Share

[3]. Pulang

“Kau sudah menyelesaikan S3 juga disini, apalagi alasan yang akan kau buat agar kau tidak pulang kali ini?”

Rama menghela nafas jengah. Selalu saja seperti ini. Kakaknya, Rangga, akan datang mengunjunginya di London dan memintanya pulang.

“Jangan memberiku alasan lagi, Rama. Aku sudah cukup menolerir alasan pendidikanmu selama ini. Tapi sekarang kau sudah lulus. Sudah waktunya kau kembali dan membantuku mengurus perusahaan. Bukankah itu impianmu sejak dulu? Meneruskan perusahaan yang Papa bangun?”

Rama memilih tidak menjawab. Memang benar itu mimpinya sejak dulu. Tapi itu dulu dan bukan sekarang. Apa ia tidak bisa memiliki mimpi yang berbeda sekarang?

“Kau tidak akan menjawabku?”

“Astaga, Kak. Kau selalu saja membicarakan hal yang sama setiap kali kita bertemu. Kau tidak bosan?” tanya Rama muak. “Lagipula harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku sudah tidak ingin mengurus perusahaan itu lagi? Yap, kuakui meneruskan perusahaan Papa adalah mimpiku. Tapi itu dulu. Dan lagi kulihat kau sudah sangat baik mengurus perusahaan Papa saat ini. Kau tidak perlu bantuanku.”

Rangga menatap tajam adiknya yang mengalihkan pandangannya. Matanya menyipit curiga. Ia sudah seringkali berusaha membujuk Rama agar mau kembali ke negara kelahiran mereka. Tapi adiknya yang sangat keras kepala ini selalu saja memiliki alasan untuk menghindar. Entah bagaimana mulanya, tapi Rangga memiliki firasat kalau adiknya ini sedang melarikan diri.

“Sebenarnya apa sih yang sedang kau hindari, Rama? Kau seperti orang yang sedang melarikan diri dan tidak berani pulang ke rumah.”

Rama melirik Rangga tapi kemudian melanjutkan tatapannya yang menatap jalanan di luar jendela. “Aku tidak sedang melarikan diri dari apapun.”

“Tapi sikapmu menunjukkan kau sedang melarikan diri.”

“Aku tidak sedang menghindari apapun,” kata Rama dengan penuh penekanan pada kata tidak. Ia melemparkan pandangan pada kakaknya dengan ganas. “Kenapa kau selalu bersikukuh pada hal ini? Bukannya bagus kalau kau tidak memiliki saingan dalam mewarisi perusahaan?”

Rangga terdiam mendengar kata-kata adiknya. Mewarisi perusahaan dia bilang? Hal itu bahkan tidak pernah terlintas di kepalanya. Ia malah berencana untuk angkat tangan dari perusahaan saat adiknya sudah menyelesaikan studinya. Tapi lihat anak ini sekarang? Masih keras kepala tidak ingin pulang bagaimanapun caranya.

“Kalau begitu, buktikan! Pulang dan bantu aku mengurus perusahaan Papa.”

Rama dan Rangga saling melempar tatapan tajam. Sama-sama bertekad dengan jawaban masing-masing. Tak ada yang mau mengalah.

“Sebenarnya kau mengerti atau tidak perkataanku? Sudah kubilang aku tidak ingin mengurus perusahaan. Jangan memaksaku!” kata Rama ketus.

Rangga menghela nafas lelah. Dua orang yang keras kepala seperti mereka tidak akan menyelesaikan apapun tanpa salah satunya mengalah. Dan melihat Rama sekarang yang sepertinya bahkan lebih siap baku hantam dengannya daripada mengalah, ia tahu ia harus punya cara lain yang bisa membuat Rama pulang. Ia berpikir cepat.

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Aku juga akan berhenti mengganggumu.”

“Bagus kalau begitu,” respon Rama.

“Tapi hanya jika kau membantuku dalam satu hal.”

Rama mendengus keras. Ia tahu bagaimana kakaknya bisa selicik apa hanya untuk membawanya pulang. Tapi apapun yang akan dikatakan kakaknya, ia hanya tahu satu hal. Ia tidak akan pernah pulang.

*****

Raya memakan makan siangnya sendirian. Ia memandang jendela besar kantin yang tengah menyajikan pemandangan rinai hujan yang turun lumayan deras. Melihat itu, ia tersenyum senang. Ia selalu menyukai hujan kapanpun dan dimanapun. Suara hujan yang turun selalu mampu membuatnya merasa lebih tenang dan damai. Baunya yang memenuhi sekitar sekaligus bercampur tanah basah selalu bisa membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Dan hujan yang mengenai kepalanya rasanya seperti mampu meluruhkan setiap masalah yang menggenang di pikirannya. 

Ia selalu menyukai hujan. Entah sejak kapan.

Seseorang meletakkan nampan makanannya dan duduk di depan Raya ketika Raya tengah asyik menikmati hujan yang turun. Raya mengalihkan pandangannya. Mata hitam, hidung mancung, bibir tipis dan rambut hitam yang dipotong pendek nan rapi. Tahi lalat kecil terlihat di tepi cupang telinganya. Memakai kemeja tosca dengan dasi bergaris yang terlihat sangat pas dipakai. Sebuah name tag karyawan dengan foto formal tergantung di lehernya. 

Raya tersenyum. Ia mengenali orang itu.

“Sepertinya kau baru memotong rambutmu,” kata Raya seraya menyuapkan makanan kedalam mulutnya.

Nino Aditya. Seorang karyawan juga yang bekerja di satu divisi dengannya. Ia tersenyum dan menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya yang besar. 

“Saya sudah yakin sejak awal bahwa Anda adalah satu-satunya orang yang pasti akan menyadari perubahan rambut saya,” kata Nino. “Bukankah Anda terlalu teliti, Bu Raya? Tidak ada orang lain yang menyadari saya memotong rambut. Saya hanya memutuskan untuk merapikannya sedikit.”

“Berhenti memanggilku Ibu, Nino,” kata Raya penuh peringatan. “Harus berapa kali kubilang? Dan aku tidak hanya memintamu tapi juga seluruh orang di tim kita. Lagipula kau kan yang lebih tua dariku.”

Nino terkekeh. Ia senang sekali menggoda Raya.

“Oke, oke...” Nino mengangkat tangannya, menyerah. “ Tidak perlu marah.”

Raya mendengus pelan.

“Tapi omong-omong, aku tadi mendengar rumor akan ada anggota baru di tim kita. Apa itu benar?” tanya Nino. 

Raya adalah ketua tim di tim mereka. Satu-satunya orang yang bisa ia tanya untuk memastikan rumor tentang tim mereka tentu saja hanya Raya. Karena jika itu benar, Raya adalah orang pertama yang akan tahu diantara mereka semua yang berada di tim yang sama.

Raya mengangkat satu alisnya bingung. “Anggota baru? Aku bahkan tidak tahu ada lowongan pekerjaan di tim kita.” Raya berusaha mengingat-ingat apakah atasannya pernah mengatakan ini padanya. Tapi sejau ia bisa mengingat, tidak ada satu pembahasan pun yang mengatakan akan ada karyawan baru sebagai anggota timnya. “Aku juga tidak mendengar apapun dari atasan kita.Lagipula kurasa saat ini kita tidak membutuhkan tambahan orang. Kau mendengar hal itu dari mana?”

“Aku tidak sengaja mendengarnya sekilas saat kemari. Karena itu aku langsung bertanya padamu. Hanya untuk memastikan,” jawab Nino.

“Tapi jika itu benar, harusnya aku sudah diberitahu lebih dulu.”

Nino mengangguk setuju. Ia mulai memakan makan siangnya.

Ting!

Raya mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang menyala memunculkan notifikasi pesan masuk. Ia membaca pesan dalam bahasa inggris yang baru saja masuk.

Dr. Alex

Kau tidak lupa bukan kalau hari ini aku akan kembali ke London, bukan? Kau sendiri yang bilang akan mengantarkan kepergianku.

Raya ternganga. Ah, bagaimana bisa ia lupa hal sepenting ini?

Raya mengetikkan balasan.

Ah, maafkan aku, dok. Aku hampir saja melewatkannya. Apa anda sudah di bandara sekarang?

Tak butuh waktu lama, balasan pesannya datang.

Dr. Alex

Aku sedang dalam perjalanan kesana sekarang. Jadi cepatlah menyusul sebelum aku benar-benar melupakanmu.

Raya tersenyum membaca balasan dokter yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.

Otewe dok.

Raya segera bangkit dari tempat duduknya dan balas menatap Nino yang mendongak menatapnya keheranan dengan pandangan bertanya-tanya.

“Ada apa?” tanya Nino.

“Aku harus keluar sebentar. Ini darurat. Tolong handle semuanya menggantikanku semantara ini ya! Aku akan kembali dalam 2  jam,” kata Raya sembari buru-buru pergi tanpa menunggu jawaban Nino.

*****

Raya berjalan dengan cepat setelah turun dari taksi menuju keberangkatan luar negeri. Ia membaca papan informasi digital yang menunjukkan waktu keberangkatan pesawat. Ia menyipit. Pesawat yang akan ditumpangi orang yang sedang ia cari belum waktunya boarding. Itu berarti ia masih memiliki kesempatan untuk sedikit berbicara dengannya.

Raya menatap sekeliling. Ia berjalan, memutar tubuhnya mencari di antara puluhan orang yang lalu lalang. Tapi setelah 10 menit, ia menyerah. Ia benar-benar sangat benci berada diantara keramaian orang.

Ting!

Raya meraih ponselnya. Ia menggerutu pelan. Bodoh! Bagaimana ia bisa lupa ada teknologi canggih bernama ponsel. Ia harusnya sejak awal bertanya dimana posisi dokter itu daripada pusing-pusing mencarinya.

Dr. Alex

Kau tidak bisa menemukanku?

Raya tertegun. Apa ini artinya dokter sudah melihatnya sejak tadi? Apa ia tak sengaja melewatinya saat berjalan mencarinya?

Ia mulai mencari lagi di sekitarnya. Berusaha menemukan dokter itu dengan ciri-ciri yang diingat kepalanya.

Ting!

Sebuah pesan masuk baru menyusul tak lama kemudian. Raya memeriksa segera.

Dr. Alex

Aku tepat di cafe di depanmu. Memakai baju biru laut. Duduk sendirian. Dan melambai ke arahmu.

Raya mengalihkan pandangannya menuju ke arah cafe di depannya. Seorang pria asing berkulit putih khas Eropa dan berbaju biru melambai ke arahnya.

Raya tertawa miris. Laki-laki yang harusnya ia kenali dengan mudah, ternyata tidak bisa ia temukan sendiri. Ia sangat menyedihkan, bukan?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status