Setelah semalaman Valia dikurung di dalam kamar, pagi-pagi tadi pelayan mendatangi kamarnya dan membantu Valia membersihkan tubuhnya, juga memberikan pakaian ganti sebuah dress yang cantik.
Bukan hanya itu, ternyata mereka mengajak seorang dokter laki-laki berwajah tampan yang kini tengah mengobati kaki dan tangan Valia."Lukanya tidak terlalu dalam, hanya tergores sedikit. Tapi kau harus berhati-hati, Nona," ujar dokter tampan itu membalut telapak kaki Valia dengan perban.Valia diam tidak menjawab dan tidak meresponnya sama sekali. Laki-laki dengan jas putih itu meliriknya dengan tatapan memicing."Ulurkan tanganmu, Nona Valia," pintanya, beralih duduk di tepi ranjang dan memeriksa telapak tangan Valia yang terluka."Dari mana kau tahu namaku?" tanya Valia heran. "Siapa yang memintamu mengobatiku?"Dokter tampan itu tersenyum hangat tanpa menghentikan kegiatannya merawat luka Valia. "Panggil saja saya Dokter Fabio. Dan saya cukup tahu siapa Nona Valia dari Tuan Aaron yang penyayang dan baik hati," jawab Fabio tersenyum jahil.Geram sekali Valia mendengar sanjungan dari bibir dokter itu untuk Aaron. Seketika ia mengepalkan tangannya hingga Fabio menatap wajah kesal Valia."Dia yang memintamu ke sini untuk mengobatiku?" tanya Valia lagi."Memangnya Nona percaya kalau Tuan Aaron mau berbaik hati?"Gelengan cepat diberikan oleh Valia. Kembali tangannya diobati oleh Fabio dengan penuh kesabaran."Dia laki-laki yang brengsek dan jahat! Aku tidak mengerti kenapa dia sangat ingin menyakitiku," ujar Valia tampak sedih."Ya! Tuan Aaron memang menyebalkan, keras kepala, tapi beliau sangat khawatir dan sayang pada Nona. Buktinya Tuan meminta saya mengobati Nona Valia," seru Fabio dengan wajah santainya."Jangan bergosip di depan orangnya!"Suara bariton itu membuat Valia dan Fabio menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri Aaron dengan setelan formal, tengah melipat kedua tangannya menatap lurus dua orang di depan sana dengan tatapan dingin.Valia mendengkus kesal saat Aaron berjalan masuk. Laki-laki itu duduk di sofa menyilangkan satu kakinya, menguarkan aura angkuh dan berkuasa. "Apa luka peliharaanku sangat parah, Fabio?" tanya Aaron tiba-tiba."Ya Tuan, tapi jangan terlalu khawatir. Lukanya akan segera sembuh. Saya tahu Tuan Muda sangat menyayangi Nona Valia dan mencemaskannya," jawab Fabio menaik turunkan kedua alisnya pada sang Tuan Muda dan tersenyum penuh goda.Valia mendengkus mendengar kata-kata Fabio. "Dia yang membuatku terluka, mana ada manusia seperti dia punya rasa iba dan kasih sayang," cibir Valia tak terima.Seketika Aaron beranjak, melangkah mendekati Valia dan duduk di tepi ranjang tepat di hadapan gadis yang mencibirnya.Aaron tersenyum miring melihat ekspresi kesal gadis ini. "Aku tidak ingin mengotori rumahku dengan mayat wanita menyedihkan hanya karena terluka dan tidak terobati." Laki-laki itu mengetukkan jari telunjuknya di pelipis Valia. "Kau jangan terlalu percaya diri!"Seketika Fabio berdehem membuyarkan situasi yang sedikit memanas. Laki-laki berjas putih itu menyerahkan beberapa tablet obat pada Aaron."Aku harap Tuan jangan bermesraan dulu sampai luka Nona Valia sembuh, kau paham kan, Tuan Alieston?" Fabio tersenyum dengan wajah penuh jahil menyebalkan."Ck! Sebaiknya kau pergi kalau tugasmu sudah selesai!" sentak Aaron pada dokter muda itu.Fabio pun terkekeh geli. Ia langsung mengambil beberapa peralatannya dan beranjak keluar dari kamar Valia.Kini hanya tersisa Valia dan Aaron. Laki-laki itu meletakkan obat yang Fabio berikan di atas nakas, tidak peduli pada Valia yang menatap wajahnya dalam-dalam."Setelah ini kau mau apa? Aku sudah tidak bisa berjalan karena kakiku terluka. Apa kau masih ingin menyiksaku lagi?" Laki-laki itu menyipitkan kedua mata. Bibir tipisnya menyeringai keji. Aaron tiba-tiba mengurung sisi tubuh Valia dengan dua lengan kekarnya. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti saja.Satu tangannya bergerak terulur membelai pipi dan mengusap bibir bawah Valia yang pucat."Ya, aku akan menyiksamu dengan menikmatan," jawabnya berbisik, tersenyum miring melihat Valia yang membeku di tempat.Valia bisa merasakan bulu romanya berdiri karena bisikan lelaki itu mengenai titik sensitif di dekat telinganya. Satu tangan Valia mencengkeram erat seprai, iris matanya tidak bisa menghindari wajah tampan Aaron yang kini hampir tidak berjarak dengannya.Pikirannya semakin tidak menentu, karena sosok Aaron sama sekali tidak bisa ditebak.Valia dengan refleks menutup mata ketika jarak wajah mereka kian menipis. Gadis itu membeku dengan nafas tertahan.
"Apa yang kau harapkan, Valia?"
Suara bariton yang membuatnya merinding itu membuat Valia membuka mata. Tidak ada yang terjadi selain kini Aaron sudah menjauh darinya. "Kau pikir aku mau menyentuhmu?"
"A-apa?" tanya Valia kebingungan.
Aaron mendecih. Ekspresinya berubah dingin dan menatap Valia dengan tatapan meremehkan. "Jangan mimpi," katanya, lalu berbalik meninggalkan Valia yang tercenung.
***Seharian Valia berada di dalam kamar setelah kaki dan tangannya terobati. Sore ini ia berdiri di balkon kamarnya ditemani oleh Merina, kepala pelayan yang tengah mengupaskan buah apel untuknya.Sedangkan gadis itu sendiri tengah menikmati indahnya cahaya matahari di sore hari yang menguning."Pelayan Merina," panggil Valia pelan."Iya Nona, apa Nona Valia ingin buah yang lain, atau...""Ini di mana?" Valia menyela cepat tanpa menatap wanita itu. "Aku berada di mana saat ini? Kota ini... sangat asing untukku." Valia menatap sekitar dengan wajah cemas. Pemandangan kota yang terlihat jauh dan cukup jelas dari lantai balkon kamar Valia. Bangunan itu sangat tinggi dan besar.Sedangkan di sisi depan sana, disuguhkan pemandangan laut dan taman luas mengelilingi mansion. Valia sama sekali tidak mengenali tempat di mana ia kini berada."Nona berada di kota Trieste," jawab Merina."Trieste?!" pekik Valia menatap pelayan itu tak percaya."Benar, Nona. Sebenarnya mansion ini sudah lama tidak Tuan kunjungi, dan kami semua juga sangat terkejut saat tahu Tuan Aaron memberi kabar kembali pulang, apalagi saat beliau membawa seorang gadis untuk kali pertama," jelas Merina lagi.Seketika Valia menepuk dadanya pelan, ia ingin berteriak saat ini. Besar adanya Valia tidak bisa kabur dari tempat itu, bahkan jalan menuju rumahnya pun ia juga tidak akan tahu.Valia langsung terduduk di kursi dan tertunduk lemas. Pelayan Merina sigap mengusap punggung Valia dengan lembut, usaha menenangkan."Nona Valia...""Cukup jauh untuk bisa kembali pulang ke Roma," ujarnya sedih dan menyeka air mata yang tidak lagi terbendung. "Aku benar-benar akan mati terpenjara di tempat ini.""Nona jangan menangis, masih ada saya yang menemani Nona sepanjang hari.""Tidak... tidak ada yang bisa menjamin aku akan aman berada di sini," kata Valia dengan suara bergetar. "Aaron tidak akan mungkin membiarkanku hidup dengan tenang. Padahal aku tidak tahu apa salahku padanya." Valia tidak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi sudah menggenang di pelupuk matanya. Suara langkah kaki menghentikan tangis Valia, pelayan Merina pun langsung beranjak pergi begitu tahu Tuannya yang muncul di depan pintu.Valia beranjak cepat kembali berdiri menatap pemandangan lautan. Ia memalingkan wajahnya dari Aaron yang mendekat."Penjara yang sangat indah untukmu, Valia." Aaron berjalan mendekati Valia, berdiri tepat di belakangnya.Jemari gadis itu terkepal erat. "Aku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya kau inginkan, Aaron. Lebih baik kau habisi aku secara langsung daripada kau repot setiap hari menyiksaku!" seru Valia, perlahan ia membalikkan badannya menatap sedih laki-laki itu."Aku tidak ingin kau mati semudah itu." Aaron maju langkah, ia menarik pinggang Valia hingga tubuh mereka saling menempel erat. "Aku ingin kau merasakan hal yang sama."
Valia mengerjap bingung, menatap Aaron dengan kening berkerut. Ia juga bergerak tidak nyaman dalam rengkuhan lengan pria itu.
"A-apa maksudmu? Aku benar-benar tidak tahu apa yang kau bicarakan," kata Valia gugup. "Kesalahan apa yang pernah aku perbuat padamu?"
Aaron tersenyum menyeringai. "Aku adalah orang yang ingin menuntut kemunafikanmu di masa lalu, Valia."Kedua mata Valia melebar, pikirannya kembali dipenuhi dengan tanda tanya. Otaknya terus bekerja mencerna apa yang Aaron maksud dengan ucapannya.
'Siapa Aaron sebenarnya?!'
Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i