“Elo yakin bisa nyetir sendiri? Masih mabok gini?” tanya cemas seorang teman kepada Alanis.
“Bisa! Elo tenang aja. Daripada gue disusulin nyokap kesini,” jawab Alanis dengan suara setengah teler.
Alanis lalu berjalan sempoyongan lalu masuk ke dalam mobilnya. Tanpa bisa dicegah temannya.
Dalam perjalanan Alanis tidak fokus menyetir. Kepala dan tubuhnya tampak oleng, terayun ke kiri dan ke kanan akibat pengaruh minuman keras.
Mobil melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Laju mobil yang tak stabil, sama sempoyongannya seperti Alanis yang terus menggelengkan kepalanya menahan pusing.
“Pusing banget gue,” keluh Alanis.
Lampu merah tepat di depan Alanis. Tampak dua orang akan menyebrangi zebra cross.
Namun karena sudah benar-benar mabuk, mobil yang dikendarai Alanis tak tertahan lalu menabrak dua orang penyebrang itu.
“Arghh toloooong!” teriak kesakitan orang yang ditabrak.
Mobil banting setir ke kiri. Suasana tambah crowded, makin tak terkendali.
“Astaga! Gue nggak kuat banget!” jerit Alanis yang kini matanya setengah terpejam akibat sudah tak tahan lagi menahan pusing.
Di trotoar jalanan depan sebuah mall, orang-orang berlarian sambil berteriak panik saat mobil yang dikendarai Alanis melaju dengan kecepatan sangat tinggi menuju ke arah mereka.
BRAGHHH! Dua orang yang berlari paling belakang tertabrak oleh mobil itu.
Seorang wanita muda yang berhasil menghindar lalu berlari sambil berteriak menangis menuju ke salah satu jasad yang tergeletak yang tak lain adalah calon suaminya. Dia memeluknya erat, menangisi jasad itu yang langsung meninggal di tempat.
“ADAM TRESNOOOOOO!” jerit histeris wanita tersebut.
Beberapa hari setelah peristiwa kecelakaan tragis...
Sebuah koran tergeletak di atas kasur kamar motel terpencil pinggiran kota. Dalam headline koran tertulis,
[Kecelakaan tragis! Mobil menabrak 4 orang pejalan kaki hingga tewas. Pengemudi kabur!]
Di sudut lain kamar itu terdengar suara tangisan frustasi Alanis. Kepalanya masih diperban dan tampak juga beberapa bekas luka di bagian tubuh yang lainnya.
Alanis terisak dalam tangisnya mengingat kejadian itu. Tangannya memegang ponsel, lalu menelepon seseorang.
“Saya mau melaporkan pengemudi kabur yang menabrak empat pejalan kaki hingga tewas,” ucap lirih Alanis saat menelepon.
“Di mana? Dan apakah anda mengenalnya?” jawab tegas seorang pria dalam percakapan tersebut.
“Saya pelakunya...” ucap Alanis pasrah.
Sebulan kemudian di persidangan yang menyidangkan kasus tabrak lari dengan Alanis sebagai terdakwanya, hakim telah membuat keputusannya.
“Pengadilan memutuskan saudari Alanis Alami Prameswari dihukum 5 tahun penjara akibat kelalaiannya yang mengakibatkan empat orang tak bersalah kehilangan nyawanya.”
TOK...TOK...TOK...
Hakim mengetuk palu sidang tiga kali.
**
EMPAT TAHUN KEMUDIAN
Alanis baru saja melangkah keluar dari pintu penjara, BEBAS! Dia mendapatkan remisi karena berkelakuan baik selama menjalani masa tahanan.
Gadis itu berdiri sejenak, mengedarkan pandangan memperhatikan sekelilingnya. Di belakang tempatnya berdiri tampak plang tertulis “PENJARA WANITA KELAS 1”
Air mata Alanis lolos begitu saja saat menatap plang tersebut.
“Gue sekarang mantan narapidana. Gue enggak akan bisa hidup bahagia kayak dulu lagi,”
Batin Alanis menjerit, seolah ragu menatap masa depannya selepas keluar dari penjara.
Dari kejauhan seorang wanita tua berpenampilan lusuh berjalan mendekati Alanis. Dia berkali-kali melepaskan batuknya, wajahnya pun tampak agak pucat.
“Alhamdulillah Alanis, kamu bebas!” ucap wanita itu saat sampai di depan Alanis.
“Mama?”
Alanis yang baru menyadari kehadiran Ibunya langsung memeluk haru wanita tua itu.
“Mama sakit?” tanya khawatir Alanis saat mendengar batuk yang teratur keluar dari mulut ibunya.
“Dari sebelum kamu disini mama kan udah sering sakit seperti ini. Kamu dulu yang sering merawat dan ngomelin mama.”
Amartha, nama Ibu dari Alanis. Dia coba menenangkan anaknya, ingin terlihat baik-baik saja walau sebenarnya tubuhnya mengalami sakit yang lebih parah tanpa sepengetahuan Alanis.
Alanis celingukan menatap sekeliling, mencari sesuatu seperti masih ada yang ditunggunya.
“Papa mana, ma?” tanya bingung Alanis.
Amartha seketika bersedih. Dia lalu bercerita bahwa papa Alanis sudah meninggal saat Alanis masih dipenjara. Amartha sengaja menyembunyikan ini karena tidak ingin menambah beban bagi Alanis.
Alanis seketika menangis memeluk mamanya. Dia menyalahkan dirinya. Pasti Papanya meninggal gara-gara memikirkan dirinya. Belum lagi tragedi kecelakaan itu menimbulkan masalah lain bagi keluarganya yaitu harus membayar uang ganti rugi kepada korban meninggal yang jumlahnya sangat besar. Meski Alanis tidak diberitahu oleh Ibunya, dia sudah memperkirakan hal itu.
Bisnis keluarga Alanis pun bangkrut sampai-sampai harus menjual rumah besar mereka dan kini Amartha terpaksa hidup mengontrak di kawasan kumuh sambil bekerja serabutan.
“Kita pulang naik angkot ya?” tanya Amartha pada Alanis.
Hati Alanis bergejolak, dia masih trauma terhadap sebuah benda yang bernama mobil akibat peristiwa di masa lalunya.
Pada akhirnya Alanis memohon untuk tidak naik angkot. Dia dan Mamanya kini baru saja turun dari kereta di stasiun terdekat dengan tempat tinggal Amartha saat ini.
Saat menuju pintu keluar tubuh Amartha sempoyongan dan terjatuh di pelukan Alanis. Wanita tua itu pingsan.
“Mama!” jerit pelan Alanis.
Alanis mencoba cari pertolongan pada orang-orang yang lewat, mencoba meminjam ponsel untuk menelepon ambulance karena Alanis dan Amartha tidak memiliki ponsel.
Tak ada yang menolong mereka, takut serta waspada kalau Alanis dan Amartha cuma akting untuk menipu.
“Hari gini nggak punya handphone?”
Tiba-tiba seorang lelaki muda muncul dengan suara ketusnya dan langsung menggendong Amartha untuk membawanya pergi.
“Eh mau dibawa kemana Ibu saya?” Alanis kaget dan coba menghentikan lelaki itu.
“Ke rumah sakit!” jawab ringan lelaki itu.
Alanis hanya terpana. Saat ini dia memang sedang butuh bantuan meski masih meragukan lelaki yang menolongnya itu apakah dia orang baik atau jahat. Alanis hanya berharap lelaki itu benar-benar ingin menolongnya.
**
Saat menerima struk pembayaran dari petugas rumah sakit, Alanis terdiam bingung. Dia sama sekali tidak punya uang.
Dompet Mamanya pun sudah dia periksa, hanya ada beberapa lembar uang pecahan lima ribu. Alanis tak sengaja melirik ke arah lelaki misterius yang tadi menolongnya. Lelaki itu sebelumnya sudah pamit mau pulang.
Reaksi otak Alanis tiba-tiba mendorongnya untuk mengejar si lelaki.
“Maaf, mas. Saya boleh minta tolong lagi?” kata Alanis dengan sangat hati-hati.
Si lelaki melirik ke kertas tagihan yang dibawa Alanis. Dia seperti langsung paham maksud Alanis.
“Kamu ngerepotin aja! Tapi gantiin! Harus!” jawab santai si lelaki.
Meski kaget bercampur malu tak menyangka si lelaki itu tahu maksud Alanis memanggilnya lagi, tanpa pikir panjang Alanis langsung mengiyakan tawaran si lelaki itu.
Yang penting biaya rumah sakit ibunya terbayar dulu, begitu pikir Alanis.
Si lelaki langsung ambil struk dari tangan Alanis dan mengurus pembayaran di kasir. Tak lama dia kembali lagi menghampiri Alanis.
“Itu ada nomor telpon saya di bill-nya. Kalau sudah punya uang buat bayarnya, tolong hubungi saya.”
JLEBB! Hati Alanis merasa tertembak. Bagaimana bisa ada orang sebaik ini padahal baru saja bertemu dan sama sekali tidak saling mengenal.
Meski bicaranya ketus, wajah tampan si lelaki itu pun tak bisa membohongi naluri Alanis sebagai wanita.
“Perfect banget nih cowok!” puji Alanis dalam hatinya.
Si lelaki pamit mau pergi, Alanis menahannya lagi.
“Terima kasih banyak atas semua pertolongannya, mas. Oh iya nama saya, Alanis. Kalau masnya siapa? Biar enak nanti saya menghubungi kalau mau bayar hutang ini,” kata Alanis sembari memperkenalkan dirinya.
“TT!” jawab singkat si lelaki.
“Tetek?” ceplos kaget Alanis mendengar nama si lelaki.
Tangan Alanis pun reflek menyentuh dadanya sendiri.
“Bukan itu...” sambar si lelaki sambil menunjuk ke dada Alanis.
“TT. Huruf T dua kali!” lanjut lelaki itu.
*****
To be continue >>> 002
Di sebuah masjid di lingkungan perumahan mewah, Boril terlihat sudah berbusana muslim lengkap, bersiap untuk shalat Dzuhur berjamaah. Boril masih sibuk memainkan ponselnya baca-baca postingan orang sambil tersenyum-senyum sendiri“Siapa tahu abis shalat berjamaaah, doa-doa gue buat dapet pacar cewek cantik bisa terkabul! Nggak perlu jadi pacar boongan lagi buat si Alanis! Aamin… Aamiin… Aamiin ya robb… “Boril mengusap wajahnya serius berharap doanya terkabul. Seorang jamaah masjid akan segera iqomah, tanda shalat berjamaah akan dimulai.Akibat masih sibuk mainkan ponselnya, Boril ditegur sama jamaah lain.“Bang, udah komad! Simpen dulu dong hapenya!”“Iya iya bawel!” jawab Boril sebal sama si penegur.Boril menyimpan ponsel di saku baju kokonya. Boril masuk barisan menyusul para jamaah lain yang sudah duluan shalat lalu segera niat sholat bersamaan dia melakukan takbiratul ihram.“ALLAHU AKBAR…” ucap Boril dengan khusyu.Baru saja mau shalat dimulai, terdengar sayup-sayup suara ribut
Tresno agak menciut melihat Verawati sudah marah. Selalu begitu seperti sebelum-sebelumnya. Namun, dia pantang dan gengsi untuk menunjukkan kelemahannya di hadapan banyak orang kalau dia gentar menghadapi sang istri.“Saya akan lepaskan dia, tapi setelah dia bicara dengan mulutnya sendiri kalau dia sudah punya hubungan terlarang dengan si Bagus!” tegas Tresno.Verawati mendelik, dia tak terlalu terkejut. Dia sudah menduganya dari awal.“Kamu tahu dari siapa, mas?” tanya curiga Verawati.Tresno hanya tersenyum sinis. Verawati lalu melihat sosok Yanto di dekat Tresno, sosok yang tampak asing dimatanya.Verawati menduga orang itulah yang memberi tahu meski dia tak tahu apa hubungan orang itu dengan Alanis dan TT.Tresno lalu mengalihkan tatapan tajamnya pada Alanis.“Tapi jangan senang dulu setelah saya lepaskan! Hidup kamu di luar sana akan saya buat lebih menderita!” ancam Tresno pada Alanis.JRENG! Alanis makin ketakutan mendengar ancaman Tresno. Dia tahu Tresno bukan orang yang cuma
“ALAAANIIIIIIIIS!”Teriakan murka Tresno menggelegar di seisi rumah megah miliknya.Tresno melangkah cepat dengan wajah yang garang dan berhenti di ruang tengah rumah. Di belakang Tresno, ada Yanto yang mengekor disana.Imas dan beberapa pelayan berlarian menuju ke ruang tengah saat mendengar teriakan sang majikan. Mereka berkumpul dan menghadap dengan ekspresi wajah yang tegang.“Mana Alanis?” teriak Tresno bertanya pada para pelayannya.Semua pelayan diam, tak ada yang berani menjawab. Hanya saling pandang ketakutan dengan isyarat-isyarat wajah yang menggambarkan rona kekesalan dari kalimat yang sangat ingin mereka katakan.“Pasti si Alanis bikin ulah lagi! Dasar cewek pembawa bencana!” Begitulah kira-kira isi otak para pelayan saat ini.Saat semua terdiam, hanya Imas yang akhirnya berani menjawab pertanyaan Tresno.“Tadi saya suruh untuk bersihin gudang lama di lantai 4, pak.” Kata Imas dengan sangat sopan.“Panggil!” perintah Tresno.Imas menyuruh salah satu pelayan untuk segera m
Mendapat kabar tentang TT, Boril langsung pergi menuju bar sesuai informasi yang Boril terima. Dia di sambut hostes bar yang sebelumnya menemani TT minum dan yang juga menelepon Boril.Boril sempat melirik jahil pada penampilan menggoda si hostes. Dress ketat merah menyala di atas lutut dengan belahan dada terbuka plus tanpa lengan. Body-nya semok pula!“Kacau si TT mainnya sama yang bohai-bohai! Itu pantat tebel banget dagingnya! Tapi soal muka sih jauhlah menang si Alanis!” bisik pelan Boril.Ucapan Boril samar-samar terdengar oleh si hostes yang langsung melirik dan melempar senyum manis nan menggoda pada Boril.“Mau aku temenin minum, mas? Aku masih ada waktu sampai jam 3 malam nanti,” tanya ramah si hostes paada Boril.Boril langsung menyambar dengan gelengan kepalanya.“Langsung aja anter ke temen saya, mbak!” jawab rusuh Boril yang tampak ngeri langsung ditembak rayuan yang bisa saja membuatnya tergoda.“Gue mau tobat main cewek!” lanjut Boril bergumam sendiri, kali ini volume
Alanis tertunduk sembari menutup wajahnya. Tak tahu lagi harus berkata apa. Hanya bisa menyesali kenapa Yanto bisa begitu tega melakukan hal itu kepadanya.Boril memang tidak tahu siapa penyebab kematian kakak dari sahabat dekatnya karena dulu dia berada di Amerika bersama TT. Boril mengikuti sikap TT yang tidak ikut campur dalam urusan hukum tentang kasus kecelakaan tersebut.Meski ada rasa kaget dan juga kecewa bahwa ternyata penyebab kecelakaan itu adalah gadis yang ada di sampingnya, namun Boril tak bereaksi berlebihan. Hanya satu yang kini menjadi pertimbangannya untuk bersikap.“TT melupakan kecelakaan itu dan tulus menerima Alanis sebagai kekasihnya, berarti Alanis adalah gadis spesial. That’s All!” bunyi otak Boril menentukan sikapnya.Boril melebarkan senyumnya, manis saat menatap Alanis namun sinis saat memalingkan wajah kepada Yanto.“Yang justru lebih gue pengen tahu, Apa sih yang lo mau kasitau ke orang lain yang lo maksud? Dan siapa orang lain itu?”Yanto terperangah men
Masih terus berulang terdengar di telinga TT pertanyaan sang ibu yang baru saja dilontarkan. Tatapan TT pada Verawati tetap tak bergerak, sorot mata yang terarah pada wajah cemas sang ibu tampak sangat gelisah namun bercampur rasa harap.TT tetap terpaku dalam diam tanpa kata dan bahasa. Mulutnya rapat terkunci seolah tak yakin.Apakah sosok wanita yang sangat menyayangi TT itu akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat jika TT menjawab jujur pertanyaan yang tertuju kepadanya?“Kamu diam, berarti mami tahu jawabannya. Memang Alanis gadis itu,” ucap sang ibu lembut namun terlontar sangat yakin.Jantung TT makin berdetak kencang. Dia seakan tak punya celah untuk mengelak lalu melarikan diri dari situasi ini.Bibirnya kelu tanpa ada rasa ingin untuk menjawab walau sebenarnya dia bisa saja menyangkal apa yang diyakini oleh Verawati.“Kalau tidak bisa, tidak perlu menjawab. Mami sangat tahu kamu dan sangat mengenal kamu, nak. Apa arti gurat cemas di wajah kamu itu, mami sudah paham,” ccap Vera