“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar.
Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” gumam Edgar sambil menggelengkan kepala. Kartu kreditnya ia tarik kembali. “Kamu memang pantas dikasihani, Indira. Nggak perlu sok kuat dan sok tegar. Nggak ada salahnya menerima bantuan dari orang lain, walaupun atas dasar kasihan.” Sebab Indira tak suka dikasihani. Ya, Indira memang gadis malang yang berstatus yatim piatu, sejak kecil telah merasakan kerasnya hidup di panti asuhan. Tapi, bukan berarti semua orang boleh memandangnya dengan tatapan miris atau kasihan. “Terima kasih niat baiknya, Mas. Tapi, saat ini saya nggak butuh apa-apa, jadi nggak bisa terima kartu kreditnya,” tandas Indira dengan cepat, enggan memperpanjang obrolan dengan Edgar. Indira lantas bangkit dari duduknya, membawa mangkuknya menuju dapur untuk dicuci. Meskipun kondisi badannya belum benar-benar pulih, Indira tetap harus memaksakan diri untuk menggantikan tugas Bi Imah. Edgar menghela napas, memandang Indira yang sedang berdiri di depan wastafel. Jujur, Edgar tak mengerti kenapa Indira begitu keras kepala. Padahal, tadi malam gadis itu terlihat menderita dan kesakitan, bahkan memanggil-manggil ibunya yang telah tiada. Masa bodoh. Edgar beranjak dari duduknya, kemudian pergi menuju kamar. Memutuskan untuk tidak mempedulikan Indira lagi. *** [Papa : hari ini Antara Group mengadakan peresmian kantor baru. Papa nggak bisa datang, jadi kamu yang harus mewakilkan] [Papa : ajak Indira, kenalkan pada semua orang bahwa Indira adalah tunanganmu] Edgar baru saja akan pergi ke lapangan tenis saat tiba-tiba menerima pesan dari Papa Danu. Berisi rentetan perintah yang harus segera dilaksanakan. Rasanya konyol sekali karena Edgar harus mengajak Indira ke acara yang diadakan oleh seorang kolega bisnis. Untuk apa memamerkan Indira di depan semua orang? Tak ada yang spesial dari Indira, sehingga percuma memperkenalkannya di depan para kolega bisnis. Edgar membuka lemari, mengambil setelan jas. Dengan amat terpaksa, laki-laki itu membatalkan niatnya untuk bermain tenis. Ketika Edgar baru saja akan memasang dasi, ponselnya kembali bergetar. Papa Danu mengirim pesan lagi. [Papa : kirim fotomu bersama Indira di depan gedung baru Antara Group] [Papa : ini perintah, bukan permintaan] Dalam hati, Edgar mengumpat habis-habisan. Rasa kesalnya semakin naik sampai puncak kepala. Dengan langkah gegasnya, laki-laki itu meninggalkan kamar. Hendak meminta Indira untuk berganti pakaian dan bersiap-siap. “Indira!” panggil Edgar. Suaranya menggema di rumah yang sunyi itu. Beberapa saat kemudian, Indira keluar dari kamar. Gadis itu baru saja akan mengerjakan tugas kuliah, terkejut saat Edar tiba-tiba memanggilnya. “Kenapa, Mas?” tanya Indira. Edgar mengembuskan napas, lalu berkata, “cepat ganti baju, kita harus ke suatu tempat. Ini perintah dari Papa.” “Acara apa—” “Jangan banyak tanya.” Indira mengangguk pelan, lalu kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Menghadapi Edgar memang memerlukan kesabaran ekstra. Sikapnya suka berubah-ubah. Tadi malam begitu peduli sampai mau berjaga untuk mengganti kompres di kening Indira, lalu kini kembali pada mode galak. Indira tak mempunyai dress, blouse, atau rok. Pakaian paling bagus yang ia miliki hanya kemeja flannel dan celana jins. Hadiah dari adik-adiknya di panti asuhan, saat ulang tahun yang ke dua puluh. Akhirnya Indira memakai kemeja flannel dan celana jins itu. Kemudian, ia duduk di depan cermin rias untuk memakai sedikit lip tint. Agar bibirnya tak terlihat pucat dan kering. Beberapa menit kemudian, Indira keluar dari kamar sambil membawa tas sandang. Gadis itu terlihat seperti akan berangkat kuliah atau menghadiri sebuah seminar. Edgar sudah menunggu di lantai dasar. Laki-laki itu memakai setelan jas berwarna abu-abu, rambutnya ditata rapi. Aroma musk yang maskulin menguar dari tubuhnya. Edgar menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat, lalu kedua matanya membulat dengan sempurna. Di mata Edgar, penampilan Indira benar-benar menyedihkan. Tak layak untuk diajak menghadiri acara formal. “Kenapa pakai baju itu?” tanya Edgar. “Ini baju terbagus yang saya punya, Mas,” jawab Indira dengan percaya diri. Edgar memijit pelipisnya, kemudian tertawa hambar. Tak habis pikir dengan keputusan Papa Danu. Maksudnya, pasti ada banyak sekali perempuan di luar sana yang bisa dijodohkan dengan Edgar. Perempuan yang lebih pantas, berasal dari keluarga terpandang, dan memiliki segudang kelebihan. Sialnya, tak ada waktu untuk protes atau menggerutu. Edgar meraih kunci mobilnya, berjalan dengan cepat menuju carport. Indira mengekor di belakangnya. Dua manusia itu masuk ke dalam mobil, tanpa saling memandang atau bicara. Dalam hitungan detik, mobil yang dikemudikan oleh Edgar melaju meninggalkan rumah. Ekspresi Edgar terlihat serius, seolah sedang berpikir keras. Tatapannya tertuju ke arah jalanan, tangannya mencengkram setir erat-erat. Sementara itu, Indira memilih untuk tetap diam. Entah ke mana Edgar akan membawanya, gadis itu tak berani bertanya. Sebab satu pertanyaan dari mulutnya bisa saja memantik emosi Edgar. Selang sepuluh menit kemudian, Edgar menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan sepuluh lantai. Ada banyak karangan bunga yang ditata berjejer di dekat lobi, beberapa jurnalis juga menampakkan diri untuk meliput acara. “Shit,” gumam Edgar. Indira tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya menatap ke arah orang-orang berjas rapi yang baru saja keluar dari gedung. “Keluar dari mobil,” pinta Edgar. Indira melepas seat belt, kemudian keluar dari mobil. Menuruti perintah Edgar tanpa protes. Edgar mengeluarkan ponsel dari saku celananya, kemudian berkata, “berdiri di situ. Saya harus ngirim foto ke Papa.” Dengan amat terpaksa, Indira berdiri di pelataran parkir yang panas, lalu tersenyum ke arah kamera. Edgar langsung mengambil foto, mengirimkannya kepada Papa Danu. “Okay. Sekarang kamu bisa pulang naik taksi,” ujar Edgar sambil mengeluarkan dompet, lalu melemparkannya pada Indira. Untungnya, Indira bisa menangkap dompet hitam itu dengan cepat. “Mas Edgar ngajak saya ke sini cuma buat foto di depan gedung?” tanya Indira. “Right. Karena saya nggak mungkin ngajak kamu ke acara peresmian,” jawab Edgar, lalu berjalan meninggalkan pelataran parkir. Indira kehilangan kata-kata, menatap punggung Edgar yang kian menjauh setiap detiknya. Tampaknya Indira benar-benar tertimpa sial karena dijodohkan dengan Edgar. “Tuhan…” gumam Indira sambil meremas dompet yang ada di dalam genggamannya. “Bisa-bisanya aku dijodohin sama laki-laki nggak jelas kayak Mas Edgar.”[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa
Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert
Indira merasa seperti boneka. Yang didandani sedemikian rupa agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemiliknya. Dalam hal ini, pemilik yang dimaksud adalah Edgar. Ketika menatap cermin, Indira tak lagi menjumpai sosok gadis sederhana dengan pakaian lusuhnya. Kini, ia telah berubah menjadi seorang nona muda yang terlihat mempesona dari ujung kaki sampai ujung kepala. Edgar benar-benar membuang semua pakaian lama Indira, mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang baru. Demikian pula dengan sepasang sepatu kesayangan Indira yang telah lusuh, serta tote bagnya yang telah pudar. Indira menghela napas, perlahan menyentuh dress berwarna biru yang kini membalut tubuhnya. Sejak pertama kali masuk kuliah, tak pernah sekali pun Indira datang ke kampus dengan mengenakan dress. Rasanya benar-benar aneh. “Indira!” Lamunan Indira seketika buyar ketika mendengar suara panggilan dari arah bawah. Edgar memanggil, tampaknya minta dibuatkan kopi karena sampai detik ini Bi Imah belum kem
Malam ini Indira benar-benar sendirian di rumah tiga lantai yang sangat luas. Suasana rumah benar-benar sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang dan menggema. Sebenarnya Indira bukanlah seorang penakut. Saat masih tinggal di panti asuhan, Indira sering pergi ke ruang penyimpanan saat tengah malam untuk sekadar mengambil stok diapers atau selimut baru untuk adik-adiknya. Dan, ruang penyimpanan itu letaknya di belakang, dekat dengan kebun bambu yang gelap gulita ketika malam hari. Tapi, kali ini situasinya berbeda karena Indira berada di sebuah rumah mewah dengan banyak barang berharga di dalamnya. Bagaimana jika perampok tiba-tiba masuk karena tahu rumah dalam keadaan kosong? Sebab di luar sana, ada banyak sekali orang-orang yang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan. Maka, Indira hanya berdiam diri di dalam kamar. Mencoba mendistraksi pikirannya dengan mengerjakan tugas dan mendengarkan musik. Di atas meja, telah tersaji satu kotak nasi goreng dan sa
Pagi ini suasana rumah menjadi lebih tegang daripada biasanya. Indira bahkan tak berani bersuara, pura-pura fokus memasak nasi goreng di dapur. Mencoba untuk mengabaikan Edgar dan Ezra yang sedang berdebat di ruang makan. Kakak beradik itu jelas-jelas muak melihat wajah satu sama lain. Saat harus berada di tempat yang sama, perdebatan dan pertengkaran tak dapat dihindari. Tak ada yang bisa menengahi, sebab keduanya sama-sama keras kepala dan merasa menjadi pihak yang paling benar. “Udah hampir dua tahun kita nggak ketemu, Bang,” kata Ezra yang duduk di atas kursi sambil melipat kedua kakinya. “Terakhir kali ketemu di acara makan malam keluarga.” Edgar tersenyum sinis, lalu berkata, “tolong tahu diri sedikit, Ez. Statusmu cuma anak yang lahir dari hasil perselingkuhan. Nggak perlu bangga cuma karena ada Bumantara di belakang namamu.”“Yeah. Aku cukup tahu diri, that’s why selama dua tahun nggak pernah muncul lagi di rumah ini. Sekarang aku ke sini lagi karena permintaannya Papa.” “
[Mas Edgar : pulang jam berapa?]Indira mengucek matanya, memastikan bahwa sebaris pesan yang baru saja ia baca benar-benar dikirimkan oleh Edgar. Tumben sekali, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba mengirim pesan. Saking terkejutnya, Indira sampai hampir menjatuhkan ponselnya. Gadis itu sedang berada di perpustakaan, duduk di depan komputer untuk mengerjakan tugas. Ada setumpuk buku di hadapannya, dijadikan sumber referensi. Dengan ragu-ragu, jemarinya bergerak di atas layar ponsel untuk mengetik pesan balasan. [Indira : saya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, Mas. Mungkin selesai sekitar jam setengah lima]Usai mengirim balasan, Indira kembali memfokuskan pandangannya ke arah komputer. Ia harus bergegas menyelesaikan essay, setelah itu membuat power point. Memasuki semester enam, tugasnya memang kian menggunung. Belum lagi Indira harus mulai menentukan topik skripsi, lalu membuat kerangka proposal. Tak berselang lama, ponsel Indira kembali bergetar. Lagi-lagi nama Edgar y
Tugas yang sudah Indira ketik dengan susah payah ternyata tak tersimpan di emailnya. Indira sepenuhnya yakin kalau file tugasnya sudah terkirim lewat email sebelum komputer dimatikan. Tapi, rupanya tak ada apa-apa. Entah karena ada masalah dengan koneksi internet atau murni kesalahan yang dilakukan secara tanpa sengaja. Alhasil, Indira panik. Besok pagi tugasnya harus dikumpulkan, plus dipresentasikan dengan power point. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh petang, Indira tak bisa pergi ke perpustakaan karena dipastikan sudah tutup. Secara otomatis, gadis itu juga tak dapat meminjam buku sebagai sumber referensi. Indira bergegas menghubungi Kiran, berniat meminjam laptopnya. Tapi, sayangnya saat ini Kiran sedang mengikuti rapat himpunan. Laptopnya dipakai untuk mengetik proposal. Tiba-tiba Indira ingin menangis. Tugas yang sudah ia kerjakan dengan susah payah hilang begitu saja, waktu yang tersisa untuk mengerjakan ulang juga tidak banyak. “Mbak Indira!”Bi Imah memanggil, kemud
Awalnya, Edgar mengira kalau Indira adalah sosok gadis sederhana yang sejak kecil telah merasakan pahitnya kehidupan. Keadaan memaksanya untuk dewasa, tak ada ruang untuk cengeng atau merengek saat sedang kesusahan. Siapa yang akan membantu? Tidak ada. Segalanya harus diselesaikan sendiri.Tapi, akhirnya Edgar mengerti kalau pada akhirnya Indira tetaplah gadis dua puluh tahun yang masih agak kekanakan, suka menangis, dan suka mengeluhkan segala hal. Sama seperti manusia dua puluh tahun pada umumnya. Baru lepas dari dunia remaja, sering salah langkah dan tak mengerti apa-apa ketika dipaksa untuk menjadi dewasa. Agak miris sebenarnya. Indira harus memasang topeng, pura-pura kuat dan tegar menjalani hidup dengan keadaan yang serba terbatas. Jarang menunjukkan raut sedih atau meneteskan air mata di depan orang lain. Serta terus-terusan menolak bantuan karena tak mau membebani. “Mas Edgar, terima kasih banyak ya. Tadi malam mau meminjamkan laptop, plus bantu saya ngerjain essay,” ucap In