LOGIN"Ah? Maksudnya ini--" Ziana meremas amplop yang tadi Adam beri sembari terkekeh malu. Dia pikir, mungkinkah Arhan penasaran dengan bayaran jasa kebersihan yang dia lakukan?
Arhan mengemudi dengan pelan karena ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Ziana. "Tidak banyak, Pak Arhan." Kalau Arhan tahu, ia pasti akan merasa geli. Uang di dalam amplop mungkin hanya sebanding harga satu kain lap di rumahnya. "Apalagi aku hanya melakukannya sebentar untuk tiga kamar. " Kening Arhan mengernyit, dia lihat Ziana yang masih terlihat santai menjawab, seakan sudah biasa melakukannya. "Tiga kamar? Maksudnya ada tiga pria berbeda?" Hah? Ziana menatap Arhan lebih fokus, ekspresinya tidak jauh berbeda dengan Arhan. Keduanya saling tatap dengan pemikiran masing-masing. Obrolan yang mereka ucapkan terdengar nyambung tidak nyambung. Namun apa yang Arhan maksud dengan pemahaman Ziana jelas berbeda. Ziana berpikir keras dengan raut bingung. Namun Arhan menangkapnya seolah gerik tidak nyaman ditanya langsung pada intinya. Apa seorang gadis yang menjual diri juga punya rasa malu? "Tiga pria berbeda?" ulang Ziana. Dia yang lugu sama sekali tidak mengira betapa liarnya pemikiran Arhan. "Aku hanya bekerja untuk Pak Adam--" Mata Arhan menyipit, dia menatap Ziana sekilas dengan memerhatikan setiap inci wajah gadis itu. Cantik--tapi apa tidak terlalu murahan untuk gadis belia mau melayani lelaki paruh baya bertubuh tambun? Apanya yang menarik? Pasti karena desakan ekonomi. "Pak Adam biasa menghubungiku saat butuh, kalau soal bayaran... seikhlasnya saja, aku tidak pernah menuntut. Toh pekerjaan yang Pak Adam berikan terbilang ringan. Aku biasa melakukannya," terang Ziana percaya diri, menambahkan senyum tulus di wajahnya. Penjelasan Ziana makin membuat Arhan tercengang, namun lelaki dewasa itu tidak menampakan ekspresi yang berlebih, hanya membatin tidak menyangka. Ternyata sahabat putrinya yang dia tahu polos... begitu amoral! "Kamu biasa melakukannya?" Arhan memastikan. "Ya," Ziana mengangguk, pelan-pelan dia mulai bisa mengendalikan kegugupannya, bicara dengan begitu lugu dan tidak menyembunyikan apa pun. Dia pikir Arhan pun mengerti dan bisa menjadi pendengar yang baik. "Aku sering melakukannya sejak kecil, dulu bareng temen-temenku juga, di motel Pak Adam--" Sraaaaaaaak! Arhan menginjak remnya secara mendadak ketika mendengar cerita Ziana yang begitu blak-blakan. "Astaga--" Ziana bergumam lirih saat tubuhnya hampir saja terpelanting ke depan. Dia mengusap dadanya yang berdetak heboh karena kaget lalu menoleh pada Arhan. Dia bingung apa yang terjadi sampai Arhan merespon dengan begitu mendadak. "Kamu melakukannya sejak kecil? Ziana... apa kamu tidak berpikir itu salah? Ya... sekali pun kamu tinggal di panti, pasti orang dewasa di sana cukup bisa untuk memberi nasehat kan?" Arhan mulai mencecar, dia bicara seperti sedang mengomel pada putrinya Sandra. Namun Ziana yang tidak terbiasa tentu saja merespon dengan kebingungan, dia jadi merasa apa Ziana yang terlalu bodoh sampai tidak mengerti maksud omelan Arhan? "Kamu tidak boleh melakukan hal tidak bermoral begitu--" Arhan menarik napas, kini tubuhnya menyamping dan menatap Ziana sepenuhnya. "Tidak bermoral? Kenapa tidak bermoral, Pak Arhan? Apa salahnya menukar jasa dengan uang? Apa yang aku lakukan juga bisa dibilang pekerjaan kan? Sejak kecil anak-anak panti dididik cukup baik agar bisa mandiri, jadi letak salahnya di mana?" Arhan tidak menjawab, namun dari tatapannya masih begitu rumit dan ambigu. 'Tiga pria? Tidak bermoral?' Ziana mulai menyambung-nyambungkan ucapan Arhan sebelumnya. Dia tidak yakin, namun menebak-nebak apa yang Arhan pikirkan, begitu pun sebaliknya. Keduanya saling berhadapan, tidak ada lagi yang bicara. Beberapa detik itu berlalu hanya untuk tenggelam pada pemikiran masing-masing hingga keduanya bersuara bersamaan. "Tunggu... apa yang Pak Arhan pikirkan?" "Tunggu, memang apa yang kamu lakukan?" Keduanya saling tunjuk, sadar jika sepertinya ada kesalahpahaman. "Pak Arhan dulu--" Ziana memberi ruang namun Arhan menggeleng dan memberi perintah agar Ziana menjawab pertanyaannya lebih dulu. "Jadi, apa yang kamu lakukan?" "Membersihkan kasur dan WC," jawab Ziana polos yang membuat raut wajah Arhan seketika berubah. "Pak Adam sering memintanya karena kadang petugas kebersihan hanya mau datang saat pagi hari." Lelaki itu memalingkan tatapannya, dia bergeleng pelan dan mengusap wajahnya yang menahan geli. Sadar jika dia sudah terlalu sembrono berpikir yang tidak-tidak, tapi semua itu berawal dari paper bag pakaian dalam yang Ziana terima, sebagai lelaki dia jadi gagal fokus. "Apa yang Pak Arhan pikirkan--" Ziana penuh curiga, dia yakin jika dugaannya benar. Namun kenapa sampai Arhan berpikir sejauh itu? Ziana ingin tertawa konyol tapi juga miris, Arhan mencurigainya menjual diri?! "Tidak, tidak... saya hanya gagal fokus. Maaf." Arhan tidak ingin melanjutkan pembahasan ini, dia kembali melajukan mobilnya. "Jangan dipikirkan--" Ziana memaksakan senyumnya agar Arhan tidak merasa bersalah, bagaimana pun mungkin wajar saja Arhan berpikir begitu pada gadis sebatang kara yang tidak punya sandaran, kemungkinan melakukan sesuatu di luar batas sangat mungkin! "Pak Arhan pasti parno karena punya anak gadis--" "Ya ... Mungkin begitu. Saya menganggapmu seperti Sandra, sebagai orang dewasa, tentu saja saya merasa perlu membenahi. Maaf jika membuatmu tidak nyaman--" Arhan bicara dengan bijak dan sopan seolah begitu mempertimbangkan agar lawan bicaranya tidak merasa kerdil. Arhan sadar, sepertinya Ziana mengalami hidup yang cukup sulit. Pantas saja di usianya yang belia harus pontang-panting bekerja. Mungkin gaji di restoran masih belum cukup menutup kebutuhannya. "Saya yang salah, kamu mau memaafkan?"Kali ini Arhan meminta maaf dengan diselingi senyum, Ziana yang tadinya bengong kini jadi gugup. Senyumnyaaa ... membuat Ziana linglung dan sulit membedakan mana gula mana Pak Arhan, sama-sama manis!
*** Ziana kembali bekerja seperti hari-hari biasa, bedanya sekarang lebih bersemangat karena sudah mendapat wejangan dari Arhan. Malam itu sepanjang perjalanan pulang Ziana dan Arhan mengobrol banyak membuat hubungan mereka cukup akrab. Hari ini selepas bekerja, Ziana berniat ingin main ke panti. Dia sengaja berganti baju usai jam kerja selesai. "Ada kabar baik, Pemirsaaa!" celetuk salah satu teman Ziana yang baru saja masuk ke area belakang. "Katanya bakal ada kenaikan gaji bulan ini dan bakal ada tambahan bonus-bonus lembur di bulan depan!" Langkah Ziana terhenti, tentu saja hanya sekedar untuk memastikan, apa itu benar? "Serius? Jangan ngayal, setelah resto dipegang Pak Yudis hampir tidak pernah ada kenaikan gaji!" sahut yang lain. Mereka bergosip sebelum pulang, Ziana yang pendiam dan tidak cukup akrab hanya ikut berdiri di dekat mereka dan mendengarkan, sesekali mengangguk saat ada yang mengajaknya bicara. "Dih, enggak percaya? Yuna dikasih tahu langsung sama Pak Yudis, kok. Mereka kan dekat!" "Wah," Kabar itu sontak saja menyebar keseluruhan pekerja, meski belum tahu pasti karena tanggal gajian masih seminggu lagi, namun itu menjadi harapan baik untuk semua termasuk Ziana yang berbinar-binar karenanya. *** "Aku enggak bisa, Kak Rey. Maaf ya--" Langkah Ziana tertahan saat di luar ada Reyna yang sengaja menyusulnya, padahal sebelumnya Ziana sudah mengirim pesan jika dia tidak mau mengambil tawaran dari Reyna. Setelah melihat model pakaian dalam yang mirip bikini itu, Ziana mengurungkan niatnya. Bayarannya memang menggiurkan tapi untuk gadis seperti Ziana dia tidak cukup berani menukar kehormatannya dengan uang. "Hm, baiklah... kalau kamu tidak mau berfoto untuk model itu, kamu bisa lakukan yang lain. Bantu aku membuat video tutorial--" Reyna kembali membujuk. "Seperti apa?" Ziana memastikan lebih dulu, takutnya pekerjaan yang Reyna tawarkan diluar batas kesanggupannya. "Mudah, pokoknya ikut saja!" paksa Reyna, dia tidak memberi waktu Ziana untuk berpikir. "Aku ambil mobil dulu!" Reyna bergegas ke parkiran. Tepat saat itu Arhan berjalan ke arah pintu keluar dan melihat Ziana yang tadi bicara dengan Reyna di halaman resto. Menurut instingnya, pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Dia merasa Reyna bukan seseorang yang baik untuk dijadikan teman oleh gadis polos seperti Ziana. "Tidak langsung pulang? Apa temanmu itu mengajakmu bekerja paruh waktu lagi?" tegur Arhan yang kini berdiri tepat di belakang Ziana dan membuat gadis itu kaget saat menoleh. "Bukankah akan ada kenaikan gaji? Harusnya kamu tidak perlu susah payah, dan tunggu satu minggu lagi." "Kok, Pak Arhan tahu?" reflek Ziana bertanya balik dan mengabaikan pertanyaan yang Arhan ajukan lebih dulu. Kini mereka saling berhadapan setelah Ziana membalik badan. "Maksudnya, kabar itu masih simpang-siur, belum ada pengumuman langsung dari atasan. Bagaimana Pak Arhan tahu dan begitu yakin?""Ibu, dengar? Kakak sungguh tidak masuk akal kan?" Arhan yang tadi duduk bersandar kini menegapkan tubuhnya, tersenyum miring lalu menghela napas lelah. Wina hanya melirik Raya, dia setuju dengan Arhan. Jika Raya bilang ini tentang perebutan kekuasaan maka ucapan Raya sangat tidak masuk akal. Sebagai ibu, Wina tahu betul bagaimana sifat Arhan. Putranya itu bukan seseorang yang tamak. Arhan menganggap anak kakaknya sama saja seperti bagian dirinya. Hanya saja, Arhan punya batasan dan punya cara bagaimana memperlakukan keponakannya. "Selama ini Yudis menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga ayahnya. Dia tidak dididik dengan baik hingga tumbuh menjadi pemuda yang tidak jujur. Ketimbang terus membelanya, kenapa Kakak tidak coba untuk merenung?"Raya terdiam, namun tatapannya masih tajam pada Arhan. "Sifat Yudis sudah terlanjur buruk. Kalau dia tidak diberi pelajaran sampai kapok, maka tidak akan mau berubah--""Tapi setidaknya bisa beri dia hukuman lain. Di penjara bukan sesua
Ziana seolah ditarik untuk harus lebih sadar diri setiap kali terbangun dari khayalannya dan melihat dunia nyata yang sedikit perih, jauh dari angannya."Ada apa?" Dika mendekat, dia melihat ekspresi Ziana yang tidak tampak baik saat melihat ponsel. Dia kira Ziana mendapat kabar buruk. Ziana menggeleng. "Tidak ada apa-apa, hanya masalah kecil.""Ayo berkeliling panti, " ajak Ziana kemudian. "Bangunan ini baru selesai, aku juga belum sempat melihat seluruh ruangan yang sudah selesai dibangun."Dika mengangguk. Keduanya berjalan bersama mengelilingi panti. Ada juga beberapa anak yang mengikuti dengan langkah riang. ***Arhan menghela napas, begitu juga dengan Evan yang tampaknya kesal dan jengkel dengan ibunya. Saat mereka harus mengikuti lomba orang tua dan anak yang mengharuskan kerjasama tim, performa Ofi sangat buruk. Berkali-kali dia yang membuat tim mereka kalah dan tidak kompak. "Maaf, Sayang. Kalo kegiatan panas-panasan gini Ibu susah fokus. Kepala Ibu rasanya pening dan pan
"Baiklah, aku akan pergi bersama supir." Arhan mengangguk lagi. Dia langsung mentransfer uang, jumlahnya lumayan diluar perkiraan Ziana. "Pak Arhan, ini terlalu banyak--" Ziana melebarkan matanya saat menatap layar ponsel melihat uang sepuluh juta masuk ke rekeningnya. "Lebihnya bisa kamu tabung. Anggap saja bonus karena kamu sangat penurut," kata Arhan yang sudah selesai makan. Dia berdiri tanpa bicara apa pun lagi. Bergegas pergi ke kantor. Ziana mengiring dari belakang dengan senyum senang. "Pak Arhan, hati-hati!" ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil Arhan yang mulai melaju. Dia berdiri di teras, tatapannya terus mengikuti sampai mobil itu benar-benar tidak lagi terlihat. ***"Om Arhaaan!" Evan menyambut kedatangan Arhan dengan senyum ceria. Dia sudah berada di sekolah ketika Arhan datang menyusul. Arhan mendekat, melihat sekitar yang sudah ramai dengan kedatangan wali murid lainnya. Arhan baru tahu kenapa Evan memintanya datang ke sekolah ketika sampai. Ternya
Ziana memeluk dengan erat, kepalanya menyender di dada Arhan. Dia sempat kesal karena Arhan memarahinya, namun sekarang rasa takut membuatnya sadar dalam situasi seperti itu tetap hanya Arhan yang dia harapkan sebagai penolong. "Kamu takut? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Vila ini aman--" Arhan coba menenangkan. Bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan Ziana cemas dan merasa stres karena trauma kemarin. "Tidurlah lagi, saya akan di sini--" "Terus nanti pindah?" Pertanyaan polos itu membuat Arhan tersenyum miring, lalu mengacak rambut Ziana dengan gemas. "Anak kucing saja berani tidur sendirian. Kamu penakut sekali--"Ziana cemberut, dia menunduk dengan enggan disuruh tidur. "Tenanglah, setelah kamu tidur saya akan pindah ke sofa." Arhan menunjuk sofa kecil di pojok ruangan. "Tidak, itu tidak bisa digunakan untuk tidur--" Ziana menggeleng cepat. Tidak seperti kamar yang Arhan tempati ada sofa panjang yang nyaman untuk Ziana gunakan tidur. Di sini hanya ada sofa kecil, jika pun
Ziana melihat punggung Arhan yang semakin menjauh dengan rasa kecewanya. Dia bukan tidak sadar, kalau dirinya sekarang mungkin merasakan patah hati atau hanya tahap kecewa saja?Yang jelas, ada rasa tidak rela dan tidak terima melihat Arhan bertelepon dengan wanitanya. Membayangkan sapaan mesra itu membuat Ziana kembali tertampar. Harapannya sangat konyol. "Kamu sudah tahu sejak awal, Pak Arhan punya tunangan--" Ziana bergumam. Dia meyakinkan diri lagi, jika perasannya sebenarnya tidak perlu dibalas. Dia yang mulai menyukai, jadi Arhan memang tidak punya kewajiban untuk membalas perasaannya. * "Ada apa?" Suara Arhan terdengar dingin, namun Ofi tetap tersenyum saat mendengarnya. "Bagaimana keadaanmu? Kudengar kamu terluka?""Bukan masalah besar. Hanya tersayat, tidak perlu khawatir," jalas Arhan. Tanpa perlu bertanya, dia yakin putrinya sudah bercerita panjang lebar tentangnya pada Ofi. "Syukurlah. Aku sangat cemas saat mendengar kabar itu. Andai bisa, sekarang aku pasti sudah m
Sandra yang selalu ceria, suaranya terdengar sangat riang. "Boleh--" Beberapa saat mereka bertelepon, Ofi pamit setelah mendapat cukup banyak informasi. "Dah, Ibuku!" ucap Sandra sebagai kalimat penutup sebelum sambungan terputus. Gadis itu sangat senang, bayangan beberapa bulan lagi akan resmi mempunyai seorang ibu membuatnya sangat antusias. ***Ziana mengoles ikan bakar dengan margarin, dia begitu telaten membolak-balikan ikan panggangnya untuk makan malam kali ini. Itu ikan segar yang didapatkan langsung saat siang tadi memancing di danau. Sementara Arhan sedang bertelepon. Sesekali Ziana memerhatikan dari jauh. Tampaknya Arhan sangat serius. Aroma ikan bakar mulai tercium, sangat menggoda. Ziana pintar mengolahnya. Dia juga meracik bumbu sambal yang cocok untuk dimakan bersama ikan bakar. Tepat ketika masakannya matang, Arhan berjalan ke ruang makan. Dia duduk di posisinya, berhadapan dengan Ziana. Sebelum memulai, Arhan lebih dulu bicara. "Ke depannya kamu harus lebih h







