Share

Bab 11

“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar.

 

Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya.

 

“Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung.

 

“Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar.

 

Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya.

 

“Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. 

 

“Harga dirimu ternyata setinggi langit,” gumam Edgar sambil menggelengkan kepala. Kartu kreditnya ia tarik kembali. “Kamu memang pantas dikasihani, Indira. Nggak perlu sok kuat dan sok tegar. Nggak ada salahnya menerima bantuan dari orang lain, walaupun atas dasar kasihan.”

 

Sebab Indira tak suka dikasihani. Ya, Indira memang gadis malang yang berstatus yatim piatu, sejak kecil telah merasakan kerasnya hidup di panti asuhan. Tapi, bukan berarti semua orang boleh memandangnya dengan tatapan miris atau kasihan.

 

“Terima kasih niat baiknya, Mas. Tapi, saat ini saya nggak butuh apa-apa, jadi nggak bisa terima kartu kreditnya,” tandas Indira dengan cepat, enggan memperpanjang obrolan dengan Edgar.

 

Indira lantas bangkit dari duduknya, membawa mangkuknya menuju dapur untuk dicuci. Meskipun kondisi badannya belum benar-benar pulih, Indira tetap harus memaksakan diri untuk menggantikan tugas Bi Imah.

 

Edgar menghela napas, memandang Indira yang sedang berdiri di depan wastafel. Jujur, Edgar tak mengerti kenapa Indira begitu keras kepala. Padahal, tadi malam gadis itu terlihat menderita dan kesakitan, bahkan memanggil-manggil ibunya yang telah tiada.

 

Masa bodoh.

 

Edgar beranjak dari duduknya, kemudian pergi menuju kamar. Memutuskan untuk tidak mempedulikan Indira lagi.

 

***

 

[Papa : hari ini Antara Group mengadakan peresmian kantor baru. Papa nggak bisa datang, jadi kamu yang harus mewakilkan]

 

[Papa : ajak Indira, kenalkan pada semua orang bahwa Indira adalah tunanganmu]

 

Edgar baru saja akan pergi ke lapangan tenis saat tiba-tiba menerima pesan dari Papa Danu. Berisi rentetan perintah yang harus segera dilaksanakan. Rasanya konyol sekali karena Edgar harus mengajak Indira ke acara yang diadakan oleh seorang kolega bisnis.

 

Untuk apa memamerkan Indira di depan semua orang? Tak ada yang spesial dari Indira, sehingga percuma memperkenalkannya di depan para kolega bisnis.

 

Edgar membuka lemari, mengambil setelan jas. Dengan amat terpaksa, laki-laki itu membatalkan niatnya untuk bermain tenis.

 

Ketika Edgar baru saja akan memasang dasi, ponselnya kembali bergetar. Papa Danu mengirim pesan lagi.

 

[Papa : kirim fotomu bersama Indira di depan gedung baru Antara Group]

 

[Papa : ini perintah, bukan permintaan]

 

Dalam hati, Edgar mengumpat habis-habisan. Rasa kesalnya semakin naik sampai puncak kepala.

 

Dengan langkah gegasnya, laki-laki itu meninggalkan kamar. Hendak meminta Indira untuk berganti pakaian dan bersiap-siap.

 

“Indira!” panggil Edgar. Suaranya menggema di rumah yang sunyi itu.

 

Beberapa saat kemudian, Indira keluar dari kamar. Gadis itu baru saja akan mengerjakan tugas kuliah, terkejut saat Edar tiba-tiba memanggilnya.

 

“Kenapa, Mas?” tanya Indira.

 

Edgar mengembuskan napas, lalu berkata, “cepat ganti baju, kita harus ke suatu tempat. Ini perintah dari Papa.”

 

“Acara apa—”

 

“Jangan banyak tanya.”

 

Indira mengangguk pelan, lalu kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Menghadapi Edgar memang memerlukan kesabaran ekstra. Sikapnya suka berubah-ubah. Tadi malam begitu peduli sampai mau berjaga untuk mengganti kompres di kening Indira, lalu kini kembali pada mode galak.

 

Indira tak mempunyai dress, blouse, atau rok. Pakaian paling bagus yang ia miliki hanya kemeja flannel dan celana jins. Hadiah dari adik-adiknya di panti asuhan, saat ulang tahun yang ke dua puluh.

 

Akhirnya Indira memakai kemeja flannel dan celana jins itu. Kemudian, ia duduk di depan cermin rias untuk memakai sedikit lip tint. Agar bibirnya tak terlihat pucat dan kering.

 

Beberapa menit kemudian, Indira keluar dari kamar sambil membawa tas sandang. Gadis itu terlihat seperti akan berangkat kuliah atau menghadiri sebuah seminar.

 

Edgar sudah menunggu di lantai dasar. Laki-laki itu memakai setelan jas berwarna abu-abu, rambutnya ditata rapi. Aroma musk yang maskulin menguar dari tubuhnya.

 

Edgar menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat, lalu kedua matanya membulat dengan sempurna. Di mata Edgar, penampilan Indira benar-benar menyedihkan. Tak layak untuk diajak menghadiri acara formal.

 

“Kenapa pakai baju itu?” tanya Edgar.

 

“Ini baju terbagus yang saya punya, Mas,” jawab Indira dengan percaya diri.

 

Edgar memijit pelipisnya, kemudian tertawa hambar. Tak habis pikir dengan keputusan Papa Danu. Maksudnya, pasti ada banyak sekali perempuan di luar sana yang bisa dijodohkan dengan Edgar. Perempuan yang lebih pantas, berasal dari keluarga terpandang, dan memiliki segudang kelebihan.

 

Sialnya, tak ada waktu untuk protes atau menggerutu.

 

Edgar meraih kunci mobilnya, berjalan dengan cepat menuju carport. Indira mengekor di belakangnya.

 

Dua manusia itu masuk ke dalam mobil, tanpa saling memandang atau bicara. Dalam hitungan detik, mobil yang dikemudikan oleh Edgar melaju meninggalkan rumah.

 

Ekspresi Edgar terlihat serius, seolah sedang berpikir keras. Tatapannya tertuju ke arah jalanan, tangannya mencengkram setir erat-erat.

 

Sementara itu, Indira memilih untuk tetap diam. Entah ke mana Edgar akan membawanya, gadis itu tak berani bertanya. Sebab satu pertanyaan dari mulutnya bisa saja memantik emosi Edgar.

 

Selang sepuluh menit kemudian, Edgar menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan sepuluh lantai. Ada banyak karangan bunga yang ditata berjejer di dekat lobi, beberapa jurnalis juga menampakkan diri untuk meliput acara.

 

“Shit,” gumam Edgar.

 

Indira tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya menatap ke arah orang-orang berjas rapi yang baru saja keluar dari gedung.

 

“Keluar dari mobil,” pinta Edgar.

 

Indira melepas seat belt, kemudian keluar dari mobil. Menuruti perintah Edgar tanpa protes.

 

Edgar mengeluarkan ponsel dari saku celananya, kemudian berkata, “berdiri di situ. Saya harus ngirim foto ke Papa.”

 

Dengan amat terpaksa, Indira berdiri di pelataran parkir yang panas, lalu tersenyum ke arah kamera. Edgar langsung mengambil foto, mengirimkannya kepada Papa Danu.

 

“Okay. Sekarang kamu bisa pulang naik taksi,” ujar Edgar sambil mengeluarkan dompet, lalu melemparkannya pada Indira.

 

Untungnya, Indira bisa menangkap dompet hitam itu dengan cepat.

 

“Mas Edgar ngajak saya ke sini cuma buat foto di depan gedung?” tanya Indira.

 

“Right. Karena saya nggak mungkin ngajak kamu ke acara peresmian,” jawab Edgar, lalu berjalan meninggalkan pelataran parkir.

 

Indira kehilangan kata-kata, menatap punggung Edgar yang kian menjauh setiap detiknya. Tampaknya Indira benar-benar tertimpa sial karena dijodohkan dengan Edgar.

 

“Tuhan…” gumam Indira sambil meremas dompet yang ada di dalam genggamannya. “Bisa-bisanya aku dijodohin sama laki-laki nggak jelas kayak Mas Edgar.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Novita Sari
sabar indira semoga jodohmu bukan edgar
goodnovel comment avatar
lilyedy.
Sabar y Indira orang sabar disayang readers Terima kasih upnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status