Share

[2]. Raya dan Alya

Raya menghela nafasnya pelan. Pekerjaannya hari ini benar-benar melelahkan. Jika ia tidak menyelesaikannya sedikit lebih cepat, ia mungkin sudah kehilangan kereta terakhir. Untung saja ia masih sempat menaiki kereta tersebut sebelum benar-benar berangkat.

“Si bos tidak berperasaan itu benar-benar keterlaluan. Apa ia sengaja membuatku sangat sibuk hingga membuatku ingin resign setiap hari?” gerutu Raya.

Raya menutup matanya sejenak, berusaha mengusir rasa kantuk dan lelahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar tetap terbuka. Tapi sepertinya ia terlalu lelah hari ini. Ia melirik jam tangannya. Masih ada 15 menit sampai kereta berhenti di stasiun yang ia tuju. Mungkin tidur sebentar tidak akan apa-apa.

Rasanya baru saja ia memejamkan mata, Raya tersentak bangun. Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya berdiri tiba-tiba. Sepertinya tanpa sengaja kepala Raya  bersandar pada laki-laki itu saat ia tertidur yang membuat laki-laki itu merasa tidak nyaman dan berdiri menjauhinya. Raya yang masih merasa sedikit pusing karena bangun dengan tiba-tiba mencoba menyadarkan dirinya. Ia sedikit membungkuk dan minta maaf karena membuat laki-laki itu tidak nyaman.

Tak lama, terdengar pengumuman bahwa kereta yang ia tumpangi akan sampai stasiun dekat tempat tinggalnya. 

“Untunglah aku tidak ketiduran dan melewatkan stasiun ini,” kata Raya bersyukur. Meskipun ia bangun dengan cara yang tidak ia pikirkan, Raya bisa bangun tepat waktu. Kalau saja laki-laki itu tidak berdiri tiba-tiba dan membangunkannnya, bisa-bisa ia akan tertidur sampai stasiun terakhir saat tengah malam dan harus naik taksi berputar arah menuju tempat tinggalnya. 

Raya berdiri. Bersiap keluar dari kereta. Ia mengecek barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal, menyisir sedikit rambutnya dan menata pakaiannya yang agak kusut dengan bantuan pantulan kaca jendela kereta yang berlatar belakang pemandangan malam. 

Ketika kereta berhenti, Raya keluar dengan cepat. Ia berjalan keluar stasiun dengan mudah. Jarak antara stasiun dan tempat tinggalnya hanya berjarak 10 menit jalan kaki. Tempat yang cocok dan strategis untuk dirinya yang menginginkan tempat tinggal murah namun tidak jauh dari transportasi umum. Sedangkan tempat kerjanya yang berada di tengah-tengah kota tidak memungkinkannya mendapat tempat tinggal yang sesuai dengan dana yang ia anggarkan.

Raya berbelok ke minimarket 24 jam dekat tempat tinggalnya. Saat ini ia sangat lelah dan kelaparan. Ia tidak akan sanggup untuk memasak apapun saat sampai nanti. Ia lebih memilih langsung mandi lalu tidur di kasurnya yang empuk. Tapi mengingat tidak ada apapun di kulkasnya untuk dimakan besok pagi, ia membeli 2 potong sandwich, beberapa bungkus mie instan, kopi bubuk dan sekotak besar susu. Cukup untuknya dimakan malam ini dan untuk sarapan besok.

Setelah menyapa satpam yang menjaga tempat tinggalnya, Raya menaiki tangga ke lantai 3. Tempat tinggalnya sekarang semacam apartemen yang tidak terlalu mewah tapi cukup untuknya tinggal sendiri. Sudah dilengkapi dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu sekaligus ruang bersantai kecil. Bahkan terpasang satu AC juga di kamarnya. Cukup untuk mengatasi hawa panas daerah perkotaan, meskipun tidak sepanas tengah kota.

“Aku pulang.”

Sudah kebiasaan bagi Raya untuk mengatakan hal itu saat masuk ke apartemennya meskipun ia tahu tidak akan ada yang menjawabnya. Ia berjalan menuju ke arah dapur, menata barang belanjaan di kulkas dan masuk ke kamarnya. Ia langsung menjatuhkan dirinya diatas kasur. Menghirup aroma familiar yang selalu ia cium. Ia menolehkan kepalanya ke arah nakas. Memandang fotonya bersama Alya.

“Hai, Al. Aku pulang. Melelahkan sekali hari ini. Terlalu banyak laporan yang harus kukerjakan. Bagaimana denganmu? Apa harimu berjalan baik? Ah, kau pasti sedang bersenang-senang disana kan? Apa kau bertemu laki-laki ganteng disana? Pasti begitu! Menyenangkan sekali. Sedangkan aku disini harus berkutat menjadi budak bos perusahaan demi gaji,” Raya tertawa kecil. “Dan tahun ini aku sudah menginjak 27 tahun. Tapi melihatmu sekarang, sepertinya kau tetap tidak bertambah tua ya? Sepertinya wajahmu memang tipe yang awet muda. Atau itu hanya karena baju seragam yang kau pakai?”

Foto yang ia pandangi saat ini adalah fotonya bersama Alya yang tengah memakai baju seragam SMA. Raya mendapatkannya dari Bu Ranti yang berharap itu bisa membantunya mengingat sesuatu. Tapi bagaimana ia bisa mengingat sesuatu ketika ia bahkan tidak bisa mengenali yang mana dirinya sendiri di foto itu jika bukan karena nama yang tertera di seragamnya? Raya menghela nafas. Ia sungguh berharap Bu Ranti tidak banyak berharap pada ingatan masa lalunya yang tak kunjung kembali.

Ia kembali mengobrol dengan foto Alya.

“Hei, Al. Apa kau tidak mau mengirimkan satu laki-laki untukku? Aku sedang kesulitan disini. Sepertinya tidak ada laki-laki yang bisa menerima keadaanku. Mungkin itu kesalahanku sendiri yang tidak mengatakan apapun pada laki-laki manapun,” Raya terkekeh. “Bahkan kalaupun ada yang tahu, aku tidak yakin akan ada yang benar-benar menerimaku. Yah... meskipun hal itu bisa dimengerti. Pasti sangat menyakitkan memiliki kekasih yang tidak bisa mengenalimu bahkan ketika kau berdiri di depannya, bukan?” kata Raya lirih. “Tapi yang lebih menyakitkannya lagi, jika seumpama dia tidak mempercayai rasa sukaku padanya hanya karena aku tidak bisa mengenalinya dimanapun. Tapi itu kan bukan salahku...”

Raya termenung. Ia menghela nafas pelan.

“Aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kau benar-benar ada disini sekarang, Al. Apa segalanya akan berbeda untukku? Apa kita akan tetap akur layaknya saudara seperti apa yang selalu Bu Ranti ceritakan? Entahlah... Imajinasi terliarku pun tidak bisa mencapai pemikiran itu. Tapi setelah 10 tahun berlalu, aku belum bisa mengingat apapun. Aku tidak bisa mengingat bagaimana diriku dulu, apalagi mengingatmu.”

“Disamping itu, aku juga terlalu takut membaca buku harian yang Bu Ranti temukan. Buku harian itu rasanya seperti kotak pandora bagiku. Aku takut aku mungkin akan menemukan hal-hal yang lebih baik tidak kuingat. Aku takut aku mungkin akan merasa bersalah karena tidak bisa mengingatmu bahkan setelah selesai membaca buku harian itu. Aku takut aku akan menyesal setelah mengetahui semuanya. Tapi disisi lain, Al, aku juga penasaran bagaimana hidupku dulu? Bagaimana kita dulu? Meskipun Bu Ranti sudah sangat sering bercerita tentangmu, aku yakin di buku itu juga banyak hal-hal yang mungkin Bu Ranti tidak tahu dan hanya kita berdua yang tahu.”

Raya kembali menatap bingkai fotonya dan Alya.

“Kalau kau jadi aku, Al, apa yang akan kau lakukan? Melanjutkan hidupmu yang mulai terasa nyaman sekarang atau menggali masa lalu yang mungkin bisa menyakitimu?”

Hening. Tidak ada jawaban. Tidak ada lagi suara. Raya tenggelam dalam pikirannya.

Menolak tenggelam lebih dalam, Raya bangkit. Ia melepaskan semua pakaian kerjanya, memakai bathrobe dan pergi mandi. Ia kemudian pergi ke pantry, mengeluarkan susu dan sandwich yang ia beli tadi dan mulai menikmatinya.

Tak lama, ponselnya yang ia charge di dalam kamar berbunyi. 

Nino

Raya mengangkat satu alisnya. Kenapa hampir tengah malam begini Nino menelponnya?

“Halo.”

Suara diseberang sana menjawab, “Bu Raya, barusan saya mengirim laporan pemasaran bulan ini. Karena satu hal, Vice Director meminta laporannya diberikan besok sebelum ia pergi ke London.”

“Apa? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”

“Maafkan saya, bu. Sekretaris Vice Director juga baru memberitahu saya tadi. Karena itu saya langsung menyiapkan bahan-bahannya dan mengirimnya ke e-mail ibu.”

Raya menggerutu dengan jengkel. Laki-laki itu! Untung gaji yang didapatkannya sebanding, karena kalau tidak mungkin ia sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu sejak lama.

“Oke. Terimakasih atas kerja kerasnya. Dan tolong, Nino! Jangan memanggilku dengan sebutan “bu” atau menggunakan bahasa yang terlalu formal padaku. Demi Tuhan! Kau itu lebih tua 2 tahun dariku, Nino!”

Nino terkekeh, “Hehe, maaf bu kebiasan. Ups... maksudku Raya.”

Raya menutup telponnya. Ia menggerutu keras, “dasar si bos resek. Apa dia baru akan berhenti memberiku pekerjaan lembur jika aku memutuskan resign?” 

Mau tidak mau Raya memaksakan dirinya bergerak. Ia mengambil tempat di atas kasurnya, meraih laptop dan dengan segera memeriksa kotak masuk e-mail kerjanya. Jam diatas nakasnya menunjukkan pukul 11.40 malam. 

Ia melirik foto di samping jam tadi.

“Kau mau menemaniku begadang lagi, Al?”

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status