Masuk"Oh, benarkah?" Arhan menunjukan sikap tenang, "saya tidak sengaja mendengar dari beberapa pelayan lain--"
Ziana terkekeh mendengarnya, dia pikir Arhan sungguhan tahu karena punya koneksi orang dalam di restoran itu, rupanya hanya hasil dari menguping! "Aku berharap itu benar, tapi belum ada kepastian," sahut Ziana polos, dia sama sekali tidak berpikir jika Arhan seseorang yang memiliki kuasa di restoran tempatnya bekerja. "Oiya, Pak Arhan habis makan? Sendirian?" Ziana memindai sekeliling, tidak ada orang lain yang terlihat sedang menunggu Arhan. "Ya, tadi ada rapat di sini. Sudah selesai--" Ziana manggut-manggut, dia paham mungkin Arhan baru saja mengadakan rapat bersama orang penting. Restoran ini memang salah satu tempat favorit para pebisnis melakukan reservasi tempat untuk mengadakan rapat, biasanya ada di privat room di lantai tiga. "Zi, ayo!" Suara Reyna mengalihkan perhatian keduanya, mereka menoleh bersamaan ke arah Reyna. "Pak Arhan, sepertinya aku harus pergi." Ziana kembali menatap Arhan, dengan rasa kurang nyaman apalagi melihat tatapan Arhan yang terasa begitu lekat. "Kak Rey mengajakku untuk membuat video tutorial. Aku belum tahu seperti apa, tapi mungkin cukup menarik." Arhan tidak mungkin menahan Ziana, dia tidak punya alasan apa pun untuk melakukan itu, jadi yang bisa dia lakukan hanya mengangguk dan membiarkan gadis itu pergi dengan keputusannya. *** Reyna membawa Ziana ke apartemennya. Di sana ada satu orang lelaki yang bertugas menjadi kameramen. "Pakai ini!" titah Reyna yang memberikan pakaian lengkap pada Ziana. "Pakai semua dari baju sampai dalamannya ya, ini semua brand yang endorse aku--" Ziana mengangguk patuh, dia tidak curiga sama sekali saat melihat setumpuk kain di tangannya. Semua tampak normal, sebagai influencer wajar jika Reyna di-endorse dengan banyak brand dan jenis pakaian yang berbeda. Dia pun membawanya ke ruang ganti. Di ruang tengah, Reyna mengobrol dengan kekasihnya--lelaki yang tadi Reyna kenalkan sebagai kameramen. "Gadis itu lumayan cantik, dipoles sedikit saja auranya bisa makin meledak--" Reyna terkekeh, dia setuju dengan pendapat lelaki itu namun enggan mendengar lelakinya memuji gadis lain. "Tetap saja, jaga matamu, Sayang!" "Hey, aku hanya berpendapat... Tapi di mataku jelas kamu paling cantik dan lebih dari segalanya--" rayu Beny sambil mengecup pipi Reyna. "Kamu juga cerdas," bisiknya lagi. Reyna tersenyum penuh arti, "aku sudah memasang kamera di ruang ganti, tunggu saja... setelah ini kita punya alat untuk selalu menekan dan membuat gadis itu patuh!" "Bagus, Sayang. Kalau kita punya kelemahannya, kita bisa mengancam untuknya melakukan sesuatu... termasuk menjadikannya budak--" Beny tak kalah antusias, dia tersenyum licik membayangkan beberapa keuntungan yang perlahan akan dia dapat dengan menjadikan gadis lugu nan cantik itu seperti peliharaan. "Kita bahkan bisa menjualnya, bukan? Pasti banyak temanku yang berminat!" Reyna melirik Beny lalu berdecih, "lelaki memang selalu seperti kucing garong! Kalau temanmu ada yang mau, mereka harus membayar tinggi untuk harga seorang gadis perawan!" Reyna melihat ponselnya, mengecek notifikasi transfer uang yang baru saja masuk, "Pak Herman bahkan sudah mentransfer uang sepuluh juta hanya untuk memiliki video gadis muda sedang berganti baju." Mendengarnya Beny tertawa lebih keras, "jadi diam-diam kamu bahkan sudah menawarkan Ziana ke beberapa lelaki hidung belang?" Reyna membalasnya dengan senyum semringah, "mereka sudah lihat foto Ziana sebelumnya. Jelas mereka merasa tertarik, siapa yang tidak mau jika ditawari daun muda?" Dia lalu mengerling dan terkekeh puas. "Hanya seorang gadis yatim piatu, dia akan sangat mudah kita kelabuhi, tidak mungkin ada yang akan membelanya." Beny ikut tertawa, dia bahkan terlihat berlipat lebih antusias dari Reyna. *** Tidak ada yang aneh di ruangan sempit itu, Ziana tidak curiga apa pun. Namun sebelum dia menanggalkan pakaian dan menggantinya getar ponselnya terus mengusik. Ada panggilan dari nomor baru yang asing, Ziana tidak berniat mengangkat, tapi nomor itu terus menelpon. Merasa mungkin penting akhirnya Ziana menekan tombol terima. "Halo, siapa ini? "Zi, ini saya--" Dari suaranya Ziana kenal sekali, namun dia tidak yakin suara lelaki itu miliknya. "Pak Arhan?" "Ya, putri saya mengalami kecelakaan. Bisakah kamu ke rumah sakit?" Arhan bicara tanpa basa-basi. "Sandra kecelakaan?" ulang Ziana panik, ini pertama kalinya Arhan menelponnya, itu berarti keadaan Sandra cukup parah kan? "Ya, saya belum bisa datang. Tolong kamu temani dia. Orangku akan menjemputmu, di mana kamu sekarang?" Ziana tidak keberatan, untuknya Sandra salah satu orang yang sangat berarti. Tanpa mempertimbangkan apa pun Ziana bergegas, "aku ada di apartemen Cempaka Residence, Pak--" Setelah menutup telepon dia keluar, tepat saat itu Reyna dan Beny berjalan ke arah pintu. "Apa ada tamu yang kamu undang?" Beny bertanya, namun Reyna justru mengendikan bahunya. Reyna merasa tidak mengundang siapa pun dan tidak ada teman yang bilang akan bermain ke tempatnya hari ini. Keduanya membuka pintu lalu mengernyit ketika melihat seseorang yang asing. "Siapa Anda?" Reyna menatap lelaki berseragam supir yang berdiri di hadapannya, lelaki itu memiliki tubuh yang besar dan kekar seperti seorang bodyguard. Ziana di belakang juga berjalan ke arah pintu, dia ingin berpamitan dan menunggu orang yang Arhan kirim untuk menjemputnya di luar nanti. "Saya datang untuk menjemput Nona Zia," ucap lelaki itu yang membuat tiga orang di dalam tertegun. Ziana sendiri tidak menyangka orang itu akan datang begitu cepat padahal Arhan baru saja menutup telepon. "Menjemput?" Raut wajah Reyna berubah sinis. Dia lalu menoleh ke arah Ziana, "Zi, kenapa kamu belum ganti pakaian?" Melihat Ziana yang bahkan belum merubah apa pun membuat wajah Reyna seketika masam. "Kak Rey, maaf. Aku enggak bisa melakukannya sekarang, temanku kecelakaan aku harus ke rumah sakit," ujar Ziana berpamitan. "Tunggu, kamu sudah menyetujui untuk membantuku! Toh, dia hanya teman... sementara kalo kamu membantuku sekarang aku akan memberimu lima juta--" Tawaran Reyna naik dari yang sebelumnya hanya berniat memberi lima ratus ribu. Lima juta? Ziana membatin kaget, itu jumlah yang lumayan besar untuknya! Tapi tetap saja bagi Ziana, Sandra jauh lebih penting dari uang. "Maaf, Kak, dia bukan sekedar teman. Aku sudah menganggapnya seperti saudara." Ziana begitu kekeh membuat Reyna harus berusaha lebih untuk membujuknya. "Ayolah, Zi, sebentar saja hanya ganti semua bajumu lalu foto satu sesi saja tidak masalah. Tidak usah buat video--" "Nona Zi, keadaan Nona Sandra kritis! Mari ikut saya segera," sela orang di ambang pintu dengan raut serius seolah permintaannya begitu mendesak dan tidak bisa ditunda meski satu menit. Ziana semakin gugup saat tahu Sandra kritis. "Baik--" Ziana melangkah ke pintu, namun tangannya kembali ditahan Reyna. "Hanya sepuluh menit," Kedua tangan Ziana dipegang oleh Beny, keduanya hendak memaksa Ziana. Mereka tahu jika sekarang tidak bisa mendapatkan video bugil Ziana maka kesempatan mendapat uang banyak akan tertunda. "Ayo, Zi--""Ibu, dengar? Kakak sungguh tidak masuk akal kan?" Arhan yang tadi duduk bersandar kini menegapkan tubuhnya, tersenyum miring lalu menghela napas lelah. Wina hanya melirik Raya, dia setuju dengan Arhan. Jika Raya bilang ini tentang perebutan kekuasaan maka ucapan Raya sangat tidak masuk akal. Sebagai ibu, Wina tahu betul bagaimana sifat Arhan. Putranya itu bukan seseorang yang tamak. Arhan menganggap anak kakaknya sama saja seperti bagian dirinya. Hanya saja, Arhan punya batasan dan punya cara bagaimana memperlakukan keponakannya. "Selama ini Yudis menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga ayahnya. Dia tidak dididik dengan baik hingga tumbuh menjadi pemuda yang tidak jujur. Ketimbang terus membelanya, kenapa Kakak tidak coba untuk merenung?"Raya terdiam, namun tatapannya masih tajam pada Arhan. "Sifat Yudis sudah terlanjur buruk. Kalau dia tidak diberi pelajaran sampai kapok, maka tidak akan mau berubah--""Tapi setidaknya bisa beri dia hukuman lain. Di penjara bukan sesua
Ziana seolah ditarik untuk harus lebih sadar diri setiap kali terbangun dari khayalannya dan melihat dunia nyata yang sedikit perih, jauh dari angannya."Ada apa?" Dika mendekat, dia melihat ekspresi Ziana yang tidak tampak baik saat melihat ponsel. Dia kira Ziana mendapat kabar buruk. Ziana menggeleng. "Tidak ada apa-apa, hanya masalah kecil.""Ayo berkeliling panti, " ajak Ziana kemudian. "Bangunan ini baru selesai, aku juga belum sempat melihat seluruh ruangan yang sudah selesai dibangun."Dika mengangguk. Keduanya berjalan bersama mengelilingi panti. Ada juga beberapa anak yang mengikuti dengan langkah riang. ***Arhan menghela napas, begitu juga dengan Evan yang tampaknya kesal dan jengkel dengan ibunya. Saat mereka harus mengikuti lomba orang tua dan anak yang mengharuskan kerjasama tim, performa Ofi sangat buruk. Berkali-kali dia yang membuat tim mereka kalah dan tidak kompak. "Maaf, Sayang. Kalo kegiatan panas-panasan gini Ibu susah fokus. Kepala Ibu rasanya pening dan pan
"Baiklah, aku akan pergi bersama supir." Arhan mengangguk lagi. Dia langsung mentransfer uang, jumlahnya lumayan diluar perkiraan Ziana. "Pak Arhan, ini terlalu banyak--" Ziana melebarkan matanya saat menatap layar ponsel melihat uang sepuluh juta masuk ke rekeningnya. "Lebihnya bisa kamu tabung. Anggap saja bonus karena kamu sangat penurut," kata Arhan yang sudah selesai makan. Dia berdiri tanpa bicara apa pun lagi. Bergegas pergi ke kantor. Ziana mengiring dari belakang dengan senyum senang. "Pak Arhan, hati-hati!" ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil Arhan yang mulai melaju. Dia berdiri di teras, tatapannya terus mengikuti sampai mobil itu benar-benar tidak lagi terlihat. ***"Om Arhaaan!" Evan menyambut kedatangan Arhan dengan senyum ceria. Dia sudah berada di sekolah ketika Arhan datang menyusul. Arhan mendekat, melihat sekitar yang sudah ramai dengan kedatangan wali murid lainnya. Arhan baru tahu kenapa Evan memintanya datang ke sekolah ketika sampai. Ternya
Ziana memeluk dengan erat, kepalanya menyender di dada Arhan. Dia sempat kesal karena Arhan memarahinya, namun sekarang rasa takut membuatnya sadar dalam situasi seperti itu tetap hanya Arhan yang dia harapkan sebagai penolong. "Kamu takut? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Vila ini aman--" Arhan coba menenangkan. Bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan Ziana cemas dan merasa stres karena trauma kemarin. "Tidurlah lagi, saya akan di sini--" "Terus nanti pindah?" Pertanyaan polos itu membuat Arhan tersenyum miring, lalu mengacak rambut Ziana dengan gemas. "Anak kucing saja berani tidur sendirian. Kamu penakut sekali--"Ziana cemberut, dia menunduk dengan enggan disuruh tidur. "Tenanglah, setelah kamu tidur saya akan pindah ke sofa." Arhan menunjuk sofa kecil di pojok ruangan. "Tidak, itu tidak bisa digunakan untuk tidur--" Ziana menggeleng cepat. Tidak seperti kamar yang Arhan tempati ada sofa panjang yang nyaman untuk Ziana gunakan tidur. Di sini hanya ada sofa kecil, jika pun
Ziana melihat punggung Arhan yang semakin menjauh dengan rasa kecewanya. Dia bukan tidak sadar, kalau dirinya sekarang mungkin merasakan patah hati atau hanya tahap kecewa saja?Yang jelas, ada rasa tidak rela dan tidak terima melihat Arhan bertelepon dengan wanitanya. Membayangkan sapaan mesra itu membuat Ziana kembali tertampar. Harapannya sangat konyol. "Kamu sudah tahu sejak awal, Pak Arhan punya tunangan--" Ziana bergumam. Dia meyakinkan diri lagi, jika perasannya sebenarnya tidak perlu dibalas. Dia yang mulai menyukai, jadi Arhan memang tidak punya kewajiban untuk membalas perasaannya. * "Ada apa?" Suara Arhan terdengar dingin, namun Ofi tetap tersenyum saat mendengarnya. "Bagaimana keadaanmu? Kudengar kamu terluka?""Bukan masalah besar. Hanya tersayat, tidak perlu khawatir," jalas Arhan. Tanpa perlu bertanya, dia yakin putrinya sudah bercerita panjang lebar tentangnya pada Ofi. "Syukurlah. Aku sangat cemas saat mendengar kabar itu. Andai bisa, sekarang aku pasti sudah m
Sandra yang selalu ceria, suaranya terdengar sangat riang. "Boleh--" Beberapa saat mereka bertelepon, Ofi pamit setelah mendapat cukup banyak informasi. "Dah, Ibuku!" ucap Sandra sebagai kalimat penutup sebelum sambungan terputus. Gadis itu sangat senang, bayangan beberapa bulan lagi akan resmi mempunyai seorang ibu membuatnya sangat antusias. ***Ziana mengoles ikan bakar dengan margarin, dia begitu telaten membolak-balikan ikan panggangnya untuk makan malam kali ini. Itu ikan segar yang didapatkan langsung saat siang tadi memancing di danau. Sementara Arhan sedang bertelepon. Sesekali Ziana memerhatikan dari jauh. Tampaknya Arhan sangat serius. Aroma ikan bakar mulai tercium, sangat menggoda. Ziana pintar mengolahnya. Dia juga meracik bumbu sambal yang cocok untuk dimakan bersama ikan bakar. Tepat ketika masakannya matang, Arhan berjalan ke ruang makan. Dia duduk di posisinya, berhadapan dengan Ziana. Sebelum memulai, Arhan lebih dulu bicara. "Ke depannya kamu harus lebih h







