir masih dengan nada keras pada gadis di depannya. "Saya cuma menyelesaikan tugas yang sudah diamanahkan Pak Wijananto." Terbata Kiran menjelaskan. Tatapan tajam si bos dengan alis hampir menyatu membuat si gadis makin gemetar. "Lain kali kalau nggak ada pengumuman lembur jangan lembur. Saya nggak mau bayar gaji lemburan jika nggak ada perintah. Ngerti?" Lelaki itu menaikkan alis, matanya terbuka sempurna membuat si gadis mulai menanamkan kebencian. "Enggak perlu repot ngasih uang lembur buat saya, Pak. Sudah kewajiban saya untuk menyelesaikan amanah yang diberikan," sahutnya dengan suara bergetar. Si gadis berbalik, langkah Kiran sengaja dikeraskan yang mengakibatkan suara heels begitu nyaring terdengar. Tidak peduli jika lelaki itu akan lebih marah. Amir, hanya bisa menggelengkan kepala mengetahui sikap aneh karyawan satu itu. "Dasar aneh. Kenapa dia malah marah?"Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa keras
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam