Lagu Car’s Outside mengalun secara on-loop dari sebuah ponsel yang terletak di atas nakas. Menyamarkan suara desah dan lenguhan berisik dari sepasang manusia yang bergumul di kamar hotel yang remang dan hangat itu.
“Edgar…Oh my God…” Satu nama terdengar di antara desahan yang memenuhi kamar. Edgar Pradana Bumantara, seorang Chief Executive Officer di sebuah perusahaan konstruksi. Di usianya yang menginjak angka tiga puluh, Edgar belum memiliki keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Laki-laki itu sangat mencintai kebebasan, enggan terbelenggu dalam ikatan konyol yang disebut dengan pernikahan. Toh, tanpa menikah pun, Edgar tetap bisa bersenang-senang dengan caranya sendiri. Seperti yang sedang dilakukan saat ini. Edgar mendesah saat telah tiba di puncaknya. Napasnya terengah-engah, dadanya yang bidang dibasahi keringat. Ia lantas duduk di tepi ranjang, menaikkan kembali celananya. Sementara itu, di atas ranjang ada seorang perempuan yang sedang menopang dagu dengan kondisi setengah telanjang. Matanya sayu, rambutnya sedikit berantakan. “Mau ke mana?” tanya perempuan itu. “Udah selesai, kan?” sahut Edgar dengan santai, disertai senyuman tipis yang terkesan hangat dan mempesona. Perempuan berambut panjang itu mengulurkan tangannya, menyentuh punggung Edgar dengan lembut. Meminta lelakinya untuk kembali berbaring di atas ranjang, barangkali mereka bisa tidur bersisian sampai pagi datang. “Stay here,” pintanya Edgar menyugar rambutnya, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana. Membakar ujungnya dengan pemantik hingga menimbulkan kepulan asap. Laki-laki itu lantas menoleh, menatap sosok perempuan yang masih berbaring di atas ranjang dengan sepasang mata sayunya yang menggoda. Edgar tak mengatakan apa-apa, hanya menyelipkan sebatang rokok di antara celah bibirnya. Jemarinya perlahan bergerak untuk menyentuh helaian-helaian rambut perempuannya yang agak basah akibat keringat. “Lupa kesepakatan kita?” tanya Edgar sambil mengepulkan asap putih ke udara. “One night stand. Setelah itu, semuanya selesai.” Perempuan itu tersenyum tipis, lalu merebut rokok dari jemari Edgar. “Aku mau coba ini,” ucapnya, kemudian menyelipkan rokok itu di antara celah bibirnya. Perempuan itu jelas tak tahu bagaimana cara merokok, hanya mencoba untuk menarik perhatian Edgar. Haruskah Edgar tinggal sebentar lagi? Barangkali menyelesaikan satu sesi lagi? “Kamu mau aku tetap di sini sampai besok pagi?” tanya Edgar sambil merebut kembali rokoknya. Mengisapnya secara perlahan, lalu mengepulkan asap putih ke udara. Perempuan berambut panjang itu langsung mengubah posisinya menjadi duduk, perlihatkan dadanya yang tak tertutup sehelai kain. Wajahnya mendekat, hendak berikan ciuman mesra di bibir Edgar. Sialnya, beberapa saat kemudian ponsel Edgar bergetar. Ada telepon masuk dari sang papa, Danuarta Bumantara. Jelas tak dapat diabaikan. Dengan berat hati, Edgar mengangkatnya. “Halo? Ada apa?” tanya Edgar. Edgar rasakan ada tangan ramping yang memeluknya dari belakang. Begitu erat, hingga posisi mereka terasa dekat dan intim. “Papa kirim alamat lewat chat. Datang ke sana sekarang juga, jemput Indira,” kata Papa Danu, serupa ultimatum yang tak boleh dibantah. Edgar mengerutkan kening, “Indira? Siapa?” “Nanti Papa jelaskan. Jemput dulu Indira di alamat yang sudah Papa kirimkan.” “Jelaskan dulu. Saya nggak bisa asal menjemput perempuan yang nggak jelas asal-usulnya.” “Cukup turuti perintah Papa, Ed. Jangan banyak bertanya.” Papa Danu mengakhiri telepon secara sepihak. Tak ingin dibantah atau didebat oleh sang putra. Edgar menghela napas, kemudian bangkit dari duduknya. Rokok dimatikan, puntungnya dibuang begitu saja ke atas lantai yang dingin. Laki-laki itu lantas melangkah keluar dari kamar hotel tanpa mengucapkan sepatah kata, tinggalkan partnernya bersama kekacauan yang tadi mereka ciptakan. *** Indira Kalani duduk seorang diri di halte. Membawa sebuah tas jinjing berukuran besar, serta sebuah ransel yang terlihat penuh. Gadis itu menatap rintikan hujan sambil sesekali menggosok kedua tangannya yang terasa dingin. Sudah hampir satu jam Indira menunggu. Meskipun sebenarnya Indira tak tahu siapa sosok yang sedang ditunggu. Tadi, Bu Ismi hanya meminta Indira untuk pergi ke halte karena ada seseorang yang akan menjemputnya. Kata Bu Ismi, ada orang baik yang ingin menanggung biaya hidup dan biaya kuliah Indira. Sehingga gadis itu tak perlu lagi pergi kesana-kemari mencari pekerjaan part time demi terus melanjutkan pendidikannya. Hujan semakin deras. Langit bergemuruh, kilatan petir terlihat mengerikan. Sesekali Indira memejamkan mata, dalam hati merapalkan doa, berharap hujan lekas reda. Sepatunya telah basah, bajunya juga sedikit basah akibat cipratan air. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kondisi jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Angkutan umum tak lagi terlihat, telah berhenti beroperasi karena sudah kelewat malam. Berbagai skenario mengerikan mulai bermunculan di dalam kepala Indira. Bagaimana kalau orang jahat tiba-tiba muncul untuk merampok atau berniat melakukan pelecehan? Apa yang harus Indira lakukan? Ponselnya mati, sehingga tak bisa menghubungi siapa pun. Suara teriakannya tak akan terdengar karena derasnya hujan. Lalu, tiba-tiba muncul sebuah mobil berwarna hitam. Berhenti tepat di depan halte. Sang pemilik mobil menurunkan kaca, mengamati Indira dengan ekspresi yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata. “Indira?” Indira mengerjapkan mata saat namanya dipanggil. “Iya, saya Indira,” jawab Indira, sedikit mengeraskan suaranya. Si pemilik mobil terlihat sedang berpikir, seolah ingin mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan untuk mengajak Indira masuk. Sementara itu, Indira masih diam di tempatnya, tak tahu harus melakukan apa. “Masuk,” kata Edgar pada akhirnya. “Maaf, anda siapa, ya?” sahut Indira. “Saya diminta buat jemput kamu di sini.” “Oh, anaknya Pak Danuarta?” Edgar menganggukkan kepala. Indira lekas berdiri, mengangkat tasnya yang terasa cukup berat. Gadis itu lantas berlari kecil, menembus hujan yang semakin deras. Edgar memasang ekspresi datar ketika Indira masuk ke dalam mobil. Kondisinya basah, bajunya lusuh, bahkan tasnya juga hampir rusak. “Ini tasnya ditaruh di mana, Mas?” tanya Indira yang terlihat kebingungan, tak tahu harus menaruh tasnya di mana. “Bagasi,” jawab Edgar. “Bagasi?” “Iya, belakang. Tinggal buka, terus taruh tasnya di sana.” Indira mengangguk, lalu keluar dari mobil. Kembali berdiri di bawah derasnya guyuran hujan untuk meletakkan tasnya di bagasi mobil. Saat kembali ke dalam mobil, kondisi Indira semakin basah. Ia tak dapat duduk dengan nyaman, khawatir kalau pakaiannya yang basah membuat jok mobil kotor. Edgar menatap Indira dari ujung kepala hingga ujung kaki, menyadari kalau pakaian dalam gadis itu terlihat dengan jelas karena kaus putihnya telah basah kuyup terkena hujan. Edgar mengembuskan napas, lalu meraih jaketnya yang tergeletak di jok belakang. “Pakai ini,” kata Edgar sambil melemparkan jaketnya ke arah Indira. Indira mengerjapkan mata, menatap jaket berwarna hitam yang mendaat tepat di atas pangkuannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Indira langsung memakai jaket milik Edgar. Terlalu besar, tapi cukup menghangatkan. “Who are you? Kenal ayah saya dari mana?” tanya Edgar setelah hening yang cukup panjang di antara mereka. Indira terdiam selama beberapa saat, tak menemukan kalimat yang pas untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Ia hanya menundukkan kepala, mulutnya tetap terkunci rapat. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicaranya, Edgar akhirnya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menelepon Papa Danu untuk memberi kabar bahwa Indira sudah berada di dalam mobilnya. “Bagaimana, Ed? Sudah menjemput Indira?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari putranya. “Yes, she’s here. Setelah ini harus saya bawa ke mana?” sahut Edgar sambil melirik sekilas ke arah Indira. “Pulang. Mulai sekarang, Indira tinggal bersama kamu.” “Apa?”Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote