Langkah-langkah mereka berat saat meninggalkan ruang bawah tanah yang kini bergetar perlahan, seperti bangunan tua itu sedang menarik napas panjang setelah menahan sejarah terlalu lama. Elvano memapah Ezra dengan hati-hati, sementara Amara terus menggenggam liontin dan dokumen di dadanya, seakan jika ia melepaskan barang-barang itu, seluruh makna perjalanannya akan runtuh.“Ke… ke ruang atas dulu,” gumam Ezra lemah. “Ada sesuatu… yang harus kalian lihat…”“Elvano, kita tak bisa tinggal di sini terlalu lama,” kata Amara panik. “Nadine bisa bangkit kapan saja.”Elvano mengangguk, wajahnya tegang. Luka di bahunya—akibat dorongan sihir Nadine tadi—masih berdenyut hebat, tapi ia menahannya. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Tidak saat bahaya masih membayangi.Dengan napas terengah, mereka menyusuri kembali lorong sempit hingga keluar ke dapur tua. Cahaya matahari pagi menelusup lewat celah jendela retak, menciptakan bayangan-bayangan yang seperti menari di lantai kayu lapuk. Rumah tua itu se
Suara dentang lonceng itu menggema seperti nyanyian perang dari masa lampau. Dalam keheningan ruang bawah tanah yang penuh debu dan jejak sejarah, tiga sosok berdiri mematung, memandang naskah tua yang kini menyala bagai bara di tengah dingin yang menyergap.Amara—dulu Raina—menggenggam tangan Elvano lebih erat. Denting demi denting seakan menandai bahwa waktu mereka hampir habis. Bahwa jalan damai telah tertutup dan kini mereka menapaki jalur yang hanya dihuni oleh mereka yang benar-benar siap kehilangan segalanya.Ezra berbalik, menatap ke arah lorong tempat mereka datang tadi. “Kita tak bisa kembali ke atas sekarang,” katanya lirih, seolah berbicara pada bayangan yang bergerak-gerak di dinding. “Nadine tak akan masuk lewat pintu utama. Dia tahu semua jalur rahasia di rumah ini… kecuali satu.”Elvano menajamkan telinga. “Apa ada jalur keluar lain?”Ezra mengangguk. “Ada, tapi jalan itu… mengarah ke pusat tanah leluhur. Hutan kecil di belakang rumah ini—yang disebut Larangan.” Ia men
Cahaya matahari pagi menembus kaca patri di jendela rumah tua itu, menyebar ke seluruh ruangan dalam semburat warna-warni yang anehnya terasa akrab bagi Raina. Atau… Amara. Nama itu belum sepenuhnya menyatu di lidahnya, tapi seperti benih yang mulai tumbuh akar, ia tahu cepat atau lambat, ia akan menjadi satu dengan nama itu. Dirinya yang lama telah usai. Kini yang berdiri di sini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih menyakitkan.Ezra berdiri tak jauh dari lukisan keluarga. Wajahnya muram, namun sorot matanya jelas: ia tidak datang untuk menyakiti. Ia datang dengan beban. Dan beban itu, Raina tahu, pada akhirnya akan diwariskan padanya."Rahasia apa yang kau maksud?" Raina bertanya, suaranya tenang meski dadanya bergemuruh.Ezra menatapnya dalam. "Darahmu, Amara. Itu bukan darah biasa. Kau bukan hanya pewaris keluarga Wijaya Gunawan… kau adalah satu-satunya kunci yang tersisa dari kesepakatan lama yang dibuat keluarga ini demi mempertahankan nama mereka."Elvano terng
Angin pagi menyapu lembut tirai putih yang tergantung di jendela, menggeser udara lembap sisa hujan malam menjadi aroma tanah basah yang menyegarkan. Di kamar yang tadi penuh bisu, kini terselip semangat baru—rapuh, tapi menyala. Raina—atau kini, Amara—masih memandangi kotak kayu kecil yang terbuka di pangkuannya, seolah berharap waktu akan berbaik hati menumpahkan semua jawaban dari celah-celah kayunya.Di sampingnya, Elvano sudah bersiap. Ransel kecil tergantung di punggungnya, wajahnya serius namun tenang, seolah telah lama mempersiapkan perjalanan ini. Ia menatap Raina yang kini mulai berdiri dengan tubuh yang masih sedikit gemetar, tapi tatapannya lebih teguh dari sebelumnya.“Kita harus bergerak sebelum Nadine tahu kamu sudah membuka kotak itu,” ucap Elvano pelan sambil menyesuaikan tali ranselnya.Raina mengangguk, menggenggam kalung bulan sabit di lehernya. Kalung itu kini terasa seperti denyut kedua di dadanya—penanda siapa dirinya, jangkar pada kenyataan yang mulai berubah b
Suara hujan di luar jendela masih terdengar samar, seperti bisikan waktu yang tak pernah berhenti. Di dalam kamar itu, hanya ada napas yang berat dan jantung yang berdegup cepat. Elvano menatap mata Raina—mata yang kini penuh kebingungan, ketakutan, dan… secercah harapan.Ia mengusap lembut rambut Raina yang basah oleh keringat. "Tenang dulu... kamu aman di sini," ucapnya pelan, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri juga.Raina mengangguk pelan, tapi tubuhnya masih gemetar. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Elvano, mencari kehangatan, mencari pegangan dalam pusaran yang membingungkan ini. Beberapa menit mereka hanya duduk dalam diam. Hujan, napas, dan detak jam menjadi satu-satunya musik malam itu."Aku takut, Van…" bisik Raina kemudian. "Aku takut jika aku bukan orang yang kukira selama ini."Elvano memejamkan mata. Dalam hatinya, ia berteriak—Kamu bukan Raina, kamu Amara! Kamu putri dari keluarga yang dihabisi karena kekuasaan, dan kamu... satu-satunya yang selamat! Tapi bibirnya
Langit malam menyelimuti kota dengan warna kelamnya yang pekat. Bintang-bintang seperti enggan bersinar malam itu, seakan mengetahui bahwa ada rahasia besar yang sedang dijaga, luka yang masih menganga dalam tubuh dan jiwa seseorang. Raina duduk di ambang jendela kamar, menatap kosong ke luar sana. Tangan kanannya membelai lembut bekas luka di pergelangan tangannya yang mulai memudar, namun masih terasa perih saat disentuh. Luka-luka di tubuhnya sudah hampir sembuh, namun luka dalam hatinya… belum. Ia menghela napas panjang. Setiap malam, mimpinya dipenuhi fragmen yang aneh—sebuah taman bunga, suara seorang perempuan memanggil nama yang tak ia kenali, dan… darah. “Amara…” Nama itu berbisik di benaknya, tapi tidak pernah keluar dari bibirnya. Nama yang terasa asing tapi akrab. Ia belum tahu dari mana datangnya suara itu, tapi bayangannya selalu sama—seorang gadis kecil berlari di antara pepohonan besar, dikejar bayang-bayang gelap yang menakutkan. Suara langkah kaki mendekat. Rain