Novan tengah duduk di kursinya sambil berkirim pesan pada Rini sambil tersenyum-senyum. Dia baru saja mengetikkan balasan untuk pesan Rini sebelumnya.
'Kalau memang benar, artinya Pak Roy sedang dalam masalah. Sahara akan merajuk dan wajah Pak Roy akan tegang sepanjang hari. Itu artinya pekerjaan kami juga semakin berat di sini. Sebentar lagi Pak Roy mungkin akan keluar ruangan.’
Lalu Novan mendongak karena suara pintu ruangan Roy terbuka.
“Van, ambil mobil dan antar aku pulang.” Roy mengetuk meja kerja Novan yang berada sederet dengan meja Letta. "Mana Herbert?” Tatapan Roy tertuju pada Letta.
“Herbert sedang keluar bersama staf khusus mengurus lahan makam mertua Anda, Sir. Seperti perintah Anda kemarin, tempat itu akan dipagar agar terlihat batasnya.”
Roy mengangguk pada Letta, lalu tatapannya beralih pada Novan yang sudah berdiri dan siap melangkah menuju lift.
“Ada masalah di rumah dengan istri Anda, Sir?” tanya Novan, berjal
“Jadi … masalah kita sudah selesai?” tanya Roy, masih berlutut di depan Sahara. Kedua tangan mereka masih bertaut dan Sahara menunduk memandanginya. Sepertinya masih ada sesuatu yang akan wanita itu sampaikan. “Sewaktu ke sini tadi, sepertinya aku mau marah-marah. Tapi kenapa sekarang aku malah menyetujui hamil tiga anak? Kamu selalu bisa mengakaliku, Pak Roy.” Roy tertawa, mencubit pelan pipi Sahara dan mengusapnya. “Aku tidak mengakalimu. Itu hanya sebuah kesepakatan. Tidak perlu dalam jangka waktu dekat ini, yang paling penting kita sudah sepakat. Semoga adik Sabina laki-laki,” ujar Roy. Seperti dihipnotis, Sahara mengikuti ucapan Roy, “Semoga adik Sabina laki-laki,” ulangnya, menautkan tatapan ke mata cokelat Roy yang berbinar menatapnya. Laki-laki di depannya itu memang licik sekali, pikir Sahara. Harusnya dia tadi marah-marah dan menghajar Roy. Nyatanya dengan begitu mudah dia luluh hanya dalam hitungan menit. “Sudah se
“Novan … aku dan istriku mengucapkan selamat atas kelahiran putra pertama kalian,” ucap Roy, menggeser sebuah kotak besar yang dibungkus kertas warna-warni. “Ini pilihan istriku,” sambungnya lagi. “Tapi anak kami sudah lahir dua bulan yang lalu dan Anda sudah memberi cukup … banyak,” cetus Novan dengan raut heran, menatap kado besar yang baru disodorkan Roy . “Akan lebih bijaksana kalau hal itu tidak sampai ke telinga istriku. Kalian cukup menerima ini dan mengatakan sudah menerimanya tanpa mengatakan kapan kalian menerimanya? Bagaimana? Bisa dimengerti?” Roy menatap Novan dan Rini bergantian. Sepasang suami istri itu mengangguk. “Besok siapa yang menjemput Anna dan keluarganya?” tanya Rini. “Aku sudah mengutus Herbert dan Letta yang mengurus soal itu. Aku tidak menugaskan Novan karena aku memahami kondisi dan situasinya sebagai ayah baru. Dalam hal itu … aku tetap lebih senior,” cetus Roy. M
Seperti kehamilan Sahara sebelumnya, Gustika melarang anak dan menantunya bertanya soal jenis kelamin pada Dokter Kandungan. Gustika mengatakan tidak adil jika mereka memilih-milih jenis kelamin anak yang akan dilahirkan. Karena baginya lelaki atau perempuan sama saja. Meski Gustika sendiri tidak melarang keputusan Roy untuk meminta Sahara melahirkan anak laki-laki buatnya. Sudah bulan Januari, langit sedang gemar mencurahkan hujan deras. Gejala kedinginan Sahara sudah hilang dua bulan yang lalu. Sekarang permasalahan Sahara adalah permasalahan kebanyakan wanita. Berat badan. Roy memberinya segala macam makanan yang harus dikonsumsinya setiap hari. Tak boleh ada yang terlewat. Dengan tinggi lebih dari 165 sentimeter, Sahara sudah resah dengan penambahan berat badannya yang hampir menyentuh dua puluh kilo di usia kandungan delapan bulan. Hujan di pagi hari membuat Sahara semakin terbenam di bawah selimut dan merapatkan tubuh pada Roy yang
“Kenapa pusarnya belum lepas juga? Sebelumnya pusar Sabby hari kelima udah lepas, kan? Aneh …,” gumam Sahara yang berbaring di sebelah bayi keduanya.“Pusar Sabby lepas di hari ketujuh, Sayang …. Dan ini baru hari kelima Elle berada di rumah,” sahut Roy dari balik meja kerjanya.“Ternyata hari ketujuh …,” gumam Sahara. “Tapi sepertinya Elle lebih banyak menyusu ketimbang Sabby. Dia bisa menghabiskan 60 mililiter tiap dua jam.” Sahara mengusap pipi Elara yang baru tertidur di ranjang.“Sabby bisa menghabiskan 80 mililiter tiap dua jam,” sambung Roy lagi seraya bangkit dari kursi dan pergi menghilang ke ruang ganti.“Ternyata Papa lebih tahu banyak hal soal kalian dibanding Mama. Mama jadi malas mengatakan apa-apa di dekatnya. Mama seperti sedang ujian lisan. Papa kalian terus-menerus mengoreksi,” bisik Sahara
“Ini rumah kamu?” tanya Roy di depan sebuah rumah besar saat menghentikan mobilnya.“Ini bukan rumahku, ini hanya kos-kosan eksklusif yang aku bayar bulanan. Aku belum sekaya itu untuk bisa beli rumah sebesar ini.” Shelly tertawa kecil.“Maaf—maaf, aku sangka … orang tua kamu … maaf,” ucap Roy, melemparkan tatapannya keluar kaca mobil untuk menghilangkan kegugupannya. Di dalam kegelapan mobil, wanita yang dikiranya sombong dan memilih-milih pria untuk berkenalan di event tadi, ternyata malah memperhatikannya lebih dulu.“Enggak apa-apa … jangan langsung ngerasa enggak enak begitu.” Shelly menarik ujung lengan jas Roy agar di sebelahnya itu kembali santai. Hatinya berbunga-bunga karena Roy berinisiatif mendatanginya dan mengajak berkenalan. Hal positif yang bisa disimpulkannya adalah, bahwa Roy belum memiliki kekasih.
Ternyata semua tingkah Dony tidak berakhir sampai di sana. Shelly mendapatkan kontrak membintangi produk pakaian dengan jumlah besar dan pria itu kembali berulah. Kali itu uang Shelly hanya cukup untuk membayar seorang pengacara untuk meringankan hukuman Dony dan pria itu tetap harus mendekam di penjara selama sembilan bulan dengan pidana kepemilikan narkoba. Dalam sembilan bulan itu kehidupan Shelly sedikit lebih tenang. Percintaannya dengan Roy menjadi lebih serius dan mereka semakin dekat. Melewati tahun kedua hubungan mereka, Roy yang sudah menyelami perusahaan ayahnya mulai menemui kejanggalan-kejanggalan soal kematiannya pria itu. Sampai suatu hari Shelly dan Roy berdebat karena Roy bersikeras pergi ke Brasil untuk mencari Lucio Spencer. “Kamu ngapain berangkat ke sana? Untuk apa? Ayahmu udah lama meninggal dan bertahun-tahun kamu hidup tenang.” Shelly duduk di balik meja kerja Roy dan menyilangkan tangan di depan dadanya.
Shelly terpaku sesaat karena bentakan Roy. Pria itu tidak pernah marah padanya. Roy selalu manis dan berbicara lembut. Roy seperti orang lain setelah kembali dari Brasil. “Apa? Apa aku enggak salah dengar? Ulangi apa yang kamu katakan barusan.” Shelly mendekati meja Roy perlahan. “Tidak. Tidak salah dengar. Aku sudah merasa cukup dengan hidup si berengsek yang selalu kamu bela itu. Kenapa aku harus selalu tahu soal dia? Kenapa kamu tidak merasa perlu bertanya soal keadaanku? Apa yang terjadi selama aku di sana? Apa yang kuhadapi? Kenapa selalu aku yang harus lebih dulu mendengar soal Dony? Apa menurutmu semua yang kulakukan itu untuk Dony? Bukan, Shel …. Itu karena aku mencintai kamu. Aku tidak memikirkan soal Dony sedikit pun.” “Kenapa kamu tiba-tiba jadi begini?” “Tiba-tiba? Apa kamu tidak cukup peka akan keadaanku sekarang? Aku menyisihkan banyak uang yang harusnya bisa kupakai untuk kemajuan perusahaan ini untuk Dony. Apa kamu nggak hitung jumlahn
Tak bisa disangkal lagi bahwa malam itu Thomas benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Shelly. Sedangkan Shelly, yang tidak pernah melihat Roy menatapnya seperti Thomas menatapnya ikut terhanyut, terkesima dan … penasaran. “Kalau kamu adalah sekretaris Tuan Smith, artinya kamu bertemu dengannya setiap hari, kan?” tanya Thomas. “Tentu saja. Tuan Smith adalah atasanku.” “Oh, maaf … karena aku sangat terpesona padamu, aku jadi lupa tujuan kita bertemu. Apa yang mau kamu sampaikan?” Thomas tersenyum tulus. “Perusahaan kami sedang di ambang kehancuran. Beberapa kali Pak Roy gagal dalam proyeknya. Kami, para karyawannya sedikit khawatir dengan hutang perusahaan. Aku mau memohon … urungkan niat Anda berinvestasi. Biarkan Pak Roy menyelesaikan masalah internal kami lebih dulu. Maaf, kalau aku terlalu lancang. Tapi aku merasa harus berbuat begini demi perusahaan.” “Aku tidak akan melanjutkan investasi kalau kamu tidak menghendakinya. Dan … aku mau jujur padamu.” Thomas menat