Sore itu, langit kota mulai memudar ke jingga, tapi hati Raina justru menghitam. Undangan pesta di tangannya mengilap keemasan, disablon tinta timbul dan ditutup segel lilin merah berlogo Gunawan Corporation. Sekilas terlihat mewah dan megah, namun bagi Raina, itu tak ubahnya surat perintah masuk ke medan perang.
Ia menatap segel itu, lalu membukanya perlahan. Di dalamnya, selembar kartu undangan yang berbunyi: "Keluarga Gunawan mengundang Anda untuk menghadiri perayaan ulang tahun Nadine Gunawan ke-25.Acara akan dilangsungkan di Gunawan Estate, hari Sabtu, pukul 19.00 WIB.Dress code: Formal.Kehadiran Anda akan sangat kami hormati."Raina menyandarkan punggung ke kursi. "Formal, ya," gumamnya. Seolah pesta itu hanya tentang gaun malam dan gelas sampanye, bukan tentang pengkhianatan dan darah yang belum dibayar lunas. Atau masa lalu yang belum sepenuhnya ia mengerti.Dari dapur, Elvano memperhatikannya. Ia tak lagi bertanya ke manaLangkah mereka keluar dari lorong itu terasa seperti keluar dari perut waktu. Dunia di luar masih gelap, tapi bukan kegelapan yang menakutkan—melainkan kegelapan menjelang pagi. Kegelapan yang menggigil, yang diam-diam menyisakan harapan akan datangnya cahaya.Amara menarik napas dalam-dalam. Udara gunung yang dingin menusuk paru-paru, tapi juga menyegarkan. Ia menatap langit yang masih pekat, dengan jejak bintang yang mulai memudar. Di sebelahnya, Elvano berdiri diam. Wajahnya diterpa cahaya pucat dari fajar yang mulai merangkak pelan-pelan di balik bayangan pohon-pohon tinggi.Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiri di sana. Tidak ada yang bicara.Kadang, kesunyian bukan tentang tidak adanya suara, melainkan tentang adanya rasa yang tak perlu diucapkan.“Elvano,” suara Amara akhirnya memecah hening.Lelaki itu menoleh perlahan. “Hm?”“Kau pernah kembali ke masa lalu?”Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan.Elvano menghela napas, menggosok kedua tangannya karena udara dingin.
Udara di dalam lorong itu lembap dan pengap. Bau tanah tua dan kayu lapuk memenuhi hidung, seperti aroma masa lalu yang terkurung terlalu lama dalam diam. Langkah kaki Amara dan Elvano menyusuri gelap dengan hati-hati, hanya ditemani cahaya kecil dari kristal biru yang tergantung di dada liontin Amara. Cahaya itu tidak terang, tapi cukup untuk memberi mereka arah. Cukup untuk memberi harapan.Dinding-dinding sempit lorong itu berbicara dalam bisikan sunyi—retakan kecil di batu, akar pohon yang menembus masuk, dan gelegar gemuruh yang kadang terdengar dari atas kepala mereka, entah ledakan atau hanya bayang-bayang ketakutan yang terus membuntuti.Langkah mereka berdua pelan, nyaris tanpa suara. Tapi di dalam kepala Amara, suara justru semakin ramai. Bukan hanya suara-suara asing yang sejak beberapa hari ini mulai muncul, namun juga suara dirinya sendiri. Yang takut. Yang ragu. Yang ingin berhenti.Ia mencoba mengatur napas, menyelaraskan detak jantung dengan langkah kakinya.Satu... du
Setelah Salim menunjukkan mereka kamar kecil di belakang pondok untuk beristirahat, Amara duduk memandangi jendela yang retaknya membingkai langit. Di balik kaca itu, langit memerah seperti darah tua, dan suara burung malam terdengar seperti erangan hampa. Pikirannya penuh. Tentang Nadine. Tentang liontin. Tentang suara-suara yang semakin sering berbisik di kepalanya—suara-suara yang bukan miliknya sendiri. Elvano datang diam-diam, membawa dua selimut tipis dan secangkir air hangat. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding di seberangnya, menatap Amara dalam hening. “Tak bisa tidur?” tanyanya akhirnya, lirih. Amara menggeleng. “Terlalu banyak yang bergerak di dalam pikiranku.” “Mau bicara?” Elvano menawarkan, lembut. Ia tak menjawab seketika. Tapi pandangannya tak lepas dari liontin di dadanya yang kini tampak semakin hidup. Seolah benda itu punya nadi sendiri, menyatu dengan tubuhnya. “Sejak turun dari Cermin Darah… rasanya aku bukan diriku lagi,” bisik Amara. “Dan yang pal
Malam itu, hutan Larangan tidak hanya sunyi. Ia seperti menanti sesuatu.Tak ada desir daun, tak ada lolongan binatang malam, bahkan cahaya bintang terasa enggan menembus celah ranting. Langkah-langkah Amara, Elvano, dan Ezra yang mulai terhuyung perlahan menapaki kembali tangga menuju permukaan tanah. Cahaya dari Cermin Darah masih berpendar lembut di belakang mereka, tapi tak ada yang berani menengok lagi.Sejak janji diucapkan, Amara tahu: dunia telah berubah."Bagaimana perasaanmu?" suara Elvano pelan, nyaris seperti bisikan.Amara tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tangannya masih sedikit bergetar, tapi bukan karena takut. Bukan pula karena dingin. Tapi karena kenyataan bahwa sesuatu di dalam dirinya... telah bangkit."Ada yang berbeda di tubuhku," ujarnya akhirnya, masih lirih. "Seperti... aku membawa sesuatu yang bukan hanya milikku. Seperti banyak suara, banyak kenangan... hidup di dalamku sekarang."E
Langkah-langkah mereka berat saat meninggalkan ruang bawah tanah yang kini bergetar perlahan, seperti bangunan tua itu sedang menarik napas panjang setelah menahan sejarah terlalu lama. Elvano memapah Ezra dengan hati-hati, sementara Amara terus menggenggam liontin dan dokumen di dadanya, seakan jika ia melepaskan barang-barang itu, seluruh makna perjalanannya akan runtuh.“Ke… ke ruang atas dulu,” gumam Ezra lemah. “Ada sesuatu… yang harus kalian lihat…”“Elvano, kita tak bisa tinggal di sini terlalu lama,” kata Amara panik. “Nadine bisa bangkit kapan saja.”Elvano mengangguk, wajahnya tegang. Luka di bahunya—akibat dorongan sihir Nadine tadi—masih berdenyut hebat, tapi ia menahannya. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Tidak saat bahaya masih membayangi.Dengan napas terengah, mereka menyusuri kembali lorong sempit hingga keluar ke dapur tua. Cahaya matahari pagi menelusup lewat celah jendela retak, menciptakan bayangan-bayangan yang seperti menari di lantai kayu lapuk. Rumah tua itu se
Suara dentang lonceng itu menggema seperti nyanyian perang dari masa lampau. Dalam keheningan ruang bawah tanah yang penuh debu dan jejak sejarah, tiga sosok berdiri mematung, memandang naskah tua yang kini menyala bagai bara di tengah dingin yang menyergap.Amara—dulu Raina—menggenggam tangan Elvano lebih erat. Denting demi denting seakan menandai bahwa waktu mereka hampir habis. Bahwa jalan damai telah tertutup dan kini mereka menapaki jalur yang hanya dihuni oleh mereka yang benar-benar siap kehilangan segalanya.Ezra berbalik, menatap ke arah lorong tempat mereka datang tadi. “Kita tak bisa kembali ke atas sekarang,” katanya lirih, seolah berbicara pada bayangan yang bergerak-gerak di dinding. “Nadine tak akan masuk lewat pintu utama. Dia tahu semua jalur rahasia di rumah ini… kecuali satu.”Elvano menajamkan telinga. “Apa ada jalur keluar lain?”Ezra mengangguk. “Ada, tapi jalan itu… mengarah ke pusat tanah leluhur. Hutan kecil di belakang rumah ini—yang disebut Larangan.” Ia men