Setelah Roy pergi, Irma bangkit dari kursi dan masuk ke ruangan atasannya. Ia memutari ruangan itu, mengamati segala benda yang terletak di sana. Apa yang membuat Roy membatalkan janji rapat penting untuk kembali ke rumah.
Secara singkat, Irma mengetahui penyebab atasannya pulang pasti berkaitan dengan istrinya. Tapi, Roy tak pernah terlihat sangat panik seperti itu. Irma memandang apakah ada perubahan pada ruangan Roy. Lalu mata Irma tertuju pada letak tong sampah di sebelah meja Roy yang sedikit bergeser. Dia berjalan mendekati tong sampah dan menekan pijakannya dengan ujung sepatu.
Irma memungut selembar foto dan melihatnya. Foto Roy dan Shelly. "Ternyata benar dugaanku. Kau masih menyimpan salah satu fotonya." Irma menggenggam foto itu dan membawanya keluar.
Lima tahun yang lalu saat Roy mengganti dokternya, Irma diminta dokter itu memastikan bahwa Roy tak ada lagi menyimpan apa pun yang berkaitan dengan Shelly.
“Tapi foto itu memang sudah kubuang,” ucap Roy.Alisnya bertaut memandang Sahara. Bagaimana cara membuat gadis muda di depannya percaya? Apa dia harus meminta Irma kembali mencari foto itu? Apa Sahara merasa perlu memusnahkan foto itu sendiri? Tak mungkin, pikirnya. Dia sudah bertahun-tahun mengatakan pada Irma kalau dia sama sekali tak ada menyimpan apa pun yang berkaitan dengan Shelly. Meminta Irma mencarinya lagi akan membuat sekretarisnya itu melontarkan tatapan penuh cemooh padanya.“Sudahlah. Makan itu dulu. Ini pertama kali aku masak,” ucap Sahara, menunjuk mangkok yang baru diletakkannya.“Oke—oke, aku makan sekarang. Kamu duduk di sini,” pinta Roy, menarik kursi tinggi di dekatnya dan menuntun tangan Sahara agar duduk.Clara yang sedang membersihkan kompor dan peralatan bekas masak, berbalik menatap Roy. Namun ternyata Roy sadar akan hal itu. Dia men
“Aku malu. Turunin.” Sahara menepuk bahu Roy. Tapi pria itu tak mempedulikannya. Terus berjalan menuruni tangga dan kembali naik menuju kamarnya di sisi depan rumah.Roy membuka pintu dengan bahu. Berjalan menuju ranjang dan meletakkan Sahara di sana. “Sudah sampai. Jadi aku turunkan.” Roy menghela napas dan merapikan jasnya.“Aku nggak ngambek, Om. Kadang-kadang aku perlu waktu sendiri," ujar Sahara."Tunggu. Tenanglah duduk di sana sebentar.” Roy meraih ponselnya dari dalam saku jas. “Aku mau melihat email yang baru dikirimkan Novan.” Roy menggulir layar ponselnya. Menekuni foto-foto pernikahan yang dia juga sudah lupa seperti apa. Tak ada satu pun foto yang diambil di saat mereka tersenyum dan melihat kamera bersamaan.Salah satu foto terbaik yang bisa dicetak atau diberikannya pada Sahara adalah foto saat dia menyerahkan sebentuk cincin pada gadis i
Tok Tok TokNovan mengetuk pintu kamar Rini yang terletak di bagian depan bangunan khusus penginapan pegawai. Rini muncul di ambang pintu dengan rol rambut menjuntai di atas bahunya.“Foto kemarin? Udah selesai?” tanya Novan, melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Rini.“Yang bilang kamu boleh masuk siapa?” tanya Rini pada kekasihnya. Dia kembali ke dalam dan kembali duduk di depan meja rias.“Jangan dingin banget. Aku kangen. Pak Roy sekarang lebih banyak diam. Ngomong ke aku cuma seperlunya aja. Kamu jangan ikutan kaya gitu.” Novan merebahkan tubuhnya di ranjang Rini.“Hari ini Sahara kuliah hari pertama. Gadis itu keliatan happy banget. Aku bisa bayangin perasaannya. Berminggu-minggu mengurung dirinya di bangunan depan dan sekarang akhirnya dia bakal punya kehidupan lagi.” Rini memandang Novan dari pantulan kaca cerminnya.
“Ini foto yang Anda minta, Pak.” Novan berdiri di sisi kiri Roy dan menyodorkan bingkai foto besar yang dibawanya dari kamar Rini.Roy menoleh pada suara langkah kaki yang datang mendekat. Sahara baru turun dari kamar. Gadis itu kembali mengenakan pakaian casual. Blus ketat dengan jaket jeans di atasnya. Juga celana panjang yang membuat Sahara terlihat seperti ABG.“Selamat pagi, Pak Novan,” sapa Sahara dengan ceria. Sudut matanya sempat melirik sekilas pada Roy yang sedang memperhatikannya.“Fotonya sudah selesai dicetak. Mau ditaruh di mana?” tanya Roy, memandang Sahara. Tangannya mengangkat tepian bingkai foto itu demi menunjukkan hal yang dibicarakannya.“Oh, udah selesai? Aku mau liat,” ucap Sahara, memutari meja makan dan berhenti di sebelah Roy. Dia lalu sedikit berjongkok memandang foto pernikahannya.“Mau ditaruh di m
“Kenapa bukan Rini yang memberi kabar? Kenapa bukan Sahara? Mereka punya ponsel. Harusnya mereka bisa mengabariku langsung.” Novan meracau seperti orang linglung.“Setidaknya kau bisa diam di belakang sana. Jangan buat kepalaku meledak. Harus cepat—kita harus cepat tiba di sana,” gumam Roy, memandang spion kanan dan kiri bergantian agar bisa cepat menerobos jalanan.Roy memotong kendaraan di depannya secepat yang bisa dia lakukan. Matanya dengan gesit berpindah antara ponsel yang dicampakkannya ke jok dan jalanan di depan.“Novan!” teriak Roy. “Sadar!” Sepuluh menit lagi kita sampai,” seru Roy menoleh ke belakang sekilas.Novan menegakkan tubuhnya. Sesaat tadi perutnya mual. Membayangkan mobil sedan ditabrak truk trailer yang rodanya bahkan tak bisa dihitung. Suara pengemudi tadi … suara pengemudi tadi terdengar sangat lemah. Bagaiman
Perjalanan yang ditunggu memang selalu terasa sangat lama. Biasanya jalan tol tak sepadat itu. Kendaraan tidak seramai itu. Hari itu semuanya terasa salah bagi Roy.Sudah tak terhitung berapa kali Roy mengendurkan dasi yang semakin lama terasa semakin mencekiknya. Mengingat bagian belakang mobil yang ringsek dan Sahara duduk di bagian itu, Roy tak berani membayangkan luka apa yang diderita gadis itu.Apa ini Thomas? Apa lawan bisnisnya yang lain? Mata Roy memerah karena amarah dan luka di hatinya seakan kembali dikupas. Kalau terjadi sesuatu pada Sahara, apa pun sesuatu itu, dia akan ikut mati. Dia pasti akan mati.Keringat terasa mengaliri punggungnya. Perut yang sudah lama tak dirasanya mual, terasa kembali bergejolak. Papan nama rumah sakit besar terlihat di kejauhan. Roy menekan pedal gas dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah melompat dari mobil dan berteriak di depan Instalasi Gawat Darurat.&
Roy meninggalkan lorong ruang operasi masih sambil melihat ponselnya. Berita yang diterimanya beberapa saat yang lalu, supir asli truk itu ditemukan tak sadarkan diri tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar di ruas jalan tol yang sama.Sedangkan supir palsu suruhan yang telah mencelakai banyak orang, segera melarikan diri sesaat menabrak sedan hitam yang ditumpangi Sahara dan Rini. Sudah jelas, seseorang pasti menjemputnya usai kecelakaan itu dengan kendaraan berbeda. Eksekutornya ada tiga orang. Pengemudi truk, dan dua orang pengemudi ambulans palsu yang juga melarikan diri.Tak perlu waktu lama. Staf khusus yang memang sudah lama dibentuk Roy di bawah perusahaannya menemukan ke mana supir truk palsu itu. Staf khusus berhasil melihat kamera pengawas cctv di pintu masuk tol yang memuat mobil SUV hitam yang mengikuti truk trailer dengan jarak cukup dekat.“Lokasi minum-minum di pinggiran kota?” gumam Roy, m
“Apa yang dikatakan Irma, Van? Dia sudah bangun? Bagaimana keadaannya?” Roy bertanya membabi-buta saat masuk ke dalam mobil.“Sahara belum bangun. Dia sedang berada di ruang pemulihan. Saya akan menuju rumah sakit secepat mungkin. Tapi sesudah itu saya minta izin mendampingi Rini. Saya juga mau ke rumah sakit. Pagi tadi saya baru melamarnya, Pak,” ucap Novan tanpa menoleh. Dia berharap Roy tidak terlalu menunjukkan keterkejutan.“Kamu baru melamarnya? Dampingi dia Novan, dampingi dia.” Roy kembali menatap jalan di depannya.Apa yang harus diucapkannya pada Novan? Selamat? Rasanya ucapan itu kurang berempati saat-saat ini. Novan baru melamar kekasihnya dan kekasihnya langsung kecelakaan beberapa saat kemudian. Jangan sampai Novan memiliki kisah percintaan semiris yang dia alami.“Terima kasih, Pak. Untuk asisten merangkap ajudan Anda, saya sudah memilihnya. Mu