Ternyata semua tingkah Dony tidak berakhir sampai di sana. Shelly mendapatkan kontrak membintangi produk pakaian dengan jumlah besar dan pria itu kembali berulah. Kali itu uang Shelly hanya cukup untuk membayar seorang pengacara untuk meringankan hukuman Dony dan pria itu tetap harus mendekam di penjara selama sembilan bulan dengan pidana kepemilikan narkoba.
Dalam sembilan bulan itu kehidupan Shelly sedikit lebih tenang. Percintaannya dengan Roy menjadi lebih serius dan mereka semakin dekat. Melewati tahun kedua hubungan mereka, Roy yang sudah menyelami perusahaan ayahnya mulai menemui kejanggalan-kejanggalan soal kematiannya pria itu. Sampai suatu hari Shelly dan Roy berdebat karena Roy bersikeras pergi ke Brasil untuk mencari Lucio Spencer.
“Kamu ngapain berangkat ke sana? Untuk apa? Ayahmu udah lama meninggal dan bertahun-tahun kamu hidup tenang.” Shelly duduk di balik meja kerja Roy dan menyilangkan tangan di depan dadanya.
Shelly terpaku sesaat karena bentakan Roy. Pria itu tidak pernah marah padanya. Roy selalu manis dan berbicara lembut. Roy seperti orang lain setelah kembali dari Brasil. “Apa? Apa aku enggak salah dengar? Ulangi apa yang kamu katakan barusan.” Shelly mendekati meja Roy perlahan. “Tidak. Tidak salah dengar. Aku sudah merasa cukup dengan hidup si berengsek yang selalu kamu bela itu. Kenapa aku harus selalu tahu soal dia? Kenapa kamu tidak merasa perlu bertanya soal keadaanku? Apa yang terjadi selama aku di sana? Apa yang kuhadapi? Kenapa selalu aku yang harus lebih dulu mendengar soal Dony? Apa menurutmu semua yang kulakukan itu untuk Dony? Bukan, Shel …. Itu karena aku mencintai kamu. Aku tidak memikirkan soal Dony sedikit pun.” “Kenapa kamu tiba-tiba jadi begini?” “Tiba-tiba? Apa kamu tidak cukup peka akan keadaanku sekarang? Aku menyisihkan banyak uang yang harusnya bisa kupakai untuk kemajuan perusahaan ini untuk Dony. Apa kamu nggak hitung jumlahn
Tak bisa disangkal lagi bahwa malam itu Thomas benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Shelly. Sedangkan Shelly, yang tidak pernah melihat Roy menatapnya seperti Thomas menatapnya ikut terhanyut, terkesima dan … penasaran. “Kalau kamu adalah sekretaris Tuan Smith, artinya kamu bertemu dengannya setiap hari, kan?” tanya Thomas. “Tentu saja. Tuan Smith adalah atasanku.” “Oh, maaf … karena aku sangat terpesona padamu, aku jadi lupa tujuan kita bertemu. Apa yang mau kamu sampaikan?” Thomas tersenyum tulus. “Perusahaan kami sedang di ambang kehancuran. Beberapa kali Pak Roy gagal dalam proyeknya. Kami, para karyawannya sedikit khawatir dengan hutang perusahaan. Aku mau memohon … urungkan niat Anda berinvestasi. Biarkan Pak Roy menyelesaikan masalah internal kami lebih dulu. Maaf, kalau aku terlalu lancang. Tapi aku merasa harus berbuat begini demi perusahaan.” “Aku tidak akan melanjutkan investasi kalau kamu tidak menghendakinya. Dan … aku mau jujur padamu.” Thomas menat
Kembali dari toilet, Roy memeluk bahu Shelly. Mereka semua sudah berada di meja dan dua orang investor sedang berbisik-bisik. “Kenapa wajah kamu pucat?” tanya Roy dalam bisikan. Shelly menggeleng dengan senyum tipis. Percakapan malam itu hanya berkisar soal rencana-rencana proyek. Sangat jelas terlihat bahwa wajah Thomas terlihat tidak berkonsentrasi. Sedangkan Roy, masih sangat berapi-api membicarakan bisnisnya. “Sepertinya mereka benar-benar tertarik berinvestasi,” ujar Roy di perjalanan mereka kembali dari pertemuan. “Investor itu, yang bernama Edward. Dia mengajakku keluar. Dia mendesakku bertemu di luar. Dia nggak sopan. Apa aku dikiranya wanita penghibur untuk memenangkan tender ini? Sebagai bayaran karena mereka menanam begitu banyak modal?” “Maafkan aku. Ini semua salahku. Harusnya aku nggak mengajakmu bertemu dengan mereka. Lain kali kamu boleh tinggal.” “Kamu juga sepertinya lupa udah janji mau bantu aku cari kakak laki-lakiku. Dia baru keluar dari pusat rehabilitasi da
Saat itu apa yang diinginkan Shelly hanya satu. Jangan sampai Roy tahu apa yang dilakukannya terhadap keuangan The Smith’s Project. Dia hanya butuh uang untuk Dony. Hanya Dony satu-satunya keluarga yang bisa dia percayai. Akhir-akhir ini Roy sering membuat Shelly kecewa. Roy sesungguhnya tak pernah menyukai kehadiran Dony. Tapi dia sudah telanjur memakai uang perusahaan dan butuh waktu untuk menggantinya. Dia sudah menandatangani kontrak dengan beberapa produk untuk itu. Di sisi lain, perkenalan dengan Thomas dalam beberapa hari membuat hati Shelly sedikit goyah. Thomas jelas lebih kaya dan juga tampan. Tak ada salahnya menikah dengan pria itu. Yang salah adalah dia harus mengkhianati Roy yang mencintainya. Dan makan malam itu menghancurkan semua hal. “Kau berbohong … kau tetap menjalankan investasi itu,” lirih Shelly. “Semua masa depan Roy tergantung dari apa langkahmu selanjutnya.” Sorot di mata Thomas tak berubah. Muram, kecewa, bercampur amarah yang disamarkan. “Bagaimana den
Sudah merendahkan dirinya sebegitu rupa hanya untuk memiliki seorang wanita, kini mendapatkan penghinaan. Thomas memperkosa Shelly berkali-kali dalam keadaan tak sadarkan diri. Mencoba semua hal yang bisa dia lakukan dengan tubuh Shelly yang begitu memabukkannya. Thomas menelungkupkan Shelly dan memasuki tubuhnya dari belakang. Wanita itu mengerang.“Thomas … sudah. Aku sangat lelah. Maafkan aku-maafkan aku. Ini sakit, Thomas … kumohon. Ini sakit sekali.” Shelly merintih saat merasakan kejantanan Thomas menekannya dari belakang.“Kudengar, yang pertama selalu sakit.” Thomas sudah membenamkan dan mengayun di belakang tubuh Shelly. Wanita itu tak berdaya untuk melawan. Suara erangan dan isakannya menjadi satu. Thomas tetap melanjutkan aksinya. Percintaan itu berlangsung selama sejam dan Shelly kembali tidur karena kelelahan dan eksploitasi berlebihan di tubuhnya.Thomas bangkit dari ranjang untuk meraih ponsel Shelly. Melihat pesan Roy yang bertanya di mana kekasihnya. Thomas lalu merai
“Ya, Tuhan …. Bu, apa ibu mendengar apa yang dikatakan Papa dua anakku barusan? Kenapa dia tiba-tiba menjadi begini? Aku sudah dua tahun berkuliah di sana dan semuanya aman-aman aja. Enggak pernah ada masalah,” jelas Sahara pada ibu mertuanya. “Tidak ada masalah sebelum mahasiswa pindahan dari Amerika itu datang ke kampusmu. Dia dari Amerika, kan? Usianya dua puluh empat tahun dan dia sedang meneruskan program magisternya. Terlalu klise alasan dia harus berhenti di depan ruangan kamu untuk mengobrol. Dia tak ada kepentingan di sana. Aku sudah menyelidiki semuanya, Sayang.” Roy mengedikkan bahunya seraya memasukkan roti ke mulut. “Ya, ampun. Apa aku harus mengusirnya tiap datang dan mengajakku bicara. Lagipula tidak ada hal penting yang kami obrolkan. Dia ke ruanganku karena adik kandungnya kebetulan sekelas denganku,” jelas Sahara. “Semakin berbahaya. Bisa saja dia banyak bertanya soal kamu pada adiknya. Datang ke sana menemui adiknya jelas hanya alasan. Mereka bisa bertemu di ruma
Hari itu Roy mengenakan jas rangkap tiga. Model klasik yang sangat dia sukai karena ibunya mengatakan kalau dirinya terlihat seperti bangsawan Inggris berambut cokelat tiap mengenakan model jadi itu. Di balik jas ada rompi yang membungkus kemeja putihnya dengan sangat pas. Pagi tadi pilihannya jatuh pada jas abu-abu muda disertai sapu tangan sutera berwarna krem yang terselip di saku jasnya. Dengan sepatu kulit mengkilap berwarna cokelat yang mengetuk lantai tiap dia melangkah, Roy yakin akan membuat pandangan wanita atau pria akan tinggal lebih lama untuk mengamatinya. Universitas swasta mahal yang terdiri dari tembok-tembok tinggi dingin dan lorong-lorong panjang tampak tidak terlalu ramai siang itu. Kehadirannya menyeruak kerumunan mahasiswa yang bergerombol-gerombol dengan cepat menarik perhatian. “Ruangannya masih sama, kan?” tanya Roy pada Novan yang berjalan di sebelahnya. “Masih, Sir.” Novan menegapkan langkahnya. Menyadari kalau mereka sudah menjadi pusat perhatian di sana
Suara-suara di lorong seakan teredam oleh langkah kaki Sahara. Pandangannya menunduk terfokus pada kakinya yang berbalut heels. Tangan kanannya masih memeluk lengan Roy. Dan pikirannya berlarian ke mana-mana. Melirik sekilas raut wajah Roy, membuat perjalanan menuju mobil terasa berkali lipat jauhnya. “Udah makan?” tanya Sahara saat dia sudah duduk bersisian dengan Roy di jok belakang. Sahara melirik Novan yang sepertinya memutuskan bungkam selama berada di dekat mereka. “Sudah,” jawab Roy. Singkat sekali, pikir Sahara. Biasanya Roy pasti akan kembali bertanya apakah dia sudah makan atau belum. Ternyata hari itu adalah pengecualian. Sahara mengatupkan bibir, melirik tangan Roy yang bertengger santai di atas lututnya sendiri. Biasanya laki-laki itu tak akan melepaskan genggaman tangan mereka. Sepertinya dia harus bergerak lebih dulu untuk melunakkan hati Roy. Tangan sahara bergerak perlahan, menyusuri paha Roy dan mengusap lengan pria itu. Pelan tapi pasti menautkan jemari mereka. R