Roy merasa wajah Sahara sedikit berbeda dengan saat dia tinggalkan tadi. Saat berangkat tadi, gadis itu memang masih cemberut. Tapi kekesalannya hanya tersisa sedikit. Namun kini mata indah itu kembali memandangnya dengan kilat amarah.
Apa sesulit ini memiliki seorang istri? Roy mengatur mimik wajahnya seramah mungkin. Sedikit mengisyaratkan pada Sahara kalau mereka sedang berada di depan para rekan bisnisnya. Tak ingin semua pria di hadapannya berjabat tangan dengan Sahara, Roy langsung berpamitan.
"Baiklah, karena hari ini kita semua pasti sama sibuknya. Saya pamit untuk berangkat lebih dulu. Pagi tadi saya sudah menjanjikan sesuatu pada istri saya. Dan kalian pasti tahu, kalau aku tak mau menerima akibat amarahnya.” Roy terkekeh.
Semua pria yang berada di sana mengangguk setuju. Roy mengangguk dan mendahului para rekan bisnisnya. Irma bersama dua orang legal staff menaiki lift utama untuk mengantarkan semua tamu
Di belahan dunia lain. Thomas terbangun dari tidurnya karena suara telepon. Telepon dari Edward yang tidak pernah melihat jam saat menelepon. Masih sangat pagi. “Berita yang kau sampaikan harus penting,” geram Thomas di telepon. “Sangat penting,” sahut Edward di seberang. “Aku sudah rapat bersama dengan para petinggi perusahaanmu di Indonesia. Spencer Hotel & Apartemen sepertinya collapse. Sangat berat untuk bertahan. Ada dua perusahaan yang awalnya menawarkan untuk proses akuisisi. Aku sudah cukup lega. Tapi dua perusahaan itu tiba-tiba membatalkan. Katanya hotel itu terlalu ketinggalan zaman dan manajemennya buruk. Dan kau tak mau melakukan penyuntikan menambah investasi,” jelas Edward. “Bagaimana aku mau menambah investasi ke sana kalau aku tidak bisa memasuki negara itu?” geram Thomas. “Ada satu perusahaan yang menawarkan untuk membeli hotel itu. Tapi harganya sangat rendah.
“Pak, Bu Irma baru saja mengirim email dan memberitahu kalau empat perusahaan baru sudah berdiri. Kita juga sudah memasukkan penawaran sesuai angka yang Bapak berikan.” Novan berbicara di depan pintu mobil yang baru dibukanya untuk Roy. “Irma selalu cekatan,” sahut Roy sedikit tercenung. “Malam nanti kita pasti sudah menerima berita. Aku akan memainkan pion catur dari rumah. Aku masuk ke dalam dulu, Novan. Terima kasih kabar baiknya.” Roy menggandeng Sahara masuk ke lobi mall. “Om yakin mau nonton?” tanya Sahara sedikit tak yakin. “Kenapa? Kamu mau kita pulang saja dan bercumbu? Aku memang lebih suka hal itu,” jawab Roy tersenyum. Sahara berdecak. Roy tertawa, lalu memeluk pinggang Sahara. “Hari ini aku akan menemanimu ke mana pun. Aku sedang menebus kesalahanku. Aku juga mau sepulang dari sini, kita singgah di toko bunga dan meletakkan buket di makam pengasuhm
Di Indonesia sudah malam hari. Roy menggunakan piyama suteranya dan duduk menyilangkan tangan di depan dada. Sebuah kursi besi yang ditempatinya sesekali berputar saat pikirannya sedang berkerja. Rencana untuk mengambil alih hotel milik keluarga Spencer sudah disusunnya selama tiga tahun terakhir. Di masa kejayaannya, hotel itu adalah hotel bintang lima terbesar di lokasi emas dekat pantai. Dulunya orang memerlukan waktu jauh-jauh hari untuk bisa mendapatkan kamar di hotel yang bertuliskan nama Spencer sangat besar di puncaknya itu. Selama menjalankan rencananya, Roy memasukkan orang-orangnya untuk menggantikan manajemen lama, satu-persatu. Posisi pertama yang menjadi targetnya saat itu adalah bagian personalia. Thomas yang tidak pernah lagi berani menginjak Indonesia, lengah akan kontrolnya pada hotel itu. Di lain sisi, Roy memang tidak tahu siapa-siapa saja yang dikirim oleh Thomas untuk mengawasi perusahaannya.
Sudah pukul sepuluh malam. Harusnya Sahara sudah makan, pikir Roy. Gadis itu masih merajuk dan tololnya, dia juga lupa menanyakan soal makan malam karena terlalu antusias menghadapi Thomas. Dia lagi-lagi mengabaikan Sahara. Oh, tidak. Ini bukan mengabaikan, batinnya. Lebih tepatnya menunda untuk mempedulikan gadis itu. Apa Sahara sudah tidur? Kenapa pesannya belum juga dibalas? Roy turun dari ruang kerjanya dan menyeberang ruangan menuju tangga kamar Sahara. Pintu kamar gadis itu tertutup. “Sahara,” panggil Roy. Dia mengetuk dua kali. Tak ada sahutan. Kemarin-kemarin rasanya dia biasa-biasa saja saat menerobos masuk ke sana. Entah kenapa sekarang dia merasa sedikit lancang, kalau melakukan hal itu. Roy mendekatkan telinganya ke pintu dan tak mendengar apa pun dari dalam. Dia memutar handle dan mendorong pintu kamar. Ternyata kosong. “Rara,” panggil Roy, menjengukkan kepalanya ke dala
“Sekarang … aku sudah boleh menciummu?” Roy menyentuhkan hidung mereka. Sahara memalingkan wajahnya untuk kembali menatap dua potong brownies. Dari sudut matanya, dia bisa melihat kalau Roy belum memalingkan wajah. “Aku ngantuk, mau tidur.” Sahara menggeser duduknya, namun belum beranjak. “Oh, mengantuk?” Roy menatap Sahara dengan tatapan kecewa. Ternyata sulit sekali menjinakkan gadis itu. Dia kembali menghela napas dan melempar pandangan ke seberang dapur. Di sana tergantung lukisan murah yang dibelinya dari seorang pelukis jalanan di Italia. Sahara kembali mencuri pandang pada Roy. Membiarkan tatapannya naik perlahan-lahan dari kerah piyama dan berhenti di rahang tegas yang ditutupi bayangan gelap bekas bercukur. Beberapa waktu lalu, dia mengingat penampilan Roy yang sangat keras dengan sorot mata yang menatapnya sinis. Malam itu, dia menangkap profil Roy di ba
“Sebelumnya aku mau bicara,” kata Sahara. Ini lebih buruk daripada kata-kata manis. Bagi Roy, lebih berbahaya saat wanita ingin bicara. Entah kenapa itu membuat kuduk lebih meremang ketimbang ditodongkan sebuah senjata di mulutnya. Kenapa wanita tidak bisa membiarkan tindakan saja yang bicara? Andai saja dia bisa mengatakan hal itu pada Sahara. Oh, tidak. Dia tak boleh mengacaukan suasana. Dia sedang menggendong gadis itu menuju kamarnya. “Apa yang mau dibicarakan?” tanya Roy. Mereka telah tiba di kaki tangga. Sahara menyelipkan segumpal rambutnya ke belakang telinga. Dia merasakan detak jantung Roy di dekat telinganya. Suara napas laki-laki itu menghela kasar ketika mulai menaiki tangga. “Aku bertanya sekali lagi, apa yang ingin kamu katakan? Apa kamu mau mengakui kalau sekarang sudah mencintaiku?” tanya Roy. “Kamu mungkin bisa berbohong dengan berkali-kali mengatakan
“Rara, kamu terlalu cantik sampai menyakitkan hatiku. Dan sekarang, sepertinya aku sudah menyakiti diriku sendiri.” Roy membelai pipi Sahara. “Kamu sangat wangi ….” Mata Roy terpejam, membenamkan jarinya semakin dalam. Sahara mengerang dan menelengkan kepalanya. Menelan ludah dengan susah payah. Sekarang dia malah terlena dan menikmati tiap sentuhan Roy. Tak sadar Sahara merintih. Jemari Roy menyusur semakin dalam dan menemukan celahnya untuk masuk. Membelai kelembutan miliknya yang sudah membengkak. Masuk satu inci, kemudian semakin dalam. Sahara merasakan sensasi yang penuh di dalam dirinya. Ibu jari Roy menemukan titik sensitif di sana, lalu mengitarinya dengan nakal. Belaian pada bagian terkecil itu dalam waktu singkat membuat Sahara bergerak gaduh. Dia menggerakkan pinggulnya menyambut tiap gerakan jari Roy. Dia semakin menyukai cara telapak tangan Roy menyentuh ringan kewanitaannya. “Kamu menyukainya?” tanya Roy dengan lembut. “Kam
Remang cahaya kamar tak membuat pandangan Sahara mengabur. Dia bisa melihat dengan jelas Roy berjalan dengan balutan handuk yang tersangkut di pinggulnya, menyeberang dari kamar mandi menuju lemari besar yang menyatu dengan dinding. Sahara berbaring menyamping dengan dua tangannya di bawah kepala sebagai penumpu. Memandang sosok tegap Roy dengan seksama.Mereka baru saja mandi bersama. Roy mengangkatnya lebih dulu dari bath tub dan membiarkannya berpakaian lebih dulu. Sementara pria itu sepertinya membutuhkan waktu sedikit lebih lama di kamar mandi. Setelah mengakui perasaannya, Sahara memutuskan untuk masa bodoh dengan penilaian Roy. Mustahil untuk tidak jatuh cinta, pikirnya. Dia membenci pria itu, tapi dia juga menyukai semua perlakuan Roy padanya. Selain mengigau menyebut nama perempuan lain dan selipan foto di dalam buku, sikap Roy sangat sempurna.Roy melepaskan handuknya di depan kaca tinggi yang memantulkan bayangan dengan j