Share

Bab 12

Penulis: Louisa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-20 18:58:23

[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus]

 

[Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]

 

Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan.

 

Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik.

 

Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu.

 

“Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar.

 

“Minta Indira pergi ke pusat perbelanjaan sendiri. Kenapa harus saya yang antar?” kata Edgar, dadanya mulai dipenuhi emosi.

 

“Dia calon istrimu.”

 

“Stop, please. Saya muak dengan semua perintah Papa yang semakin nggak masuk akal.”

 

“Papa hanya ingin kamu lebih mengenal Indira. Lagipula, bukankah kamu suka belanja? Papa tahu berapa uang yang kamu keluarkan setiap bulannya hanya untuk membeli pakaian.”

 

“Indira bukan bayi, Pa. Dia bisa pergi belanja sendiri, nggak perlu terus diawasi seperti anak kecil.”

 

“Indira sekarang menjadi tanggung jawabmu. Jadi, sudah sepatutnya kamu memanjakan dia, memberi apa pun yang dia butuhkan. Indira sepuluh tahun lebih muda dari kamu, Ed. Walaupun dari luar terlihat kuat, tapi sebenarnya dia membutuhkan seseorang untuk bersandar.”

 

“So? Kenapa harus saya yang menjadi tempat bersandar itu?”

 

Papa Danu mengakhiri telepon secara sepihak, tampaknya enggan mendengarkan keluhan-keluhan yang akan disampaikan oleh Edgar.

 

Edgar menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Rasanya ingin sekali membanting ponsel yang ada di dalam genggaman.

 

Jujur, Edgar tak ingin berjalan bersisian dengan Indira. Apalagi berkeliling pusat perbelanjaan bersama. Tapi, apa boleh buat? Pada akhirnya, Edgar memang tak memiliki pilihan.

 

Laki-laki itu berjalan meninggalkan kamar, berniat mencari Indira.

 

“Indira!”

 

Indira sedang memasak sarapan di dapur. Terkejut luar biasa saat Edgar tiba-tiba berteriak memanggil namanya. Indira menghela napas, kemudian mematikan kompor agar ayamnya tak gosong.

 

“Ada apa, Mas?” tanya Indira sambil membersihkan tangannya dengan kain lap.

 

“Siap-siap. Setelah ini kita pergi,” ujar Edgar yang masih memakai piyama.

 

Indira mengerutkan kening, curiga kalau apa yang teradi kemarin kembali terulang. Jujur, Indira lebih suka tetap di rumah untuk bersih-bersih, ketimbang harus diajak ke suatu tempat hanya untuk berfoto.

 

“Ke mana, Mas? Kalau seperti kemarin—”

 

“Jangan banyak tanya. Kepala saya pusing.”

 

Edgar membalik badannya, kembali menuju kamar untuk bersiap-siap.

 

Indira kehilangan kata-kata, bingung bukan main dengan sikap Edgar. Kenapa laki-laki itu merasa pusing? Bukankah harusnya Indira yang pusing tujuh keliling?

 

***

 

Dengan amat terpaksa, Indira mengikuti perintah yang diberikan oleh Edgar.

 

Usai memasak, gadis itu langsung mandi dan memakai baju yang cukup rapi. Rambutnya diikat satu, kemudian sebuah jepit berbentuk kupu-kupu disematkan di atas telinga. Tak lupa, Indira juga memakai sedikit bedak dan lip tint.

 

Tepat pukul setengah sembilan, Indira keluar dari kamar. Menemui Edgar yang sudah menunggu di ruang tengah. Seperti biasa, laki-laki itu terlihat sangat stylish dan wangi. Hari ini sengaja memakai baju casual, sebab agendanya hanya berkeliling pusat perbelanjaan.

 

Edgar menghela napas saat melihat penampilan Indira.

 

“Bajumu cuma ada satu?” tanya Edgar.

 

“Ini beda sama yang kemarin, Mas. Kemeja yang dipakai kemarin warna merah, yang ini warna biru,” jelas Indira.

 

Intinya, sama-sama kemeja lusuh. Keduanya terlihat sama saja di mata Edgar.

 

Edgar meraih kunci mobilnya, kemudian berjalan meninggalkan rumah. Indira hanya mengekor di belakang tanpa banyak bertanya, meskipun ia penasaran setengah mati dengan tempat yang akan dituju.

 

Keduanya sama-sama masuk ke dalam mobil, lalu memakai seat belt. Dalam hitungan menit, mobil yang dikemudikan oleh Edgar telah melaju meninggalkan rumah.

 

Indira membuang muka, memilih untuk menatap trotoar, sesekali tersenyum saat melihat ada satu keluarga yang sedang berjalan bersama. Edgar juga hanya fokus menatap jalanan, tak sekali pun melirik ke arah gadis yang duduk di sampingnya.

 

Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, akhirnya mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Edgar memarkirkan mobilnya di basement, sengaja memilih tempat yang agak sepi. Setelah mobil benar-benar berhenti, laki-laki itu melepas seat beltnya.

 

Indira mengerjapkan mata, bingung bukan main karena Edgar tiba-tiba mengajaknya ke pusat perbelanjaan.

 

“Turun,” kata Edgar ketika melihat Indira hanya melamun.

 

Indira lekas turun dari mobil sambil merapikan ujung kemejanya. Ia lantas berjalan mengikuti Edgar.

 

“Kenapa kita ke pusat perbelanjaan, Mas?” tanya Indira, akhirnya memberanikan diri untuk bersuara.

 

“Beli pakaian yang lebih layak buat kamu,” jawab Edgar, kemudian naik eskalator menuju deretan outlet yang ada di lantai atas.

 

Indira menatap tubuhnya sendiri, merasa tak ada yang salah dengan pakaiannya.

 

“Pakaian saya masih bagus, Mas,” kata Indira dengan percaya diri.

 

Edgar tertawa hambar, kemudian berkata, “pakaian kamu lebih layak jadi kain lap.”

 

Kain lap, katanya. Indira ingin sekali marah, tapi rasanya akan sangat memalukan kalau meluapkan emosinya di tempat umum.

 

Setibanya di lantai dua, Edgar langsung berjalan memasuki sebuah outlet. Seorang sales associate menyambutnya dengan ramah.

 

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya sang sales associate dengan name tag bertuliskan Lidya.

 

“Saya ingin lihat koleksi sleepwear dan underwear keluaran terbaru,” sahut Edgar dengan santai.

 

Lidya mengantar Edgar untuk melihat koleksi sleepwear dan underwear keluaran terbaru. Beberapa di antaranya memiliki desain yang cukup seksi.

 

Indira menatap sekelilingnya, merasa risih karena datang ke outlet yang dipenuhi pakaian dalam itu. Apalagi datang bersama Edgar.

 

“Ukuranmu?” tanya Edgar pada Indira.

 

“Sebaiknya kita datang ke outlet yang lain, Mas,” ujar Indira, tiba-tiba keningnya dibanjiri keringat karena gugup.

 

“Kamu butuh sleepwear dan underwear yang baru.”

 

“No. I mean, nanti saya bisa beli sendiri.”

 

Tapi, Edgar tak mendengarkan. Laki-laki itu mengambil sebuah bralette berwarna hitam, serta bikini yang senada.

 

“Coba yang ini,” kata Edgar sambil menyerahkan bralette dan bikini itu kepada Indira.

 

Apa maksudnya? Indira diminta untuk mencoba bralette dan bikini sekarang juga? Tentu saja Indira tak mau, apalagi kalau nantinya harus menunjukkannya di depan Edgar.

 

“Nggak perlu, Mas,” ujar Indira dengan tegas.

 

“Okay. Kasih ke sales associate, biar dimasukkan ke tas belanja,” sahut Edgar.

 

Indira tersenyum malu-malu ke arah Lidya, kemudian menyerahkan bralette dan bikini hitam yang dipilihkan oleh Edgar.

 

“This one is cute,” gumam Edgar sambil meraih sebuah brief berwarna merah, akan sangat cocok jika dipadukan dengan balconette yang berwarna senada.

 

Indira benar-benar tak habis pikir. Kenapa Edgar terlihat sesantai itu memilihkan pakaian dalam untuk perempuan? Seolah sudah sangat terbiasa.

 

“Mau lingerie?” tanya Edgar beberapa saat kemudian.

 

Kedua mata Indira membulat dengan sempurna, dengan tegas gadis itu menggelengkan kepala.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
ceritanya gaje... ada ya main paksa begitu dan indira cuma bisa diam. dan lu mematahkan statemen bahwa laki-laki baik2 akan berjodoh dg perempuan baik2 pula. ini perempuan baik2 dan laki2 bejat.. tadinya di awal gue niat pengen terus baca. tapi baru sampe sini sudah malea mau baca thor
goodnovel comment avatar
Novita Sari
bisa2 nya...blm menikah dah ngasih pakaian dlm.........
goodnovel comment avatar
Uhkti Qosidatul
semangat Thor nulisnya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 111

    Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 110

    Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 109

    Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 108

    Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 107

    Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 106

    Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status