Share

Bab 2: Pelarian yang menyiksa Luca.

Sarah dan Luca terpaku, tetapi sebelum pria itu bisa bereaksi, Luca melompat ke depan, menendang pria itu ke dinding.

Pria itu lalu menerima tendangan sekali lagi dari Luca sehingga dia pingsan. Mereka berdua berlari menjauh, meninggalkan pria itu terduduk dan pingsan.

"Ayo, pergi!"  teriak Luca, giliran dia menarik tangan Sarah.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui lorong-lorong yang gelap, berusaha menghindari semua yang mencurigakan.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di luar gedung tersebut, di belakang barisan toko-toko kecil yang tertutup.

"Kita harus menemukan tempat berlindung," kata Luca, tetap berpegangan pada luka tembakannya. "Mereka tidak akan berhenti mencari kita."

Sarah memikirkan sebentar sambil melihat wajah Luca yang sudah sangat pucat, lalu mengangguk. "Aku punya seorang teman, seorang dokter yang tinggal di dekat sini. Dia bisa membantu dengan luka tembakmu. Kita singgah ke sana terlebih dahulu."

Luca mengangguk dan membiarkan Sarah yang mengarahkan jalan untuk mereka lalui.

Mereka melanjutkan perjalanan ke rumah teman Sarah, memasuki apartemen kecil yang tertutup rapat.

Teman Sarah, Emily, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan rambut cokelat gelap, terkejut melihat mereka berdua.

"Sarah, apa yang terjadi? Siapa pria ini?" tanyanya dengan gemetar.

Sarah memberikan penjelasan singkat tentang kejadian di restoran dan luka tembakan yang diderita Luca. Emily adalah seorang dokter hewan. Dia tidak pernah menangani luka pada manusia, apalagi luka peluru.

"Sarah, kamu sudah gila. Aku tidak pernah menangani luka pada manusia, apalagi ini luka tembak!" Dokter Emily berkata di balik kacamata tebalnya dengan nada tinggi dan menatap tajam ke arah Luca.

"Tolonglah dia, Emily. Kata mendiang Ayahku, sebagai manusia, kita harus saling tolong-menolong, apalagi kamu sebagai dokter yang mengerti .... "

"Sudah-sudah ceramahnya. aku menyerah! akan kubantu!" sahut Dokter Emily dengan wajah tidak suka. Ia sangat anti bila Sarah sudah mulai menyebut petuah dan nasehat dari mendiang ayahnya.

Dokter Emily segera membantu Luca dengan luka tembakannya, membersihkan dan menjahitnya. Memberikan obat bius sehingga ia dapat mengeluarkan peluru dari bahunya.

Setelah menyelesaikan pengobatannya, Emily mengusir mereka dengan halus.

"A-aku takut terlibat terlalu jauh. Sepertinya kalian harus mencari tempat lain untuk berlindung," ucap Dokter Emily tanpa berniat berbasa-basi lebih lama.

Sarah dan Luca mengerti perkataan Emily. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya.

Dokter Emily segera membersihkan ruangannya agar tidak meninggalkan jejak apapun.

"Eh, ini apa? Astaga, aku salah menyuntikkan obat bius! Ini obat biusnya. Lalu yang tadi itu apa?"

Dokter Emily menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jangan bilang itu obat perangsang untuk kuda yang akan kawin silang besok pagi di perternakan Pak John!" pekik Dokter Emily sambil menepuk kepalanya dengan keras.

"Astaga, gadis polos itu dalam bahaya besar!"

Dokter Emily berusaha menghubungi ponsel milik Sarah, tetapi hanya jawaban dari mesin yang dia terima.

"Gawat."

***

"Sialan," gumam Luca dengan napas yang terengah-engah. "Kita terjebak dalam masalah besar kalau tidak menemukan tempat untuk bersembunyi. Aku mulai merasa aneh!"

"Aneh? Apa maksudmu?" Sarah merasa cemas, tetapi dia juga tahu dia tidak bisa meninggalkan Luca dalam keadaan seperti ini.

"Sepertinya obat penahan nyeri yang diberikan Dokter tadi tidak cocok untuk tubuhku," sahut Luca sambil memegang area tengah dadanya yang berpacu dengan kencang.

"Mari kita tidak memikirkan hal itu. Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Mengapa mereka mengejarmu?"

Luca menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku adalah  seorang anggota mafia, Sarah. Mereka adalah rival kami. Itu sebabnya mereka ingin membunuhku."

Sarah terkejut mendengar pengakuan Luca. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan terlibat dengan seseorang seperti Luca. Namun, dia tahu bahwa mereka harus bekerja sama jika ingin bertahan hidup.

Malam itu, mereka merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Akhirnya Sarah menyembunyikan Luca di apartemennya, yang berada di lantai bawah.

"Sementara kita di sini dulu. Tempat ini tidak mewah, tetapi bisa untukmu memulihkan tenagamu. Lihat, wajahmu pucat sekali," ucap Sarah sambil membantu Luca berbaring di ranjang kecil miliknya.

Apartemen yang kecil dan sedikit kumuh dengan beberapa perabotan sederhana, tetapi Luca tidak memperhatikan semua yang berada di dalam ruangan tersebut. Melainkan ada sesuatu keanehan dalam dirinya yang sedang melanda.

Dadanya terasa panas dan keringat mulai keluar sebesar butiran jagung. Luca merasakan tubuhnya mulai memanas, padahal tubuh itu baru juga terpapar hujan.

Sarah mengambil sebuah ember berisi air dan sebuah handuk kecil.

"Kamu mau aku membantumu membersihkan tubuhmu atau kamu bisa melakukannya sendiri? Aku juga butuh mandi." Sarah menyodorkan handuk yang dipegangnya.

"Aku bisa sendiri," jawab Luca lalu menerima handuk dan ember tersebut.

"Ini pakaian tidur milik Abangku. Dia tidak akan pulang sebelum akhir pekan. Mudah-mudahan cocok di tubuhmu karena kalian seharusnya sama tinggi."

Sarah meletakkan pakaian tidur di ranjang lalu melangkah menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

"Ya, sudah. Aku mandi dulu daripada jadi ikutan sakit karena terkena hujan," ucap Sarah sambil lalu.

Luca menatap kosong pintu kamar mandi yang sudah tertutup.

"Kurang ajar!" Dokter Emily itu sepertinya memberikan obat perangsang bukan anestasi!" geram Luca sembari melihat bagian sensitif miliknya yang sudah mulai bereaksi.

Luca bersusah payah menahan gemuruh di dalam dadanya. Mengelap tubuhnya yang penuh dar*ah dan berganti pakaian.

Saat Sarah keluar dari kamar mandi, Luca masih belum selesai memakai kemejanya.

"Waduh, kamu sangat atletis. Lihat perut berkotak milikmu," ucap Sarah berdecak kagum lalu duduk di samping ranjang dan menyentuh otot  perut milik Luca sambil sebelah tangannya mengeringkan rambutnya yang masih basah.

Sentuhan tangan dari gadis tersebut membuat darah Luca makin berdesir.

"Jangan sentuh aku!" pekik Luca sambil menepis tangan Sarah dan melayangkan tatapan tajam.

"Astaga, galak kali terhadap penolongmu!" Sarah menaikkan sudut bibirnya lalu bergerak menuju ke belakang untuk mengambil minuman.

Luca masih tetap berjuang memakai kemeja dengan rasa sakit di bagian bahunya.

"Mau kubantu?" tanya Sarah yang sudah kembali dengan segelas air minum dan menyodorkannya kepada Luca.

Luca menggeleng pelan. Napasnya makin menderu dan kepalanya mulai terasa pusing. Luca segera melahap habis minumannya.

"Hei, cuaca begitu dingin, mengapa keringatmu banyak sekali?" tanya Sarah dengan mimik curiga.

Belum sempat Luca menjawab pertanyaan Sarah. Terdengar suara kekacauan di luar apartemen.

"Astaga, jangan katakan mereka sudah berhasil melacakmu sampai di sini?" Sarah bertanya dengan ragu lalu berusaha mengintip di balik jendela.

"Luca, gawat! Mereka beneran sudah sampai di sini! Ayo kita pergi!" teriak Sarah lalu menarik tangan  Luca untuk berdiri dan keluar dari apartemen.

Luca merenung sebentar, lalu berkata, "Sepertinya kita harus keluar dari kota ini, Sarah. Aku punya seorang teman yang bisa membantu kita. Dia tinggal di luar kota, tetapi kita membutuhkan mobil."

Sarah mengangguk setuju lalu berkata, "Aku punya mobil!"

Mereka tahu bahwa pelarian mereka akan penuh bahaya, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.

Pertemuan tak terduga mereka adalah awal dari petualangan yang tak terduga dan berbahaya, dan mereka harus bekerja sama untuk bertahan hidup.

Sarah meraih kunci mobil milik Abangnya lalu bergegas menuju ke mobil dengan menarik Luca.

Tubuh mereka yang bersentuhan sepanjang perlarian mereka, membuat Luca semakin tersiksa.

Mereka telah meninggalkan apartemen Sarah dan sekarang berada dalam perjalanan untuk keluar dari New York City.

Sarah membimbing Luca ke mobil milik Abangnya yang terparkir di sebuah gang kecil di belakang gedung apartemen. Mereka harus menyelinap keluar dari kota tanpa terdeteksi oleh musuh Luca yang masih tidak menyerah dalam mencari mereka.

Luca berinisiatif mengendarai mobil karena Sarah hanya memiliki ketrampilan membawa sepeda.

"Astaga, baru ingat, sepedaku tertinggal di restoran."

"Tidak masalah. Aku akan menggantikan dengan yang baru," jawab Luca sambil menahan nyeri pada pangkal pahanya.

Luca menggelengkan kepalanya dan berusaha memusatkan konsentrasi pada jalan yang dilalui mobil tersebut. Namun, obat yang tak sengaja diberikan Dokter Emily semakin menyiksanya.

Sesekali Luca melirik ke arah Sarah dan mencuri lirikan ke bagian dadanya.

"Aargh!"

Sarah terkejut karena Luca menampar dirinya sendiri.

"Eh, kamu kenapa? hati-hati bawa mobilnya!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yani Zainum
agak acak acakan thor,,cb lebih di teliti lagi.alurnya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status