LOGIN"Arrrgggh!" Reyna sampai menjerit ketika dia dan Beny didorong dengan begitu kuat oleh lelaki yang tadi di ambang pintu sampai tersungkur ke lantai.
"Maaf saya harus kasar karena Anda menghalangi--" ucapnya sambil memberi isyarat agar Ziana cepat keluar mengikutinya. "Kak Rey, maaf--" Ziana menunduk sebelum benar-benar melangkah, untuk gadis selugu dia, bahkan tidak berpikir buruk apa pun pada Reyna selain Reyna menahannya hanya karena pekerjaan yang akan tertunda, tidak ada niat buruk. *** Ziana duduk di kursi penumpang dengan perasaan masih gugup dan panik, dia melirik ke arah supir di depan yang tampak tenang dan biasa saja. "Apa keadaan Sandra benar-benar kritis?" tanya Ziana penasaran. Lelaki itu tersenyum ramah lalu bergeleng pelan, "Maaf, saya belum tahu pasti. Pak Arhan hanya menyuruh saya untuk segera menjemput Anda, kalau diperlukan saya bahkan disuruh untuk memaksa agar Anda segera keluar dari tempat itu. Jadi, alasan saya sebelumnya hanya untuk membuat Anda mempertimbangkan lebih--" Hah? Bibir Ziana membulat, dia tidak menyangka jika tadi hanya sekedar akting yang cukup baik? "Semoga keadaan Nona Sandra tidak parah--" Ziana berdeham menampak raut yang sedikit kecewa karena sudah dibohongi, namun dia tidak ingin membahasnya dan memilih mengalihkan topik. "Oiya, tadi aku baru saja ditelepon Pak Arhan, bagaimana bisa Anda sudah sampai begitu cepat di apartemen?" Rasa penasarannya tidak lagi bisa ditahan, jadi dengan terburu Ziana menanyakannya. Supir itu kembali tersenyum, "hampir setengah jam yang lalu Pak Arhan memerintah dan saya langsung pergi." "Maksudnya Anda ke apartemen bahkan sebelum Pak Arhan menelponku--" gumam Ziana, namun tidak lagi ditanggapi oleh sang sopir karena fokus pada jalan yang membelok. Ziana berpikir keras, jika Arhan menyuruh sopir itu datang ke apartemen setengah jam lalu... itu berarti Arhan harusnya sudah tahu posisi Ziana sebelumnya, dong! Tapi apa mungkin? Gadis itu menerka-nerka, merasa aneh namun tidak berani untuk berpikir lebih jauh. Dia hanya merasa kalau Arhan itu orang yang rumit dan tak terduga. Sampai di rumah sakit, Ziana berjalan dari lobi ke ruang rawat Sandra dengan tergesa. Namun saat sampai dia mendapati gadis itu sedang bertengkar dengan sepupunya. "Hanya lecet dan keseleo, untuk apa sampai opname, Monyet!" Aziel mengumpat sambil mengacak gemas rambut Sandra. "Tapi sakit! Dokter bilang, sekali pun cidera kecil tetap butuh waktu pemulihan! Jadi apa salahnya aku beristirahat sambil menikmati nyamannya ranjang rumah sakit," jawab Sandra dengan santai dan menepis tangan Aziel. Aziel mengerucutkan bibir, tentu dia tidak setuju dengan pemikiran konyol sepupunya itu, Sandra jatuh saat membonceng motor Aziel, jatuhnya pun tidak keras. Motor baru melaju dan sangat lambat, saat berbelok keseimbangan Aziel goyah karena Sandra yang membonceng terus bergerak. Sementara kaki Sandra yang keseleo itu didapat bukan karena kecelakaan, melainkan setelah jatuh Sandra mengoceh dan hendak berjalan kabur, tapi terpeleset di paving dan oleng, lalu masuk ke got. "Zia?" Mata Sandra membulat saat di depan pintu melihat sosok sahabatnya yang berdiri bengong. "Kamu ngapain di situ?" Ziana tersenyum canggung, lalu berjalan mendekat. "Katanya kamu kecelakaan--" Melihat Ziana datang dengan penuh perhatian Aziel pun berdecak dan tersenyum miring, "Terlalu mengada-ngada... dia hanya kepeleset dan jatuh ke got!" Ziana menoleh ke sumber suara, dia tidak pangling untuk mengingat cowok tengil yang pernah mendorongnya ke kolam. "Sudah sana pergi!" usir Sandra pada Aziel. "Sudah ada sahabatku!" ketus Sandra, semakin terlihat menyebalkan di mata Aziel. Aziel membalasnya dengan senyum mencibir dan langsung balik badan tanpa basa-basi, "Okey, aku pergi! Kalian berdua memang sangat cocok jadi bestie! Klop. Punya banyak kesamaan. Sama-sama ratu drama dan streees!" "Heeeeeh! Jaga bicaramu Kak Aziel! Awas ya kalo kamu berani ngomong lagi, kutabok mulutmu biar tambah maju kek Kingkong!" sahut Sandra berapi-api. Di telinga Ziana, balasan Sandra tadi terdengar sangat konyol. Ziana terkekeh, dia tidak mempermasalahkan ucapan Aziel untuknya, sadar jika Aziel mungkin masih dendam. Apalagi karena setelah membuat Ziana tenggalam Aziel juga mendapat hukuman dari Arhan. "Kamu baik-baik ajah, San?" Ziana memindai kondisi Sandra yang tampak bugar, namun tetap ada balutan perban di lengan dan kaki. "Kalo cuma keseleo kenapa sampai menginap di rumah sakit?" Sandra meringis, "enggak ada masalah serius, kok, Zi. Cuma aku pengen ajah... biar bisa dijenguk, sama Endra," bisiknya dengan kekehan tanpa dosa. Dia bahkan mengambil ponsel kemudian foto dengan gaya lemah, "aku akan mengirim fotonya, dia pasti sangat khawatir dan akan segera datang!" "Astaga, kamu se-effort ini cuma buat Endra?" Mata Ziana melotot, dia gemas dengan sahabatnya satu itu. Sejak dulu tidak berubah, ada saja kelakuan Sandra yang akan membuatnya tercengang sampai geleng-geleng. "Hey, Zi, enggak gitu sih... yah, cuma memanfaatkan keadaan ajah! Apa salahnya? Aku beneran sakit, kok--" "Aku pikir kamu terlibat kecelakaan parah dan beneran kritis, sampai ayahmu memintaku datang." Ziana mencubit pipi Sandra sampai membuatnya mengaduh minta ampun. Ziana terkekeh kecil memberi balasan untuk sahabat yang suka iseng. Keduanya sedekat itu, sekali pun Ziana mengomel dan memerahi Sandra sekarang, Sandra tahu jejak air mata di wajah Ziana itu tulus untuknya. *** Arhan ke rumah sakit larut malam, mungkin pukul sebelas setelah dia lembur di kantor kemudian balik ke rumah untuk bebersih dan ganti baju. Dia tidak begitu khawatir karena tahu putrinya hanya mengalami cedera ringan, dan Aziel sudah memberitahunya kalau dokter tidak menyarankan Sandra opname, tapi gadis itu yang memaksa. Arhan tidak heran, putrinya memang suka berulah dan ada-ada saja tingkahnya. "Memang kamu udah jadian sama Endra, San?" Terdengar dari dalam dua gadis itu masih asyik mengobrol, Arhan menghentikan langkahnya dan memilih diam sebentar di depan ruang rawat putrinya. "Belum. Semoga sebentar lagi, kita udah deket banget, kok. Tapi dia enggak nembak-nembak... apa aku ajah ya yang ungkapin perasaan dulu?" "Dih? Gengsi! Masa cewek nembak duluan--" "Ya gimana dong! Lama-lama enggak sabar... " Sandra murung, mengingat hubungannya dengan Endra masih tanpa status, sedangkan dia sudah sangat mencintai. "Kamu sendiri gimana, Zi? Ada cowok yang kamu taksir? Kerja di tempat baru pasti banyak gebetan dong?" Ziana menggeleng, dia berbaring di sofa sambil menatap langit-langit ruangan. "Aku enggak mikirin itu--" "Hah? Jangan bilang... kamu masih terbayang-bayang sama Pak Kevin?" "Dih, apaan sih? Enggaklah!" elak Ziana yang langsung protes dan menoleh ke arah Sandra. Sandra tertawa kecil, "kupikir masih belum move on, inget Zi... Pak Kevin udah nikah dan punya anak, jangan sampai ya... suka sama suami orang--" "Kamu tahu sendiri, saat itu aku suka dengan Pak Kevin sebelum tahu dia udah nikah. Setelah tahu punya anak-istri, mana berani aku." Ziana mengingat kembali momen di sekolah dulu, dia sempat naksir pada salah satu guru di sekolahnya yang begitu baik dan sering kali memberi perhatian pada Ziana. Diam-diam Ziana menyukainya, apalagi saat Ziana mengikuti olimpiade salah satu mapel Kevin yang membimbingnya, dari situ keduanya kompak dan makin dekat. Ziana terbuai dengan sikap manis dan dewasanya seorang Kevin. "Ngomong-ngomong, kenapa dulu kamu sampai naksir Pak Kevin? Selain baik dan ganteng... apa yang membuatmu tertarik?" "Dewasa! Dia bisa menjadi apa saja, seorang teman, kakak, bahkan kadang bersikap layaknya ayah, untuk seorang fatherless sepertiku... kamu pasti paham--" Ziana memejam sesaat dan menghela napas, dadanya tiba-tiba terasa sesak, bukan ingat masa lalu, tapi dia hanya merasa miris dengan nasib sendiri. Di ranjang, Sandra yang terbaring miring menatap Ziana dengan mata yang mulai meredup karena kantuk. Dia pun ikut perihatin, tahu jelas bagaimana kehidupan seorang Ziana. "Kalau diberi kesempatan... Pak Kevin jadi duda, kamu mau sama dia?"Ziana bangun lebih awal. Dia yang memasak pagi ini, spesial untuk Sandra yang hendak berangkat ke kampus. "Loh, Zi, kamu masih sakit? Kenapa dibawa jalan?" Sandra sudah rapi, dia menghampiri Ziana di dapur. "Kakiku sudah membaik. Cuma sakit kalo dibawa jalan lama, kalo sebentar gini enggak kerasa, kok. Aku bikinin bekel buat kamu." Ziana menyiapkan menu untuk sarapan juga bekal untuk Sandra bawa ke kampus. "Ya ampun, kamu effort banget bikin ini?" Sandra tersenyum dengan mata berbinar-binar mengintip isi kotak bekal berwarna pink. Meski sederhana, namun Sandra sangat terharu dan menghargainya. Soal rasa, Sandra yakin pasti enak. Dia tahu Ziana cukup pintar memasak. Saat di panti dulu, dia juga sering memasak untuk adik-adik panti. "Itu--" Sandra menunjuk kotak bekal lain berwarna abu-abu. "Apa untuk Ayah?"Ziana tersenyum tipis, lalu berbisik. "Apa kira-kira Pak Arhan mau membawanya?" Tepat sekali Arhan keluar dari kamarnya dan hendak berangkat. "San, Ayah berangkat dulu ya--
Dia sudah tahu kalau Arhan dan Ofi bertunangan. Pada akhirnya pastilah mereka akan menikah. "Ya, Nenek yang bilang." Sepertinya semua memang sudah ditetapkan. Kalau Wina yang bilang, itu berarti memang benar. Selain Sandra, Wina adalah orang yang paling Arhan jaga. "Udah yuk, kita jalan! Mumpung aku libur. Aku mau ke bisokop!" ajak Sandra heboh. Dia tidak ingin menyiakan malamnya untuk bersenang-senang. Besok hari libur, jadi Sandra bisa tidur sepuasnya. ***Selama Ziana mau tetap tinggal di rumah Sandra, setiap akhir pekan dia berjanji akan pulang untuk mengajak Ziana jalan-jalan. Jadi, mereka punya momen seminggu sekali untuk bertemu dan menghabiskan waktu seperti biasanya. Mereka hanya jalan berdua, Sandra mendorong kursi roda Ziana memasuki area mall. Keduanya punya selera nonton yang tidak jauh beda, film romance yang sedikit dibumbui dengan komedi. Kabar di internet tentang Ziana perlahan sudah mulai mereda. Tidak ada lagi yang membuatkan berita baru tentangnya, tapi ka
"Maaf--" Arhan langsung membalik badannya ketika tersadar tanpa sengaja melihat Ziana sebagai sosok seorang gadis. Gadis cantik yang tubuhnya begitu ramping dengan kulit mulus. Ziana menyilangkan tangan, menutupi dada tanpa bisa menyingkir. Dia menggigit bibirnya, merasakan dingin juga kakinya yang nyeri. Tangan Arhan meraih handuk dan menjatuhkannya tepat di atas Ziana. Membuatnya tertutup seperti anak kucing. "Pakai itu dulu," titah Arhan masih membelakangi Ziana. Ziana membenarkan handuk dengan melilitkannya ke dada. Setelahnya, baru Arhan mendekat dan membantunya. "Kenapa sampai jatuh?" Arhan berjongkok. "Terpeleset--" jawab Ziana memegang pergelangan kakinya. Arhan menyentuhnya sebentar, lalu mengambil shower dan memilih membersihkan tubuh Ziana yang masih berbusa, rambutnya juga belum selesai berkeramas. "Bersihkan dulu. Nanti kita obati di luar. " Ziana menurut, menahan rasa sakitnya. Dia menggosok rambut dan tubuhnya saat air mengucur ke arahnya. "Pak Arhan
Ziana menanggapi Sandra dengan begitu serius. "Tentu saja jalan-jalan dan shopping!" jawab Sandra antusias dengan kekehan geli. Sontak saja dia mendapat cubitan lagi. ***Kondisi Vela saat ini memperihatinkan. Dia dipulangkan ke pihak keluarganya, namun meski tahu putrinya mendapat penganiayaan dari sang suami, orang tua Vela tidak bisa bertindak. Ibu Vela hanya bisa duduk menahan tangis, melihat Vela terbaring tak sadarkan diri dengan luka-luka yang belum sepenuhnya pulih. "Aku tidak bisa melakukan apa pun. Ayah Vela terikat kerja sama bisnis dengan Bram. Jika kita melaporkan dia ke polisi, bisnis keluarga bisa runtuh dan terancam bangkrut." Ibu Vela meratap, dia bicara dengan wajah sendu tak berdaya. "Semua ini gara-gara gadis itu. Aku yakin sebenarnya memang ada perselingkuhan. Tapi Bram sengaja membuat berita palsu untuk menyudutkan Vela dan membuat namanya bersih." "Herman, apa kamu tahu siapa gadis yang sebelumnya ada di berita itu?" Ibu Vela bertanya pada adiknya yang se
Sebelum bicara, Darma bersikap begitu manis dengan mengambilkan potongan daging dan menaruhnya di piring Ofi. "Santai saja. Kita bicara sambil makan--" "Tapi aku tidak punya banyak waktu," sahut Ofi dengan angkuh. "Lebih baik Ayah tidak perlu basa-basi."Darma tersenyum kecut, menahan gereget pada putri kandungnya yang sekarang sok berkuasa. "Begini, sekarang kamu kan sudah bertunangan dengan Arhan. Bagaimana kalau kamu bantu Ayah bujuk dia agar mau bekerja sama untuk proyek--"Ofi berdeham keras memotong ucapan Darma. Lalu mengambil tisu dan mengelap bibirnya dengan anggun. Sudah Ofi duga, orang tuanya pasti memiliki tujuan. Ingin mengambil keuntungan dengan memanfaatkan hubungan Ofi dan Arhan. "Maaf, Ayah, sekali pun aku dan Pak Arhan bertunangan, tapi masalah bisnis Ayah sama sekali enggak ada hubungannya denganku--" Jawaban Ofi seketika membuat wajah Darma memerah. "Lagi pun kami baru bertunangan, belum resmi menikah. Jadi bagaimana bisa aku memintanya, kecuali--" Ofi bica
Yudis datang ke rumah sakit, mendapati tidak ada yang menjaga Ziana di ruang rawatnya. Dia memindai sekitar yang sepi. Tidak ada tanda-tanda akan ada orang yang datang. Lelaki itu pun menerobos masuk dan membangunkan Ziana. Siang itu, Ziana sedang tertidur sendirian. Sandra keluar untuk membeli makanan. Tanpa basa-basi, Yudis langsung mencengkeram rahang Ziana. Jelas saja Ziana yang tadi dalam kondisi tidak sadar, terbangun kaget. "Rupanya kau masih hidup--" Dia menyeringai, mengintimidasi. "Harusnya kamu mati saja, toh nyawa orang sepertimu sebenarnya sangat tidak berharga." Ziana tidak bisa bicara karena pipi yang ditekan sampai membuat rahangnya serasa akan remuk. "Tapi baiklah, karena rencana kemarin gagal. Aku akan melanjutkannya sekarang." Tangan Yudis beralih menyusuri leher Ziana lalu mencekiknya. "Le--pas!" Ziana berontak dengan menarik tangan Yudis, namun tenaganya kalah jauh. Sampai akhirnya Sandra datang. "Kak Yudis, apa yang sedang kamu lakukan!" sentaknya mengage







