Jovan panik saat tahu istrinya belum pulang dan tidak menjawab panggilan telepon.
Ia kembali menelpon, kali ini sopir Albin yang dia yang dihubunginya. Nada tunggu mengalun beberapa detik. Bahkan hal itu semakin menambah kekhawatiran Jovan.
“Halo, Pak Saleh. Albin mana?” Jovan segera menodong sopir baru itu dengan nada bicara yang terdengar khawatir.
“Maaf, Pak. Saya gak tau. Tadi Ibu minta antar ke cafe, katanya dia mau ketemu teman. Terus saya disuruh pulang, kata Ibu nanti dia pulang sendiri aja,” terang Saleh takut-takut. Dia mendengar nada ketidaksukaan dalam suara Jovan.
“Kok kamu gak bilang, sih? Harusnya kamu bilang! Sampai sekarang dia belum pulang-pulang. Ditelpon juga gak diangkat-angkat!” ucap Jovan dengan nada meninggi.
“Maaf, Pak. Saya gak tau.” Saleh terpojok dan merasa tidak enak hati. Manalah dia tahu nyonya-nya aka
Mobil yang dikemudikan Herman sudah berhenti tepat di depan rumah. Albin membuka pintu mobil lebih dulu sebelum Jovan dan ia langsung turun tanpa melihat ke arah sang suami. Seakan-akan tidak ada siapa pun di sisinya. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat dan lebar. Seakan-akan di belakangnya ada hewan pemangsa yang siap menerkam dirinya. Jovan memperhatikan tingkah Albin. Dia menggelengkan kepala dengan perasaan jengkel, “Makasih, Pak Herman.” Ia menepuk pundak sopirnya. “Sama-sama, Pak.” Herman mengangguk pelan. Bos-nya hampir tidak pernah lupa untuk selalu mengucapkan terima kasih di akhir pertemuan mereka, di setiap hari. Jovan membuka pintu kemudian keluar dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah. Langkah kaki Albin masih terdengar dari tempatnya berjalan. Ia menaiki anak tangga dan terus berjalan hingga ke depan pintu kamar Albin. BRAK!!! Jovan menekan ken
Albin memeluk sambil mengusap punggung Jovan yang gemetar dan terasa basah. Tubuh suaminya terasa sangat dingin. "Jovan, Jovan tenang." Albin mempererat pelukannya. Jovan memeluk tubuh Albin semakin erat dan lekat seakan dirinya akan segera dipisahkan dari sang istri. Sedu sedan Jovan terdengar di sela tangisannya. Ia seperti anak-anak yang ketakutan dan menangis di pelukan ibunya. “Albin, ambilkan obat di dalam laci, di kamar,” ucap Jovan lirih dengan bibir bergetar. “Di laci yang mana? Laci di kamar kamu ‘kan banyak.” “Di dekat kasur yang sebelah kanan,” kata Jovan melepaskan pelukannya dari tubuh Albin kemudian berbaring di lantai. Ia menekuk kedua tangan dan kaki merapat ke dada. Matanya terpejam dan dia masih gemetar. Albin sangat cemas dan bingung melihat tingkah Jovan. Dia terlihat aneh di matanya.
Jovan berdiri di depan dinding kaca di kantornya sambil melihat jauh ke barat. Matahari akan segera tenggelam. Langit berwarna jingga menyala dihiasi semburat merah muda yang begitu cantik dilangit senja. Pikirannya tidak bisa lepas dari Albin. Bukannya dia dungu tidak bisa memahami keinginan istrinya dan bukan pula matanya buram tidak mampu melihat jelas isyarat yang ditunjukkan sang istri. Ia bukan lelaki tolol yang tidak paham wanitanya menginginkan dirinya, bahkan Jovan sadari, dirinya pun sudah sangat menginginkan Albin sejak malam itu. Sejak ia mengantarkan Albin pulang, di malam pertemuan pertama mereka. Jovan ingat, betapa inginnya dia merengkuh Albin ke dalam pelukannya saat mereka berduaan di mobil. Bahkan pikiran liar untuk membawa Albin ke apartemen pernah melintas di benaknya saat meletakkan tubuh tak berdaya Albin di atas kasur kala itu. Hanya saja, bayangan itu selalu saja menggangg
Senyuman lebar dan raut wajah bahagia serta penasaran menghiasi wajah cantik Albin.Ia membuka kotak dan mendapati sesuatu amat sangat di luar dugaannya. Ia melihat ke arah plastik transparan. Sesuatu menyembul dengan gagah di sana. Mata Albin membulat. “Apa ini?” tanya Albin. Dia syok melihat hadiahnya, “ini maksudnya apa, Jo? Kenapa aku dikasih beginian?” “Ehem …” Jovan berdehem. Ia semakin gugup, “jadi gini, kan kamu bilang mau. Mau … ah gimana ngomongnya, ya. Intinya gini … kamu jangan cari lelaki lain. Aku gak bisa terima itu. Kalau kamu mau, pakai itu aja, jadi kita bisa segera ikut program kehamilan.” “Apa sih? Aku gak paham. Kamu maunya apa? Kamu mau masukin ini ke aku?” Albin terhenyak. Emosinya kembali mendidih. “Gaaaak! Bukan gitu. Kamu lakukan sendiri aja. Nanti setelah itu kita bisa USG.” Wajah Jovan mulai cemas.
Albin turun ke bawah untuk sarapan pagi. Dia ingat Jovan berkata jam 7 pagi petugas Lab akan datang mengambil sampel darahnya untuk diperiksa. Saat ini sudah pukul 6:30 dan biasanya suaminya sudah berada di meja makan. Ia menapaki anak tangga dengan perasaan tidak menentu, mengingat tadi malam mereka habis bertengkar. Albin terperanjat melihat seorang lelaki paruh baya sudah duduk di sana. Ia menelan ludah saat mengenali lelaki itu adalah Adi-sang ayah mertua. “Pa,” sapa Albin sambil tersenyum. Dia menarik kursi lalu duduk, bergabung bersama mertuanya. Adi mengangguk pelan sambil tersenyum hangat, “Mana Jovan?” “Hum …” Albin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sambil berfikir menyusun kata yang akan diucapkannya. “Mungkin masih tidur,” kata Albin ragu. Biasanya Jovan sudah ada di meja makan, tapi hari ini dia tidak tampak sama se
Jovan membuka lemari dan memilihkan pakaian untuk diberikan kepada Kei. Ia juga memberikan handuk bersih untuk sahabatnya. “Lo duluan, gih,” kata Jovan sambil memberikan pakaian yang dia pilih. “Ok,” Kei mengangguk. Ia melangkah menuju kamar mandi. Sementara itu, Jovan membuka membuka lemari untuk mengambil vodka dan kembali menuang minuman ke dalam gelas hingga berisi seperempatnya. Ia mengambil es di kulkas kecil yang terdapat di dalam kamarnya. Jovan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ingatannya seakan ditarik kembali pada kenangan 10 tahun yang lalu. “I want you, Jo. Let me feel you,” ucap seorang gadis berwajah cantik berambut cokelat mengalungkan kedua tangannya di pundak Jovan. “Maaf, Anna. Aku sedikit konservatif tentang masalah ini. Aku hanya melakukannya setelah menikah. Apa kamu keberatan?” Jovan menatap dalam iris biru wanita di cantik di depannya.
Albin memasukiPepper Academymembawa segudang pertanyaan untuk Kei. Ia menunggu sahabat suaminya dengan gelisah. Saat ia melihat lelaki itu mendekat, rasa lega pun menghampirinya. “Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu?” Kening Kei mengkerut. “Kei, gue mau ngomong sama lo. Bisa?” Pinta Albin dengan nada ragu. “Bisa. Pas udah selesai, ya. Kita pergi keluar aja.” Kei terdengar senang saat mengatakannya. Albin ingat pesan Jovan, ia harus menjaga sikap. Pergi berduaan bersama Kei mungkin bukan ide bagus. Lagi pula bagaimana jika nanti Jovan cemburu? Bukan cemburu pada dirinya, tapi cemburu kepada Kei, mereka kekasih ‘kan? Pikiran itu berkecamuk di benak Albin. “Kita ngobrol di ruangan lo aja. Bisa?” tolaknya. “OK.” Kei mengangguk tanda setuju. Sembilan pul
Jovan mengetuk pintu kamar Albin kemudian menekan kenop lalu membuka daun pintu, “Udah belum? Masih lama?” tanya Jovan sambil memperhatikan istrinya. “Udah, kok,” jawab Albin memakai sepasang flat shoes di kakinya. “Ayo, cepetan kita udah ditungguin,” desak Jovan sambil berdiri di depan pintu. Wajahnya gusar. “Kita mau ketemu siapa, sih?” Albin penasaran. “Nanti juga kamu tau,” jawab Jovan cuek. Ia berjalan di depan Albin menuruni tangga menuju mobil. “Ish!” desis Albin kesal. Wajahnya cemberut, “Gue cuma tanya. Takutnya nanti lo bawa gue ke acara Rumah Uya. Tau-tau dikatain pelakor di situ kan gawat!” Jovan tidak peduli. Dia menggelengkan kepala. Terkadang dia bingung dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa jatuh cinta kepada perempuan berisik seperti Albin. “Jo!” s