PLAK!
Tudung jaket yang digunakan Lova terlepas dari kepala. Seorang pria paruh baya berdiri di depannya dengan tatapan marah.
"Sekarang sudah jam berapa!?" tanya Jason dengan nada marah.
Lova melirik jam tangannya lalu menatap ayahnya. "Jam 17.05," ujarnya dengan nada datar. Jason menggengam tangan Lova dengan erat.
"Tahu kesalahan kamu!?" bentak Jason lagi. Lova menatap Jason tanpa perubahan ekspresi. "Lova telat pulang 5 menit."
BRAK!
Lova memegang kepalanya saat terbentur pinggiran meja ruang tamu. Tubuhnya jatuh ke lantai saat didorong ayahnya.
"Ayah enggak mau tahu alasan kamu telat kenapa!? Ayah cuma tahu kalau putri ayah enggak pulang tepat waktu!" geram Jason kemudian menyeret Lova menuju ke ruangan di sebelah dapur.
Jason membukan pintu ruangan itu dan mendorong Lova masuk ke dalam sana. Ruangan tertutup dengan ventilasi yang sangat kecil.
"KAMU TIDUR DI SITU SAMPAI BESOK PAGI!" teriak Jason marah kemudian meninggalkan Lova.
Ruangan itu gelap bahkan cahaya enggan masuk ke sana. Hal yang tidak pernah berubah dari hidupnya sendari dulu adalah bersahabat dengan kegelapan.
Dia menyenderkan punggungnya di tembok. Perasaan aneh mulai menjalar di hatinya. Perasaan seperti tercubit dan rasa sesak mulai muncul.Tenggorokannya seperti ingin mengutarakan apa yang dia rasakan tapi tidak bisa.
"Sama sekali enggak ada yang berubah," gumam Lova sambil menaruh tasnya dan merebahkan tubuhnya.
Dinginnya lantai ruangan itu menyusup ke setiap pori-pori kulit Lova. Keheningan yang dia rasakan saat ini terasa lebih menenangkan walau tidak dipungkiri jika tersisip rasa sepi di ruang kecil hatinya.
"Lova kuat loh."
"Kalau Lova bisa jauhi yang bikin sedih dan lanjutkan yang bikin Lova bahagia."
Senyum tersungging di bibir Lova, "Tapi gue enggak bisa menjauh."
TOK! TOK!
"Non!" panggil Bi Herni dari luar ruangan.
Lova bangun dari posisi tidurnya dan merangkak ke dekat pintu. Dari luar sebuah celah berbentuk kotak di pintu itu dibuka oleh Bi Herni."Non, ini Bibi bawain roti buat makan sama ada air mineral gelasan." Bi Herni memasukan roti dan air mineral itu lewat celah kotak di bagian bawah pintu.
"Hm."
"Non, boleh bibi kasih saran?" tanya Bi Herni dari lubang kotak yang hanya berukuran sejengkal tangan.
"Bukannya tiap Lova kayak gini Bibi udah sering kasih saran? Saran apalagi? Jangan ngebantah? Jangan ngelanggar? Sebaiknya Bibi tutup aja ini lubang terus digembok lagi! Lova enggak butuh apa-apa lagi! Oh ya, terima kasih buat roti dan minumnya," ujar Lova kemudian menjauhi pintu.
Lova meraba di mana letak tasnya dan bersandar di dinding lagi. Roti yang diberikan Bi Herni segera dia makan.
"Non Lova harusnya nurut sama tuan."
"Coba kalau non Lova enggak ngelakuin kesalahan dan ngelanggar peraturan dari tuan."
Binar mata Lova menyorot dingin dan deru napasnya sedikit kencang. Semua kesalahan selalu dibebankan pada Lova. Bagi mereka dia itu apa? Samsak tinju? Piring usang? Bisa dipukul dan dibanting sesuka hati.
Tubuh Lova sedikit gemetar dan jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Jika dia bisa memilih, bisa tidak jangan dia yang lahir ke bumi saat itu?
"Tuhan, Lova enggak tahu bakal sampai kapan pura-pura kuat." Lova memejamkan matanya lalu berusaha tidur.
๐พ๐พ๐พ
Lova pulang ke rumah dengan bersenandung. Dia senang bisa bermain bersama teman satu kompleknya. Saat ini menunjukan sudah pukul 17.30. Dari kejauhan dia melihat ke arah ayahnya yang terlihat menaruh kedua tangannya di pinggang. Dia berlari kecil dan tersenyum lebar ke arah ayahnya.
"Aya... "
"SINI KAMU!" teriak Jason marah.
Lova menatap ayahnya takut. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya marah. Dia mendekati ayahnya dan merasakan tamparan keras di pipinya."KENAPA JAM SEGINI BARU PULANG?!" tanya Jason marah.
"Lova habis main, Yah," balas Lova takut.
"MULAI SEKARANG KAMU ENGGAK BOLEH MAIN LEBIH DARI JAM 5 SORE!" titah Jason kemudian menyeret Lova masuk ke dalam rumah.
"Tapi Yah, temen Lova boleh main sampe jam segini," protes Lova lalu mendapatkan tamparan lagi.
"Kamu mau jadi anak durhaka!?" geram Jason saat Lova tidak menuruti perintahnya.
Lova menatap ayahnya takut. Tubuhnya gemetaran saat menatap mata ayahnya yang marah. Dia menggigit tangan ayahnya dan membuat genggamam sang ayah terlepas.
"AYAH JAHAT! LOVA BENCI!" teriak Lova sambil berlari menjauh dari rumahnya.
"LOVA! MAU KEMANA KAMU!?"
"Semua orang benci Lova, semua enggak sayang Lova." Lova bergumam dalam tidurnya. Mata Lova masih tertutup tapi sebutir air mata menetes dari sudut matanya.
"Mama pergi, ayah jahat, semua orang enggak peduli." Lova merancau dalam tidurnya.
"Lova cuma punya diri sendiri." Air mata terus lolos membasahi pipi Lova.
Dret! Dret! Dret!
Tas yang dijadikan bantalan oleh Lova bergetar terus-menerus. Dia merasa terganggu dan akhirnya membuka mata.
Menyadari jika dirinya menangis, dia buru-buru mengelap air mata di pipinya.
Dadanya sedikit sesak dan jantungnya berdetak cepat saat menyadari hari sudah malam dan dia sendirian di ruangan gelap. Lova merapatkan tubuhnya ke tembok dan merogoh ke dalam tas. Dia mencari ponsel miliknya yang tadi bergetar.'Hey anak kebo! Gue mau tanya.'
'Oi.'
'Lo jam segini udah tidur, ya?'
Nomor tidak dikenal tiba-tiba mengirimkan pesan ke ponsel Lova. Mata Lova belum fokus membaca setiap rentetan pesan yang masuk.
'Siapa, ya?'
Ting!
'Lo belum save nomor gue? Pantesan aja gue bikin story enggak ada nama lo yang muncul lihat story gue!'
'Save dong, Bagas tamvan'
Lova men-scroll chat pada nomor itu dan benar ternyata itu nomor ketua klannya.
'Hmm, entar gue save.' balas Lova yang malas untuk segera save nomor ketua klannya.
'Yoi! Awas kalo sampe kaga lo save.'
'Eh, by the way gue mau nanya dong.'
Dua pesan masuk ke ponsel Lova.
'Apa?'
Ting!
'Cara ngehibur cewek yang habis sedih itu gimana?'
Lova menatap isi pesan itu dengan malas dan berpikir sejenak.
'Jadi badut maybe.'
Setelah pesan itu terkirim, tidak ada balasan lagi dari Bagas. Lova menaruh ponselnya di lantai dan merebahkan tubuhnya lagi. Beberapa menit kemudian, ponsel Lova bergetar kembali.
๐ธ Picture.
'Kayak gini udah mantap belum buat ngehibur orang?'
Sebuah foto Bagas dengan baju badut merah, hidung buatan berwarna biru, dan bulatan di pipi berwarna hitam tampak di layar ponsel Lova. Bibir Lova berkedut ketika melihat foto itu.
"Si bego itu!" hina Lova lalu mengetik balasan untuk Bagas.
'Dah.'
Ting!
'Oke sip, udah gue send ke dia.'
Lova menaikan alisnya aneh, "Beneran dia send? Heh, kayaknya begonya ini cowok udah mendarah daging."
Bersambung...
"Dengan siapa aku punya bahagia?"~ Lovani Senja๐พ๐พMata Lova mengerjap saat cahaya menyilaukan matanya. Dia melonjak kaget saat pintu ruangan ditendang oleh ayahnya. Lova duduk dari posisi tidurnya dan menatap datar."Lain kali jangan ngelanggar aturan lagi!" ujar Jason sambil melipat kedua tangannya di depan dada."Buat ayah, Lova emang selalu salah'kan?" Tas punggungnya dia gendong dan mulai berdiri."Kamu mau ngelawan ayah lagi?" Lova mengelengkan kepalanya saat mendengar ucapan ayahnya."Emang bener'kan? Buat ayah, Lova itu selalu salah dan selalu ngelawan. Valid dan tanpa alasan apa pun lagi." Dia berjalan berjalan melewati ayahnya. Lova berhenti berjalan sejenak dan menoleh,"Pantes mama pergi.""LOVA, JAGA OMONGAN KAMU!" Lova menulikan telinganya dan berjalan ke arah kamarnya.Pintu kamar Lova ditutup dengan kasar. Dia melemparkan tasnya ke lantai dan membenamkan wajahnya di atas bantal."Argh
-Ketika Senja pergi direbut gelap, apa dia masih akan ingat Biru?-Lova berjalan menyusuri koridor sekolah. Sekitar 4 meter, dia melihat sosok yang dikenalinya sedang berjongkok. Melihat sosok itu, Lova berbalik. Dia malas bertemu Bagas."Ngapa dah, tali sepatu pake copot segala. Loh, ini kok tali sepatu gue sebelah kanan sama kiri beda warna, sih?" Bagas menepuk dahinya karena teledor."Bodo ah. Orang ganteng pake apa aja pasti kelihatan good looking," gumam Bagas lalu berdiri setelah selesai mengikat tali sepatunya.Sendari tadi Bagas mencari keberadaan Elin, tapi tidak ada, bahkan dia sudah bertanya kepada beberapa orang dan mereka juga tidak tahu.Bagas tiba-tiba melihat punggung orang yang dia kenal, "Eh Lova! Lo mau kemana?" teriak Bagas saat melihat Lova berjalan membelakanginya.Lova berjalan semakin cepat. "ANAK KEBO! LO JALAN CEPET BANGET!" teriak Bagas yang membuat Lova berhenti berjalan dan menghela napas. Dia berbalik dan menata
-"Seandainya semesta tahu. Jika sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini. Terkadang semua di luar kendali diri."-๐พ๐พ๐พSuasana kelas terdengar ricuh, Lova duduk dibangkunya dengan suasana hati yang rumit. Suasana hatinya berubah dengan cepat. Dia merasa tidak ingin diusik. Tiba-tiba semerbak asap rokok menyeruak di hidungnya. Aroma permen yang aneh membuat perutnya menjadi mual. Dia melihat ke arah Brian yang merupakan teman sebangkunya. Brian terlihat sedang merokok di kursinya."Rokok lo bau," hina Lova sambil menaruh tasnya di meja dengan kasar."Kalau enggak suka ya, ga usah di sini," balas Brian yang masih menikmati rokoknya."Harusnya lo yang enggak di sini. Ini sekolah bego, bukan tempat nongkrong!" sarkas Lova."Suka-suka gue'lah!" ujar Brian sambil tersenyum sinis ke arahnya."Lo keluar sekarang dan buang rokok lo atau gue aduin ke BK?!" ujar Lova emosi.Alis Brian terangkat dan terkekeh, "Aduin aja kalau berani,"
-"Benci aku sesuka kalian, sampai kalian sadar kalau kalian salah benci sama aku! Aku bukan orang selemah itu."-๐พ๐พ๐พBYUR!Baju Lova basah saat baru saja melangkah ke dalam kelasnya. Matanya terlihat dingin menatap orang yang berada di depannya. Dia melangkah maju dan merasa ingin mencekik Brian."MAKSUD LO APA GUYUR GUE!" teriaknya marah sambil menonjok Brian tapi tidak kena.Brian terkekeh sinis, "Harusnya gue yang tanya, maksud lo apa ngadu ke guru?"Lova terdiam dan menampilkan wajah tidak takut. Tangannya dia lipat di depan dadanya, "Kenapa? Lo sekarang takut'kan? Lagi siapa suruh nantang gue!" ujarnya yang membuat Brian semakin emosi."LO ITU!" tuding Brian.Lova menatap tidak takut. Sempat sejenak dia melihat ke sekeliling yang menampilkan tatapan tidak suka ke arahnya. Dia mengabaikan Brian dan berjalan ke luar kelas. Dia melangkah menuju koperasi untuk membeli seragam.Brian meninju tembok di sampingnya dan b
"Perlahan rasa itu muncul. Awalnya merasa sedikit hilang tapi semakin lama aku jadi ketergantungan. Ketergantunyan dengan kehadirannya."๐พ๐พ๐พLova membuka pintu rumahnya, dia melihat ayahnya sedang duduk di kursi ruang tamu sambil meminum segelas kopi. Jason melirik sekilas ke arahnya dan kemudian mengabaikan Lova.Napas Lova terhembus pelan, tidak ada sapaan, tidak ada pula interaksi kepedulian. Dia melangkah menuju kamarnya dengan raut wajah dingin seperti biasa. Jujur, dia ingin diperhatikan. Dia juga ingin punya tempat berkeluh kesah, ingin menyampaikan jika dia itu sedang sedih, sedang senang, atau berbagai perasaan yang sedang dia rasakan."EH ADA BABU!" teriak Rania sambil membawa berbagai paper bag belanjaan.Lova berhenti sejenak dan menoleh ke arah Rania, "Maksud lo apa?!" tanya Lova yang tidak terima dipanggil babu.Rania terkekeh sinis, "Daripada marah, sini bantuin nyonya bawa belanjaan!" suruhnya yang membuat Lova mengepalkan
"Kita kacau, sama-sama kacau. Hanya saja penyebab kacau kita berbeda, walau pasti rasa sakitnya sama saja."๐พ๐พ๐พElin datang ke rumah Bagas dengan penampilan kacau. Matanya bengkak dengan pakaian kotor terkena pasir pantai. Dia berdiri di depan pintu rumah Bagas."Gas, buka!" ujar Elin sambil mengetuk pintu rumah Bagas pelan.Bagas yang sedang menonton televisi itu mendengar suara sayup-sayup. Suara itu mirip dengan Elin, senyum terbit di bibir Bagas, "Kayaknya gue terlalu cinta sama Elin deh sampai suara dia sering kedengeran di telinga gue."Tok! Tok! Tok!"Gas, elo ada di rumah?" Suara Elin terdengar lirih sambil mengetuk pintu rumah Bagas sedikit keras.Bagas yang mengetahui Elin datang ke rumahnya itu melompat bangkit dari posisi rebahannya di kursi.Dia merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Bagas berjalan dengan gaya cool ke arah pintu. Dia membuka pintu dan terkejut saat Elin tiba-tiba memeluknya."Gas...
"Sepinya aku, sendirinya aku, tidak ada dari kalian yang tahu. Bahkan semesta terlihat berpaling layaknya aku hanya debu buangan."๐พ๐พ๐พ"Lova harus jadi perempuan kuat."Air mata Lova menetes tanpa dia sadari. Helaan napasnya pelan, tangannya dengan erat memeluk guling di dekapannya. Dia tertidur sambil menangis."Aku ingin hilang, pergi dari hingar bingar bumi yang tajam seperti karang lautan, di mana bisa menenggelamkan perahu layar.""Mama," ucap Lova yang mengigau dalam tidurnya."Jaga diri, mama pergi.""MAMA JANGAN PERGI! HAH!" teriak Lova lalu bangun dari tidurnya.Dia menyenderkan punggung di bantal dan menelungkupkan tangan di wajahnya. Perasaan tidak nyaman mulai menjalar, dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Takut, marah, kecewa, semua menjadi satu. Semakin dia berpikir, hanya pusing yang akan dia rasakan."Gue kuat!" tegas Lova berkali-kali pada dirinya. Bahkan, ribuan kali mungkin su
Rolan di seret hingga keluar dari bar. Gadis itu entah mengapa menjadi terlihat aneh di matanya. Kekehan sinis mulai keluar dari bibir Rolan untuk gadis yang menyeretnya itu."Ternyata sikap baik lo selama ini cuma akting ya, Bil!" sindir Rolan. Billa hanya tersenyum ketika mendengar ucapan Rolan."Heh, soal itu bukan urusan lo! Gue ke sini karena butuh bantuan lo!" balas Billato the point."Lo? Butuh bantuan? Kayaknya lo salah orang deh, lagian kita enggak pernah deket, jadi ya, ngapain juga gue bantuin elo," balas Rolan tidak tertarik membantu Billa."Gue berani dateng ke sini karena gue yakin elo bakal bantuin gue," ucap Billa yakin sembilan puluh lima persen jika Rolan akan membantunya."Sebegitu yakinnya elo? Hah, gue enggak punya waktu buat ngobrol sama lo lama-lama. Permintaan bantuan lo gue tolak!" putus Rolan kemudian berjalan meninggalkan Billa."LO BENERAN ENGGAK MAU TAHU PENYEBAB CERAINYA ORANG TUA LO KARENA SIAPA?