[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus]
[Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas] Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusat perbelanjaan sendiri. Kenapa harus saya yang antar?” kata Edgar, dadanya mulai dipenuhi emosi. “Dia calon istrimu.” “Stop, please. Saya muak dengan semua perintah Papa yang semakin nggak masuk akal.” “Papa hanya ingin kamu lebih mengenal Indira. Lagipula, bukankah kamu suka belanja? Papa tahu berapa uang yang kamu keluarkan setiap bulannya hanya untuk membeli pakaian.” “Indira bukan bayi, Pa. Dia bisa pergi belanja sendiri, nggak perlu terus diawasi seperti anak kecil.” “Indira sekarang menjadi tanggung jawabmu. Jadi, sudah sepatutnya kamu memanjakan dia, memberi apa pun yang dia butuhkan. Indira sepuluh tahun lebih muda dari kamu, Ed. Walaupun dari luar terlihat kuat, tapi sebenarnya dia membutuhkan seseorang untuk bersandar.” “So? Kenapa harus saya yang menjadi tempat bersandar itu?” Papa Danu mengakhiri telepon secara sepihak, tampaknya enggan mendengarkan keluhan-keluhan yang akan disampaikan oleh Edgar. Edgar menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Rasanya ingin sekali membanting ponsel yang ada di dalam genggaman. Jujur, Edgar tak ingin berjalan bersisian dengan Indira. Apalagi berkeliling pusat perbelanjaan bersama. Tapi, apa boleh buat? Pada akhirnya, Edgar memang tak memiliki pilihan. Laki-laki itu berjalan meninggalkan kamar, berniat mencari Indira. “Indira!” Indira sedang memasak sarapan di dapur. Terkejut luar biasa saat Edgar tiba-tiba berteriak memanggil namanya. Indira menghela napas, kemudian mematikan kompor agar ayamnya tak gosong. “Ada apa, Mas?” tanya Indira sambil membersihkan tangannya dengan kain lap. “Siap-siap. Setelah ini kita pergi,” ujar Edgar yang masih memakai piyama. Indira mengerutkan kening, curiga kalau apa yang teradi kemarin kembali terulang. Jujur, Indira lebih suka tetap di rumah untuk bersih-bersih, ketimbang harus diajak ke suatu tempat hanya untuk berfoto. “Ke mana, Mas? Kalau seperti kemarin—” “Jangan banyak tanya. Kepala saya pusing.” Edgar membalik badannya, kembali menuju kamar untuk bersiap-siap. Indira kehilangan kata-kata, bingung bukan main dengan sikap Edgar. Kenapa laki-laki itu merasa pusing? Bukankah harusnya Indira yang pusing tujuh keliling? *** Dengan amat terpaksa, Indira mengikuti perintah yang diberikan oleh Edgar. Usai memasak, gadis itu langsung mandi dan memakai baju yang cukup rapi. Rambutnya diikat satu, kemudian sebuah jepit berbentuk kupu-kupu disematkan di atas telinga. Tak lupa, Indira juga memakai sedikit bedak dan lip tint. Tepat pukul setengah sembilan, Indira keluar dari kamar. Menemui Edgar yang sudah menunggu di ruang tengah. Seperti biasa, laki-laki itu terlihat sangat stylish dan wangi. Hari ini sengaja memakai baju casual, sebab agendanya hanya berkeliling pusat perbelanjaan. Edgar menghela napas saat melihat penampilan Indira. “Bajumu cuma ada satu?” tanya Edgar. “Ini beda sama yang kemarin, Mas. Kemeja yang dipakai kemarin warna merah, yang ini warna biru,” jelas Indira. Intinya, sama-sama kemeja lusuh. Keduanya terlihat sama saja di mata Edgar. Edgar meraih kunci mobilnya, kemudian berjalan meninggalkan rumah. Indira hanya mengekor di belakang tanpa banyak bertanya, meskipun ia penasaran setengah mati dengan tempat yang akan dituju. Keduanya sama-sama masuk ke dalam mobil, lalu memakai seat belt. Dalam hitungan menit, mobil yang dikemudikan oleh Edgar telah melaju meninggalkan rumah. Indira membuang muka, memilih untuk menatap trotoar, sesekali tersenyum saat melihat ada satu keluarga yang sedang berjalan bersama. Edgar juga hanya fokus menatap jalanan, tak sekali pun melirik ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, akhirnya mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Edgar memarkirkan mobilnya di basement, sengaja memilih tempat yang agak sepi. Setelah mobil benar-benar berhenti, laki-laki itu melepas seat beltnya. Indira mengerjapkan mata, bingung bukan main karena Edgar tiba-tiba mengajaknya ke pusat perbelanjaan. “Turun,” kata Edgar ketika melihat Indira hanya melamun. Indira lekas turun dari mobil sambil merapikan ujung kemejanya. Ia lantas berjalan mengikuti Edgar. “Kenapa kita ke pusat perbelanjaan, Mas?” tanya Indira, akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. “Beli pakaian yang lebih layak buat kamu,” jawab Edgar, kemudian naik eskalator menuju deretan outlet yang ada di lantai atas. Indira menatap tubuhnya sendiri, merasa tak ada yang salah dengan pakaiannya. “Pakaian saya masih bagus, Mas,” kata Indira dengan percaya diri. Edgar tertawa hambar, kemudian berkata, “pakaian kamu lebih layak jadi kain lap.” Kain lap, katanya. Indira ingin sekali marah, tapi rasanya akan sangat memalukan kalau meluapkan emosinya di tempat umum. Setibanya di lantai dua, Edgar langsung berjalan memasuki sebuah outlet. Seorang sales associate menyambutnya dengan ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya sang sales associate dengan name tag bertuliskan Lidya. “Saya ingin lihat koleksi sleepwear dan underwear keluaran terbaru,” sahut Edgar dengan santai. Lidya mengantar Edgar untuk melihat koleksi sleepwear dan underwear keluaran terbaru. Beberapa di antaranya memiliki desain yang cukup seksi. Indira menatap sekelilingnya, merasa risih karena datang ke outlet yang dipenuhi pakaian dalam itu. Apalagi datang bersama Edgar. “Ukuranmu?” tanya Edgar pada Indira. “Sebaiknya kita datang ke outlet yang lain, Mas,” ujar Indira, tiba-tiba keningnya dibanjiri keringat karena gugup. “Kamu butuh sleepwear dan underwear yang baru.” “No. I mean, nanti saya bisa beli sendiri.” Tapi, Edgar tak mendengarkan. Laki-laki itu mengambil sebuah bralette berwarna hitam, serta bikini yang senada. “Coba yang ini,” kata Edgar sambil menyerahkan bralette dan bikini itu kepada Indira. Apa maksudnya? Indira diminta untuk mencoba bralette dan bikini sekarang juga? Tentu saja Indira tak mau, apalagi kalau nantinya harus menunjukkannya di depan Edgar. “Nggak perlu, Mas,” ujar Indira dengan tegas. “Okay. Kasih ke sales associate, biar dimasukkan ke tas belanja,” sahut Edgar. Indira tersenyum malu-malu ke arah Lidya, kemudian menyerahkan bralette dan bikini hitam yang dipilihkan oleh Edgar. “This one is cute,” gumam Edgar sambil meraih sebuah brief berwarna merah, akan sangat cocok jika dipadukan dengan balconette yang berwarna senada. Indira benar-benar tak habis pikir. Kenapa Edgar terlihat sesantai itu memilihkan pakaian dalam untuk perempuan? Seolah sudah sangat terbiasa. “Mau lingerie?” tanya Edgar beberapa saat kemudian. Kedua mata Indira membulat dengan sempurna, dengan tegas gadis itu menggelengkan kepala.Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert
Indira merasa seperti boneka. Yang didandani sedemikian rupa agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemiliknya. Dalam hal ini, pemilik yang dimaksud adalah Edgar. Ketika menatap cermin, Indira tak lagi menjumpai sosok gadis sederhana dengan pakaian lusuhnya. Kini, ia telah berubah menjadi seorang nona muda yang terlihat mempesona dari ujung kaki sampai ujung kepala. Edgar benar-benar membuang semua pakaian lama Indira, mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang baru. Demikian pula dengan sepasang sepatu kesayangan Indira yang telah lusuh, serta tote bagnya yang telah pudar. Indira menghela napas, perlahan menyentuh dress berwarna biru yang kini membalut tubuhnya. Sejak pertama kali masuk kuliah, tak pernah sekali pun Indira datang ke kampus dengan mengenakan dress. Rasanya benar-benar aneh. “Indira!” Lamunan Indira seketika buyar ketika mendengar suara panggilan dari arah bawah. Edgar memanggil, tampaknya minta dibuatkan kopi karena sampai detik ini Bi Imah belum kem
Malam ini Indira benar-benar sendirian di rumah tiga lantai yang sangat luas. Suasana rumah benar-benar sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang dan menggema. Sebenarnya Indira bukanlah seorang penakut. Saat masih tinggal di panti asuhan, Indira sering pergi ke ruang penyimpanan saat tengah malam untuk sekadar mengambil stok diapers atau selimut baru untuk adik-adiknya. Dan, ruang penyimpanan itu letaknya di belakang, dekat dengan kebun bambu yang gelap gulita ketika malam hari. Tapi, kali ini situasinya berbeda karena Indira berada di sebuah rumah mewah dengan banyak barang berharga di dalamnya. Bagaimana jika perampok tiba-tiba masuk karena tahu rumah dalam keadaan kosong? Sebab di luar sana, ada banyak sekali orang-orang yang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan. Maka, Indira hanya berdiam diri di dalam kamar. Mencoba mendistraksi pikirannya dengan mengerjakan tugas dan mendengarkan musik. Di atas meja, telah tersaji satu kotak nasi goreng dan sa
Pagi ini suasana rumah menjadi lebih tegang daripada biasanya. Indira bahkan tak berani bersuara, pura-pura fokus memasak nasi goreng di dapur. Mencoba untuk mengabaikan Edgar dan Ezra yang sedang berdebat di ruang makan. Kakak beradik itu jelas-jelas muak melihat wajah satu sama lain. Saat harus berada di tempat yang sama, perdebatan dan pertengkaran tak dapat dihindari. Tak ada yang bisa menengahi, sebab keduanya sama-sama keras kepala dan merasa menjadi pihak yang paling benar. “Udah hampir dua tahun kita nggak ketemu, Bang,” kata Ezra yang duduk di atas kursi sambil melipat kedua kakinya. “Terakhir kali ketemu di acara makan malam keluarga.” Edgar tersenyum sinis, lalu berkata, “tolong tahu diri sedikit, Ez. Statusmu cuma anak yang lahir dari hasil perselingkuhan. Nggak perlu bangga cuma karena ada Bumantara di belakang namamu.”“Yeah. Aku cukup tahu diri, that’s why selama dua tahun nggak pernah muncul lagi di rumah ini. Sekarang aku ke sini lagi karena permintaannya Papa.” “
[Mas Edgar : pulang jam berapa?]Indira mengucek matanya, memastikan bahwa sebaris pesan yang baru saja ia baca benar-benar dikirimkan oleh Edgar. Tumben sekali, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba mengirim pesan. Saking terkejutnya, Indira sampai hampir menjatuhkan ponselnya. Gadis itu sedang berada di perpustakaan, duduk di depan komputer untuk mengerjakan tugas. Ada setumpuk buku di hadapannya, dijadikan sumber referensi. Dengan ragu-ragu, jemarinya bergerak di atas layar ponsel untuk mengetik pesan balasan. [Indira : saya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, Mas. Mungkin selesai sekitar jam setengah lima]Usai mengirim balasan, Indira kembali memfokuskan pandangannya ke arah komputer. Ia harus bergegas menyelesaikan essay, setelah itu membuat power point. Memasuki semester enam, tugasnya memang kian menggunung. Belum lagi Indira harus mulai menentukan topik skripsi, lalu membuat kerangka proposal. Tak berselang lama, ponsel Indira kembali bergetar. Lagi-lagi nama Edgar y
Tugas yang sudah Indira ketik dengan susah payah ternyata tak tersimpan di emailnya. Indira sepenuhnya yakin kalau file tugasnya sudah terkirim lewat email sebelum komputer dimatikan. Tapi, rupanya tak ada apa-apa. Entah karena ada masalah dengan koneksi internet atau murni kesalahan yang dilakukan secara tanpa sengaja. Alhasil, Indira panik. Besok pagi tugasnya harus dikumpulkan, plus dipresentasikan dengan power point. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh petang, Indira tak bisa pergi ke perpustakaan karena dipastikan sudah tutup. Secara otomatis, gadis itu juga tak dapat meminjam buku sebagai sumber referensi. Indira bergegas menghubungi Kiran, berniat meminjam laptopnya. Tapi, sayangnya saat ini Kiran sedang mengikuti rapat himpunan. Laptopnya dipakai untuk mengetik proposal. Tiba-tiba Indira ingin menangis. Tugas yang sudah ia kerjakan dengan susah payah hilang begitu saja, waktu yang tersisa untuk mengerjakan ulang juga tidak banyak. “Mbak Indira!”Bi Imah memanggil, kemud
Awalnya, Edgar mengira kalau Indira adalah sosok gadis sederhana yang sejak kecil telah merasakan pahitnya kehidupan. Keadaan memaksanya untuk dewasa, tak ada ruang untuk cengeng atau merengek saat sedang kesusahan. Siapa yang akan membantu? Tidak ada. Segalanya harus diselesaikan sendiri.Tapi, akhirnya Edgar mengerti kalau pada akhirnya Indira tetaplah gadis dua puluh tahun yang masih agak kekanakan, suka menangis, dan suka mengeluhkan segala hal. Sama seperti manusia dua puluh tahun pada umumnya. Baru lepas dari dunia remaja, sering salah langkah dan tak mengerti apa-apa ketika dipaksa untuk menjadi dewasa. Agak miris sebenarnya. Indira harus memasang topeng, pura-pura kuat dan tegar menjalani hidup dengan keadaan yang serba terbatas. Jarang menunjukkan raut sedih atau meneteskan air mata di depan orang lain. Serta terus-terusan menolak bantuan karena tak mau membebani. “Mas Edgar, terima kasih banyak ya. Tadi malam mau meminjamkan laptop, plus bantu saya ngerjain essay,” ucap In
“Indira kan katanya yatim piatu, sampai kuliah aja dapet bidik misi. Itu pun belum cukup, dia masih cari banyak beasiswa lainnya. Tapi, aneh banget akhir-akhir ini sering diantar-jemput pakai mobil mewah. Baju, tas, sama sepatu yang dipakai juga branded semua. Dan, kemarin dia bawa Macbook keluaran terbaru, buat presentasi.” “Iya, kan? I mean, kalau sebenernya kaya, jangan ambil jatah beasiswa buat mahasiswa lain yang lebih membutuhkan, lah. Sadar diri dikit. Beli barang branded bisa, masa buat bayar UKT nggak bisa. Skala prioritasnya gimana, deh.”“Atau kita laporin ke rektorat aja kali, ya? Biar beasiswanya dicabut. Soalnya kasihan mahasiswa lain yang bener-bener butuh beasiswa, tapi nggak tembus karena berbagai faktor.”“Setuju! Nggak ada yang ngelarang si Indira pakai barang branded, cuma ya harusnya dia aware. Statusnya itu penerima bidik misi, yang mana harusnya buat mahasiswa kurang mampu. Mana ada orang kurang mampu yang berangkat ke kampus diantar pakai mini cooper atau audi