Hujan deras membasahi jalan-jalan gelap New York City saat Sarah berusaha keras mengguncangkan payungnya yang rusak.
Mantelnya basah oleh semburan air genangan mobil yang melintas ketika dia memutuskan untuk mencari perlindungan dari hujan yang semakin lebat.
Sepeda yang sudah usang juga tidak bekerja sama dengan baik. Ponsel jadul miliknya yang tidak memiliki signal.
"Ban sepeda tua ini malah bocor! Kurang ajar!" pekik Sarah dengan kesal. Masih ada 2 kotak makanan yang harus diantarnya, tetapi Sarah tidak bisa menemukan alamat yang jelas dan hujan tidak membantu sama sekali.
Dengan tergesa-gesa, dia melangkah menuju pintu sebuah restoran mewah yang seakan memancarkan kehangatan di tengah badai.
"Mungkin aku bisa meminta bantuan di restoran ini, setidaknya menghubungi majikanku," gumam Sarah lalu membuka pintu masuk.
Begitu dia memasuki restoran itu, suasana berubah secara drastis. Di dalam restoran, lampu-lampu redup menyoroti seorang pria dengan setelan jas mewah yang duduk di sebuah meja, tetapi keadaan yang lebih mengejutkan adalah bahwa meja itu dikelilingi oleh pria-pria bertubuh besar dengan wajah serius.
"Eh ..."
Terlalu terlambat untuk mundur, Sarah merasa ketegangan memenuhi ruangan. Kedua netra milik gadis cantik berusia 19 tahun itu membola.
Di ujung meja, di antara pria-pria yang mungkin saja anggota mafia, pria itu, Luca, sedang berdebat keras dengan salah satu dari mereka. Kata-kata berubah menjadi aksi ketika Luca tiba-tiba menarik pistol dari balik jasnya.
Dorr!
Suara tembakan menggelegar di dalam restoran yang tiba-tiba hening. Sarah berdiri membeku, mata terbelalak, dan tanpa sadar berlindung di balik pilar terdekat.
Luca, terkena tembakan di bahunya, jatuh ke lantai dengan gemetar. Darah merah gelap menyebar di atas mantel putihnya.
"Luca!" teriak salah satu pria di sekitar meja, berusaha mendekatinya, tetapi beberapa pria menahan dan memblokir jalannya.
Sarah, sekarang tak tahu harus berbuat apa, posisinya paling dekat dengan Luca. Dia berpikir harus segera menolong pria itu.
Secepat kilat langsung meraih jas hujan dan berlari mendekati Luca yang terluka. "Kamu tertembak, kita harus keluar dari sini!" katanya panik.
Dia mencoba menopang Luca yang kesakitan, dan pria-pria di sekitarnya, terlalu terkejut oleh apa yang baru saja terjadi, hanya bisa menatap dengan bingung. Mereka saling menatap karena gadis ini sedang merenggang nyawa.
Ini adalah pertemuan yang mendebarkan antara Sarah dan Luca, yang tanpa sengaja membawa mereka bersama dalam situasi berbahaya.
Sarah menarik tangan Luca, melintangkan tangan Luca ke bahunya, mencoba untuk memindahkan pria yang terluka itu. Luca gemetar, tetapi dia masih bisa berjalan walau dia sendiri bingung terhadap tindakan gadis yang tidak dikenalnya sama sekali.
Mereka melintasi lorong restoran yang sepi menuju pintu belakang, menghindari perhatian yang semakin ramai. Hujan masih deras, tetapi itu tidak terlalu penting sekarang.
Saat mereka mencapai pintu belakang, Luca mendengus pelan. "Siapa kamu?" tanyanya dengan suara parau dan wajah yang pucat.
Dar*h mengalir dari bahunya yang tertembak.
"Namaku Sarah, pengantar makanan," jawab Sarah dengan cepat. "Kita harus keluar dari sini, cepat!"
Gadis yang berani itu bergerak cepat dan berusaha untuk menolong pria yang tidak dikenalnya itu.
Mereka memasuki lorong sempit yang dipenuhi tong sampah dan barang-barang lain yang tidak terpakai.
Sarah membantu Luca menutupi luka tembakannya dengan handuk kecil miliknya. Ada suara langkah kaki mendekat di lorong itu, membuat mereka berdua merinding.
"Kita tidak bisa keluar dari sini," kata Luca dengan napas terengah-engah. "Mereka akan menemukan kita." Luca menahan tangan Sarah yang masih hendak menariknya.
Sarah merenung sebentar, lalu menunjuk pintu kecil di sisi lorong. "Ada tangga ke bawah di sana. Aku tahu jalan tikus di bawah, kita bisa melarikan diri dari sana."
"Jalan tikus?"
Luca sedikit heran atas perkataan dan keberanian wanita ini, dia pun setuju, dan mereka menyelinap ke bawah menggunakan tangga sempit menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi.
Ruangan itu gelap, hanya terang oleh sinar bulan yang samar-samar masuk melalui jendela tinggi. Di tengah ruangan, Sarah membantu Luca duduk di atas lantai yang dingin.
"Kamu pasti tahu bahwa mereka akan mencari kita, seharusnya kamu meninggalkanku di sana saja," kata Luca dengan rasa cemas karena secara tidak sengaja sudah melibatkan gadis yang tidak bersalah.
Sarah mengangguk, wajahnya memancarkan kebingungan. "Kenapa kamu ada di sini? Apa yang terjadi? Mengapa mereka bermain senjata? Apakah kamu adalah polisi? atau kamu adalah penjahatnya?" tanya Sarah dengan bingung.
Luca menaikkan sudut bibirnya lalu menggeleng pelan, raut wajahnya tertutup. "Itu bukan ceritanya sekarang. Yang terpenting, bagaimana kita bisa keluar dari sini tanpa terlihat oleh mereka?"
Mereka mendengar suara langkah kaki di atas, yang semakin mendekat. Sarah menatap Luca, lalu ke jendela tinggi di dinding.
"Kita harus naik ke atap," kata Sarah dengan cepat. "Jendela ini menuju atap restoran. Mungkin kita bisa melarikan diri dari sana."
Luca mengangguk, dan mereka berdua berusaha berdiri. Luca mengerang karena rasa sakit di bahunya, tetapi dia tetap tegar. Mereka berdua berhasil mencapai jendela itu dan dengan hati-hati memanjat ke atap restoran.
Di atap, hujan yang deras masih terus turun. Mereka merasa angin dingin dan basah menusuk kulit mereka. Tanpa sengaja, Luca melirik cetakan bagian dada Sarah yang sudah basah kausnya karena hujan.
Luca menelan salivanya dengan susah payah. Bukannya menutup dirinya sendiri yang sudah basah, Sarah malah mengambil mantelnya yang setengah basah dan membungkuskan ke sekitar tubuh Luca.
Luca memang sedikit gemetar karena menahan nyeri sekaligus dingin. Namun, pria itu terharu dengan tindakan yang dilakukan oleh Sarah. Wanita itu tidak mengerti sekejam apa Luca dalam kehidupan sehari-harinya.
"Mari kita pergi," kata Sarah sambil mengarahkan pandangan ke sekitar atap.
Mereka melihat sekelompok pria di bawah, mencari-cari mereka. Luca dan Sarah harus bergerak dengan hati-hati, bersembunyi di balik tiang besar dan peralatan atap.
Luca menatap Sarah dengan ekspresi yang terkejut. "Kamu tidak perlu terlibat dalam ini," katanya dengan suara lembut.
"Kamu bisa pergi."
Sarah menggelengkan kepala tegas. "Aku sudah terlibat, Luca. Namamu, Luca bukan? Dan kita harus keluar dari sini bersama-sama."
Mereka terus merayap di atap, mencari jalan keluar yang aman, sambil berharap bisa melewati situasi yang semakin berbahaya.
Pertemuan tak terduga mereka telah mengubah nasib mereka, dan mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ayo, jangan lembek sekali jadi pria. Kamu bisa!" Sarah memberi semangat lalu merangkul Luca, menopang tubuh setinggi 180 cm itu di bahunya yang lebih pendek.
"Lembek?" Luca menatap tajam ke arah Sarah, tetapi wanita itu malah melihat ke arah lain dengan serius. Mencari jalan keluar.
Mereka merayap di atap yang licin, mencari tempat yang aman untuk melompat turun ke jalan. Hujan semakin deras, membuat langkah mereka semakin berat.
Sementara itu, pria-pria yang mencari mereka semakin mendekat. Terdengar derap langkah yang cukup serempak.
"Astaga, mereka kok cepat sekali," geram Sarah. Rambut Sarah sudah basah seluruhnya. Rambut berkepang dua yang basah itu malah menambah kecantikan alami dari wajahnya.
Luca menatap wanita pengantar makanan itu dengan lirikan tajam. Seandainya mereka bertemu dalam kondisi normal, Luca mungkin akan menelan gadis itu bulat-bulat.
"Kita harus menemukan jalan keluar segera," kata Luca dengan napas terengah-engah. "Mereka akan mengejar kita."
Sarah mengangguk, mata cemasnya memindai sekeliling atap yang gelap. Tiba-tiba, dia melihat tangga besi yang turun ke bangunan sebelah. "Ayo, Luca, ada tangga ke sana. Kita bisa mencoba melarikan diri lewat sana."
Luca setuju, dan mereka melompat ke tangga besi, merasa dingin yang menusuk kulit mereka.
Mereka turun dengan hati-hati, langkah demi langkah, hingga mencapai lantai yang lebih rendah.
Tiba-tiba, pintu darurat terbuka di depan mereka, dan seorang pria keluar dengan sigap.
"Ha ha ha, kalian tertangkap!" Suara pria bertubuh besar itu menggema di ruangan terbuka seiring petir yang menggelegar.
Taman yang indah, hijau dan luas tempat pernikahan Luca dan Sarah akan dilaksanakan.“Bunga ini seharusnya diletakkan disana,” ucap Bunga menunjuk ke arah panggung. Pemain musik dan penyanyi sudah disiapkan dan sedang mengalunkan beberapa lagu mellow .Acara akan dilakukan dengan mewah tanpa kehadiran pemuka agama. Karena Castello pasti tidak bersedia hadir untuk merestui pernikahan mereka. Castello masih menentang dengan keras pernikahan Luca. Castello masih merasa terganggu dengan masa lalunya terhadap Kanya. Cinta pertama yang tidak dapat dimilikinya.“Meja untuk menandatangani Akte pernikahan sudah dihias dengan indah,” ucap Bunga kepada Bob.“Baik, terimakasih, Sayang,” jawab Bob sambil memberikan kecupan kecil di kening Bunga kemudian ia beralih sibuk mengurus hal yang lain.Segala jenis makanan yang menggugah selera sudah disusun rapi disepanjang taman.“Bikin lapar,” gumam Bunga sambil
Tidak ada yang tahu bahwa Luca pulang untuk menyelesaikan semuanya. Dia berada di rumah saat ini dan Sarah berada dalam pelukannya“Luca,” sapa Sarah dengan suara kecil.“Hmm…” Terlihat Luca sudah mulai mengantuk. Sarah terdiam tidak ingin melanjutkan pertanyaan yang ingin diutarakannya. Melihat Luca yang sudah pasti lelah bekerja sepanjang harinya.Tapi Sarah tidak dapat terlelap sama sekali walau sudah membalikkan tubuhnya beberapa kali untuk mendapatkan posisi nyaman.Akhirnya Sarah bergerak menuju ke dapur untuk mencari makanan yang bisa menahan rasa laparnya.Luca yang memang sudah tertidur tapi merasa pergerakkan tidak nyaman sang istri akhirnya dengan malas berdiri untuk menyusul istrinya karena khawatir. Memikirkan istrinya sedang hamil tua.Luca menatap Sarah dari jauh. “Malam – malam cari makanan, jangan bilang itu bawaan Rahim,” celutuk Luca ringan.“Mas…&r
“Akan kuhabiskan istrinya kalau dia tidak menepati janjinya untuk melamar dan menikah denganku,” gumam Aninda dalam hati.Wisnu tidak mengerti sedang berhadapan dengan adik mafia yang kejam. Alfredo terkenal dengan kekejamannya dan Aninda terkenal dengan sifat egoisnya. Tidak ada yang tidak bisa dia miliki.Kesabarannnya menunggu Luca sudah cukup lama. Ini adalah saat yang tepat untuk memiliki Luca seutuhnya, Aninda membathin hingga terlelap.Mereka tertidur dengan posisi saling memalingkan tubuhnya secara berlawanan seperti sepasang suami istri yang sedang bertengkar.Drttt. Drt… pagi sekali ponsel Wisnu sudah berbunyi panggilan dari Luca yang membangunkannya. Wisnu meraih ponselnya dengan malas sambil diliriknya Aninda yang masih terlelap disampingnya.“Ya,…” sapa Wisnu sambil menguap.“Apakah dia sudah menandatangani kontrak?” tanya Luca.“Belum,” jawab Wisnu singkat.
“Lapor Tuan, Sir Louis meminta izin bertemu,” sapa seorang asisten Castello dengan sopan.Sir Louise adalah seorang pebisnis di bagian fashion yang sudah memiliki nama di dunia.“Iya, persilahkan masuk saja.”Tak lama kemudian Sir Louis masuk ke dalam ruangan kerja Castello.“Apa kabar, Sir Louis?” sapa Castello kemudian mereka saling berpelukan dengan ramah.“Mohon maaf sebelumnya atas kelancangan saya. Kedatangan saya ke Indonesia adalah karena saya ingin mengadakan event di Bali. Saya ingin menghadirkan produk dari Luca Coorperation. Tapi sudah seminggu ini Luca tidak menjawab email saya. Saya ragu apakah ada hal yang terjadi dengan sahabat saya itu,” tanya Sir Louis.“Tidak…, tidak ada yang terjadi. Luca kuutus ke San Fransisco untuk menyelesaikan sesuatu proyek. Itu saja, nothing special. Mungkin dia sedang sibuk sehingga tidak sengaja mengabaikan Anda. Tapi tidak usah k
Aninda sudah sampai di lobby bawah hotel.“Mas Luca, Aninda sudah dibawah. Mas sudah siap atau Aninda ke atas menunggu?” sapa Aninda melalui ponselnya.“Mas turun aja, tunggu disana,” ucap Leo sambil mengikat dasinya.Melya membantu membetulkan dasi Wisnu yang masih tidak rapi karena terburu – buru.“Mas pergi kencan dulu ya,” ucap Wisnu kemudian memberikan ciuman ke bibir Melya dan perut Melya.“Mas balik malam ini?” tanya Melya penuh harap.“Entahlah, tidak usah menunggu. Mas tidak tahu apa yang akan Mas alami hari ini. Kamu tidur saja, besok kita sarapan bersama ,ok?” ucap Wisnu kemudian menghilang di balik pintu.Wisnu keluar dari lift dan langsung dipeluk oleh Aninda dengan erat.Wisnu masih kebingungan tapi kemudian terpana dengan kecantikan Aninda yang berdiri di depannya saat ini dengan pakaian seksi yang menonjolkan semua lekuk tubuhnya dan belahan terbu
“Dia? Dia siapa?” tanya Wisnu dengan polos.“Sarah dan Aninda…”“Uhh, Mas memilih tidak menjawab. Untuk saat ini masih kamu istriku. Itu saja. Yang lain nanti kuurus, diamlah, biarkan Mas tidur sebentar,” jawab Wisnu sambil memejamkan matanya yang memang sangat mengantuk.Sementara di tempat lain, Luca sedang mengadakan rapat dengan beberapa bawahannya untuk menganalisa semua langkah yang harus dilakukan dalam mendapatkan proyek di San Fransisco. Tidak akan mudah untuk menantang Alfredo Augusta yang sudah menguasai hampir 90% bisnis di San Fransisco.Alfredo tidak akan segan – segan menggunakan jasa kotor untuk menghabisi lawannya. Dengan menguasai adiknya Aninda Augusta, maka setidaknya 50 % saham perusahaan akan menjadi milik bersama, sehingga Luca dapat memperoleh peluang kerjasama bukan menjatuhkan Alfredo.Keinginan Luca adalah menjatuhkan Castello, sang ayah. Maka kerjasama dengan Alfredo adala
Kalau hanya seorang Sarah, Melya tidak takut untuk menghadapinya, tapi dia masih punya kepala untuk memikirkan hal yang membuat ia tidak berani menyentuh cucu Mafia Castello.Akhirnya Melya menyimpan kembali ponselnya dan membatalkan niatnya untuk mengancam Luca. Padahal tadi ia berniat mengancam supaya Luca menuruti dan tidur bersamanya malam ini. Ternyata ambisinya gagal. Melya hanya bisa menelan ludah.Sesampainya di dalam kamar, Luca membaringkan tubuhnya yang lelah. Kemudian ia mencoba untuk menghubungi Sarah kembali. Berharap panggilan sudah diterima dan bisa melakukan video call sejenak untuk melepas kerinduan.….“Halo,” terdengar suara Sarah yang merdu menyapanya. Betapa hati Luca menjadi sangat lega dan terhibur.“Hallo Sarah, bagaimana kabarmu? Saya mencoba menghubungi dari semenjak tiba di sini,” sapa Luca dengan semua perasaan rindunya.“Saya pergi berbelanja kebutuhan rumah dan lupa me
“Hmm,” jawab Melya dengan singkat tanda mengerti.Mobil dibawa sampai ke restaurant mewah di pertengahan San Fransisco yang indah. Luca keluar duluan disusul dengan Aninda.Luca mengandeng tangan Aninda sampai ke restaurant yang sudah dibooking sehingga hanya tinggal mereka sebagai pengujung eksklusif.Makan malam disajikan. Mereka sungguh menikmati makan malam yang lezat dengan mengabaikan keberadaan Melya yang berjarak dua meter dari posisi mereka.Selesai makan malam, Luca dan Aninda berdansa ringan sejenak. Mereka saling berpelukan dan bercengkrama. Sesekali Aninda tertawa ringan dan membisikkan sesuatu di telinga Luca.“Aninda menginginkanmu Luca,” bisiknya halus di telinga Luca saat Luca mengengamnya erat dalam dansanya.Musik yang halus seolah sudah diatur demikian oleh Luca sehingga menciptakan suasana penuh keromantisan.“Saya sudah mempunyai istri,” jawab Luca dengan sopan sambil tersenyum
"Semua perhiasan yang diberikan oleh Nyonya mendiang hilang, astaga ... bagaimana ini bisa terjadi?"“Dia menolak kalung pemberianku tadi, bukan dia… siapa yang mengikuti kita tadi ya?” tanya Pelayan tua kepada dirinya sendiri dengan bingung.s“Pelayan kecil, ada seorang pelayan kecil yang mengikuti kami tadi…” teriak Pelayan tua setelah mengingat – ingat.“Panggil dia sekarang juga !!!” teriak Castello kepada bawahannya yang dari tadi tidak berani masuk ke dalam kamar mereka.“Periksa CCTV,” lanjut Castello.Tak lama kemudian, pelayan bernama Heidi diseret pengawal Castello untuk berlutut di hadapan Pelayan tua dan Castello dengan lutut gemetaran.“Katakan apa yang sudah kamu lihat?” teriak Castello.“Saya tidak melihat apa – apa Tuan.”“Bukan saya yang mengambil Tuan, Tuan boleh memeriksa kamar saya,” jawab Heidi deng