Lolita masih terjaga sampai jam yang menempel di dinding menunjukkan angka tiga pagi. Dia mendesah pelan. Lolita tidak bisa terlelap karena ada yang mengganggu pikirannya.
Dia kemudian meraih ponselnya yang ada di meja nakas, mengetikkan sesuatu di sana. Dan pipi Lolita kembali dipenuhi semburat merah.
Lolita menatapi video-video dewasa yang muncul di layar ponselnya. Dia penasaran dengan apa yang Edgar dan wanita asing itu lakukan semalam. Sebab selama ini Lolita terus menutup diri dari hal-hal yang ayahnya anggap tabu. Ayahnya selalu mengelak setiap kali Lolita bertanya. Sampai akhirnya Lolita memilih diam tanpa menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Rasa penasaran Lolita semakin bertambah saat melihat teman-temannya bermesraan, dan melakukan hal yang tidak senonoh secara terang-terangan di dalam kelas. Mereka berkata jika bercinta sungguh nikmat dan rasanya seperti kupu-kupu beterbangan di perut. Bahkan ada yang bilang jika rasanya seperti menemukan surga. Lolita dianggap terlalu cupu karena tidak tahu nikmatnya bercinta. Memangnya benar senikmat itu? Lolita mengerutkan dahinya tak mengerti.
Kerutan di dahinya memudar, tergantikan binar di matanya saat melihat salah satu adegan di video. "Wah… ini seperti yang Om lakukan semalam," ucap Lolita yang kemudian terkejut saat video mulai berputar karena suara mendesah wanita di dalam video begitu keras.
Lolita buru-buru mengecilkan volume ponselnya. Dia menghentikan video, mengambil earphonenya, dan kembali melanjutkan menonton. Begini lebih baik, daripada Edgar yang tidur di kamar sebelah mendengarnya dan berpikiran yang tidak-tidak tentang Lolita.
Lolita tak berkedip saat melihat seorang pria yang melucuti pakaiannya sendiri, lalu bergabung dengan wanita yang tidur di atas ranjang tanpa pakaian. Pria itu membalikkan tubuh si wanita dan menusukkan miliknya yang besar dan menantang ke lubang si wanita. Si wanita menjerit, kemudian mendesah nikmat. Napas keduanya tersengal-sengal, dan keringat memenuhi tubuh keduanya.
"Sepertinya di sini semakin panas," tukasnya berderap menaikkan angka pada pendingin ruangan. Lolita duduk lagi di tepi tempat tidur. Selagi video masih berputar, Lolita mencoba memasukkan jarinya ke dalam miliknya.
"Ah…" Lolita mengatupkan bibirnya rapat agar desahannya tidak terlepas lagi. Jari lentiknya semakin cepat mengocok miliknya, sampai gelombang kenikmatan datang. Lolita roboh di atas kasur dengan tangannya yang dipenuhi cairannya yang lengket.
Lolita menatap tangannya dengan bergidik. Dia dipenuhi perasaan bersalah. Ayahnya selalu memperingatkan Lolita untuk tidak dipengaruhi oleh nafsu, karena nafsu itu menyesatkan. Dan sekarang, baru saja Lolita tenggelam dalam nafsunya sendiri.
Lolita berlari ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Dia harus menyembunyikan hal ini dari ayahnya. Dia tidak mau membuat orang yang teramat dia cintai itu kecewa.
***
"Lolita!" Edgar sudah berdiri di depan kamar Lolita dengan berbalut setelan jas hitam rapi. Dia hendak memberikan uang untuk Lolita. Seperti biasanya, Edgar selalu meninggalkan uang agar Lolita bisa membeli makanan, daripada gadis itu berkutat di dapurnya dan menimbulkan masalah lagi."Lolita, sekarang sudah jam tujuh pagi dan kau masih belum bangun, huh?!" teriak Edgar setelah mengetuk pintu kamar Lolita berulang kali, tapi tak juga mendapatkan sahutan.
Edgar hendak mengetuk lagi, tapi tangannya yang sudah terangkat berhenti bergerak begitu Lolita membuka pintu.
"Iya, Om. Ada apa?" Lolita mengucek matanya dengan kedua tangan, lalu menguap. Rasa kantuk masih menghinggapinya karena dia tidak tidur sama sekali.
Edgar melempar uang kepada Lolita. "Aku akan berangkat sekarang. Kau bersihkan apartemenku, tapi jangan sekali-kali masuk ke kamarku. Kau mengerti?!"
Lolita berhasil menangkap uang lima puluh dolar dari Edgar. Dia lalu mengangguk paham. "Baik, Om."
Edgar melangkah pergi, tapi dia berbalik untuk memberikan peringatan kepada Lolita. "Ingat! Jangan merusak benda-bendaku! Dan jangan menimbulkan masalah lagi selama aku bekerja!"
"Baik, Om." Lolita mengangguk sekali lagi. "Om, tenang saja."
Meski, Edgar tidak yakin Lolita bisa melewati satu hari tanpa merusak satu benda pun, tapi dia tetap harus bergegas pergi ke perusahaan sekarang. Asisten yang juga bekerja sebagai sekretarisnya sudah menunggu di area parkir apartemen elit yang Edgar tinggali. Dan Edgar sudah memiliki janji dengan investornya pagi ini.
Edgar turun ke lantai bawah dengan menaiki lift. Dia berjalan tegas dan cepat setelah pintu lift terbuka, menuju pria yang sedang berdiri di samping mobilnya.
"Franklin, kita berangkat sekarang!" tukas Edgar begitu dia sudah berada di depan asistennya.
Pria bernama Franklin itu memberikan salamnya terlebih dahulu dengan cara membungkukkan tubuhnya, kemudian menjawab, "Baik, Tuan."
Franklin dengan sigap membukakan pintu untuk Edgar, kemudian dia menyusul masuk. Sejurus kemudian, mobil yang mereka tumpangi sudah menyatu dengan kendaraan lain di jalanan kota New York yang cukup padat.
Franklin melirik ke arah spion yang ada di atasnya, tuannya yang duduk di bangku belakang terlihat lelah dengan lingkaran gelap tercetak di sekitar kedua matanya.
"Anda kesulitan tidur lagi, Tuan?" tanya Franklin memecah keheningan di mobil.
"Ya," jawab Edgar singkat tanpa menatap Franklin. Dia sibuk berkutat dengan ponselnya.
"Apa gadis kecil itu yang membuat Anda sampai kelelahan seperti ini, Tuan?" tanya Franklin lagi, diiringi tawa kecilnya. Di balik wajah datarnya, Franklin memiliki sifat yang hangat dan tidak jarang melontarkan celetukan untuk menggoda tuannya.
Kali ini Edgar menarik turun ponselnya dari pandangannya dengan jengah. Dia tahu ke arah mana pembicaraan Franklin. Asistennya itu pasti mengira dirinya juga menggauli Lolita. Padahal Lolita bukanlah tipenya. Meski, gadis itu cantik, tapi bagi Edgar dia hanyalah bocah kecil. Tidak lebih!
"Franklin! Kau pikir aku sudah gila apa?! Masih banyak wanita di luar sana. Kenapa juga aku bercinta dengan bocah itu!" balas Edgar dengan emosi yang tersulut. "Dia bahkan lebih pantas menjadi anakku!"
-Bersambung-
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang