Edgar tahu persis kalau Dauarta Bumantara adalah sosok sangat kolot dan konservatif. Selama ini menentang habis-habisan gaya hidup Edgar yang cenderung bebas, bahkan pernah mengusir seorang perempuan yang datang ke rumah untuk menemui Edgar.
Lalu, secara tiba-tiba Papa Danu berubah pikiran. Meminta Edgar membawa pulang seorang gadis yang tak jelas asal-usulnya. Membawa pulang, artinya mereka harus tinggal di bawah atap yang sama. Gila, bukan? Edgar tak mengatakan apa pun sepanjang perjalanan menuju rumah, otaknya sedang berpikir keras. Indira juga melakukan hal yang sama, enggan membuka mulutnya untuk sekadar berbasa-basi atau bertanya. Setibanya di rumah, Edgar memarkirkan mobilnya secara asal-asalan di carport. Tanpa mengucapkan sepatah kata, laki-laki itu melepas seat beltnya dan turun dari mobil. Melenggang begitu saja ke dalam rumah tanpa meminta Indira untuk ikut bersamanya. Indira akhirnya ikut keluar, dengan susah payah membawa tasnya yang cukup berat dan agak basah. Langkahnya terhenti di teras rumah, gadis itu menunduk untuk menatap sepasang sepatunya yang kotor dan basah. Dengan tergesa-gesa Indira melepas sepatunya, lalu meletakkannya di samping pot tanaman. Ia lantas berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang telanjang. Rasa dingin seketika menjalar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rumah tiga lantai bergaya klasik itu sangat besar dan luas. Dindingnya bercat putih, sebagian besar perabotann di dalamnya didominasi dengan warna hitam dan putih. Di ruang tamu, terdapat sebuah foto keluarga berukuran besar, terpajang bersisian dengan lukisan teratai. Dalam foto itu, terdapat sepasang suami istri bersama dua anak laki-laki. Indira termenung, mengamati foto keluarga itu dengan saksama. Ia langsung bisa mengenali Edgar, dalam foto itu usianya mungkin masih belasan tahun. Lalu, sayup-sayup terdengar suara dari arah dapur. Lamunan Indira seketika buyar. Gadis itu melanjutkan langkahnya dengan hati-hati agar tak mengotori apa pun. “Bapak dan Ibu berpesan kalau malam ini Mbak Indira tidur di kamanya Mas Ezra dulu,” ucap Bi Imah, seorang asisten rumah tangga yang telah bekerja di rumah Keluarga Bumantaa sejak enam tahun silam. Edgar tersenyum miris, “biarkan dia tidur di ruang tengah, Bi.” “Tapi, bagaimana kalau Bapak tahu?” “Nggak apa-apa. Besok saya yang bicara sama Papa. Jangan biarkan dia naik ke lantai atas.” Bi Imah mengembuskan napas, tak memiliki kuasa untuk mendebat ucapan Edgar. Edgar membuka kulkas, mengeluarkan sebotol air dingin untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ketika baru saja membalik badannya, Edgar menyadari kehadiran Indira. “Saya hanya diminta untuk menemui Pak Danu. Kata Bu Ismi, mulai sekarang Pak Danu yang akan memberi saya tempat tinggal dan membayar biaya kuliah saya sampai lulus,” jelas Indira, akhirnya bersuara. Edgar mengerutkan kening, lalu berkata, “sebelumnya kamu tinggal di mana?” “Sejak kecil saya tinggal di panti asuhan. Setelah lulus SMA, saya memutuskan buat tinggal di rumah indekos.” “Di mana kamu bertemu ayah saya?” “Saya belum pernah bertemu secara langsung dengan mereka, cuma mengobrol ringan lewat telepon.” “Kamu nggak keberatan tinggal di rumah seseorang yang bahkan belum pernah kamu temui sebelumnya?” “Kata Bu Ismi, saya bisa mempercayai Pak Danu. Beliau sudah hampir satu tahun menjadi donatur tetap di panti asuhan kami.” Edgar menghela napas, kemudian memijit pelipisnya sendiri. Situasi ini terasa semakin aneh. Ada banyak pertanyaan yang bermunculan di dalam kepala. Kenapa Papa Danu memutuskan untuk mengajak Indira untuk tinggal di rumah? Seandainya kasihan pada Indira yang statusnya yatim piatu, bisa memberikan bantuan berupa uang untuk biaya hidup dan biaya kuliah. “Ayah saya sering ke luar kota, jarang pulang. Secara teknis, cuma saya yang tinggal di rumah ini. Jadi, saya nggak nyaman kalau ada gadis yang nggak jelas asal-usulnya ikut tinggal di sini,” ucap Edgar tanpa basa-basi, kemudian mengeluakan dompet dari saku celananya. “I’ll give you money. Bisa dipakai buat sewa kamar indekos.” Laki-laki itu mengusir secara halus. Menawarkan sejumlah uang agar Indira segera pergi meninggalkan rumah. “Maaf,” ucap Indira beberapa saat kemudian. “Kalau Mas nggak nyaman dengan kehadiran saya di sini, saya bisa pergi sekarang juga. Nanti saja bisa jelaskan ke Pak Danu kalau saya nggak bisa tinggal di sini karena beberapa alasan.” Sebab Indira bukan pengemis yang suka mengulurkan tangannya untuk meminta-minta. Sekeras apa pun hidupnya, tak pernah sekali pun Indira berniat untuk membebani orang lain. “Silakan,” sahut Edgar tanpa ada keinginan untuk mencegah. Indira melepas jaket hitam yang membalut tubuhnya, lalu meletakkanya di atas meja. Gadis itu membungkukkan tubuh dengan sopan, kemudian berjalan meninggalkan rumah dengan langkah tergesa-gesa. Edgar terseyum tipis, kemudian berjalan menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Cukup lega karena Indira memutuskan untuk pergi dengan sendirinya. Begitu tiba di kamar, Edgar langsung melepas pakaiannya. Biarkan tergeletak begitu saja di atas lantai, tercecer seperti kain yang tak berharga. Ia lantas berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Shower dinyalakan. Air hangat mengaliri tubuh Edgar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Laki-laki itu tak menyadari kalau sejak tadi ponselnya berdering dengan lantang. Usai mandi, barulah Edgar menjumpai ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Papa Danu. “Apa lagi?” gumam Edgar, lalu menelepon balik sang papa. Tak butuh waktu lama bagi Papa Danu untuk megangkat telepon dari Edgar. “Kamu ini apa-apaan? Kenapa mengusir Indira?” tanya Papa Danu di seberang sana, terdengar sangat marah. “Dia pergi sendiri, Pa. Saya nggak mengusir,” jawab Edgar sambil membuka lemari, mengambil kaus pendek dan celana. “Cepat cari Indira sekarang juga! Harus ketemu! Bawa dia kembali ke rumah!” “Indira sendiri yang memutuskan buat pergi! Kenapa saya harus repot-repot mencari?” “Ikuti perintah Papa atau tinggalkan Bumantara Construction sekarang juga.” Edgar kehilangan kata-kata, tak menduga ancaman semacam itu akan terlonta dari mulut Papa Danu. “Memangnya siapa Indira? Anak haram yang selama ini Papa sembunyikan?” tanya Edgar dengan nada menyindir. “Jaga bicara kamu,” sahut Papa Danu di seberang sana. “Kali terakhir Papa bawa anak panti asuhan ke rumah, ternyata dia anak haram yang Papa sembuyikan. Bisa jadi Indira juga sama.” “Besok Papa jelaskan semuanya. Yang jelas, kamu harus cari Indira sekarang juga. Ini perintah, bukan lagi permintaan.” *** Indira berjalan melewati jalanan yang mulai sepi. Hujan telah reda, hanya tersisa gerimis kecil yang masih bisa Indira tahan. Gadis itu sesekali menengok ke kanan dan kiri, berharap ada taksi yang melintas. Ponselnya mati, sehingga mustahil untuk menghubungi siapa pun. Untuk pergi ke panti asuhan, ada jarak dua puluh kilometer yang harus dilalui. Jika berjalan kaki, entah pukul berapa Indira bisa tiba di tempat tujuannya. Tapi, gadis itu tak berheti. Kedua kakinya terus bergerak, meskipun sekujur tubuhnya terasa dingin luar biasa. Sebab pakaian dan sepatunya masih basah. Tas yang berat agak menyulitkan, membuat langkahnya sesekali tersendat. Bahkan sampai hampir tersandung batu yang ada di trotoar, untungnya tak sampai jatuh tersungkur. Ketika melewati kompleks pertokoan yang sepi, Indira menyadari ada suara mobil yang mendekat. Ia menoleh, menjumpai mobil berwarna hitam yang cukup familiar. Berhenti di tepi jalan. Indira menghetikan langkah, agak terkejut saat melihat Edgar keluar dari mobil. “Masuk,” kata Edgar, meminta Indira untuk masuk ke dalam mobil. “Nggak perlu, Mas. Saya bisa pulang ke panti asuhan sendiri,” tolak Indira dengan sopan. “Perintah dari Papa.” “Besok saya bisa bicara dengan Pak Danu lewat telepon—” “Jangan bikin situasinya tambah rumit. Masuk ke mobil sekarang juga.” Edgar memberi penekan dalam setiap kata yang terucap dari bibirnya. Ia tak ingin didebat atau dibantah. Terlalu malas kalau harus kembali bertengkar dengan Papa Danu karena masalah yang sama. Indira menghela napas, akhirnya menuruti ucapan Edgar. Mendekat ke arah mobil, menaruh tasnya di bagasi. Setelah itu, masuk ke dalam mobil dan memakai seat beltnya. Bibir gadis itu terlihat pucat, entah karena kedinginan atau karea efek lapar. “Listen,” kata Edgar sebelum melajukan mobilnya. “Saya nggak tahu siapa kamu yang sebenarnya. Saya biarkan kamu tinggal di rumah karena perintah dari Papa. Permintaan saya cuma satu, tolong jangan terlalu sering muncul di depan saya. Jujur, saya benci perempuan yang suka merepotkan orang lain.” Indira hanya diam, meskipun hatinya terasa nyeri saat mendengar ucapan Edgar. “Paham?” kata Edgar saat tak kunjung mendengar respon dari Indira. “Baik, Mas,” jawab Indira pada akhirnya.Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote