LOGINHujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang pekat di udara. Raina terbangun lebih pagi dari biasanya. Udara masih dingin saat ia melangkah pelan keluar kamar menuju dapur kecil di sisi barat rumah. Tangannya gemetar ringan, bukan karena suhu, tapi karena mimpi semalam yang begitu mengguncang pikirannya. Wajah-wajah seseorang. tanpa nama kembali menghantui mimpi mimpinya.
Ia bahkan tidak tahu mengapa wajah-wajah itu sering hadir di mimpi-mimpinya.apakah itu bayangan masa lalu atau hanya imajinasi dari otak kosongnya. Tenggorokannya kering. Ia membuka lemari kaca untuk mengambil gelas. Ketika ia membuka lemari, tangannya tanpa sengaja menyentuh gelas yang licin karena embun. Benda itu meluncur dan pecah menghantam lantai. Praang..... “Ah!” serunya pelan, refleks Raina menarik tangannya. Tapi serpihan kecil sempat menggores pergelangan kirinya. Darah menetes. Luka itu dangkal, tapi cukup membuatnya panik. “Dasar ceroboh…” gumamnya sendiri, buru-buru membungkus tangan dengan tisu. Tanpa disadari, langkah berat terdengar mendekat dari arah koridor. Elvano muncul dengan rambut berantakan dan wajah yang masih menyiratkan kantuk. Ia mengenakan kaos hitam dan celana santai. Tak biasanya ia terlihat begitu… manusiawi. “Apa yang terjadi?” tanyanya datar, tapi matanya langsung menatap tajam ke arah tangan Raina. “Gelasku pecah. Tadi... Aku… nggak sengaja.” Mata Elvano melihat darah yang menetes dari tangan Rania. Tanganmu berdarah. Ucap Elvano dingin “ia Elvano,, tapi sudah Aku bersihkan,” tambah Raina gugup, berusaha menjauhkan tangan dari pandangan Elvano. Namun langkah pria itu mendekat cepat. Ia meraih tangan Raina dengan paksa, membuat gadis itu terkejut. Elvano membalik pergelangan tangannya, menatap bukan luka kecil karena kaca, tapi bekas sayatan lama yang samar—tepat di bawah urat nadi. Tatapannya berubah. Diam yang lebih menusuk dari kemarahan. “Apa ini?” suaranya pelan, tapi dingin. Raina kaku. Matanya mulai basah, bukan karena sakit, tapi karena sesuatu dalam dirinya terasa diseret paksa ke permukaan. Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tak ingat bagaimana luka itu bisa ada di sana. Tapi melihat ekspresi Elvano… rasanya seperti tertangkap sedang menyembunyikan sesuatu. “Aku nggak tahu,” bisiknya. “Aku nggak tahu kenapa ada luka ini di tanganku…” “Ini bukan luka baru,” potong Elvano tajam. “Ini… bukan karena gelas. Bekasnya terlihat sudah lama.” “Aku—aku memang nggak ingat, Elvano. Sungguh.” Suasana mendadak sesak. Raina merasa telanjang di depan pria itu, terbuka tanpa bisa melindungi diri. Dan Elvano… tatapannya bukan hanya curiga. Ada kekhawatiran. Ada kemarahan. Tapi yang paling terlihat, ada ketakutan—ketakutan yang tak ingin ia akui. “Aku akan panggil dokter.” “Jangan,” potong Raina cepat sambil menarik ujung kaos Elvano. “Aku baik-baik saja. Sungguh. Ini... bukan apa-apa.” Elvano menatapnya lama. “Apa kamu pernah mencoba mengakhiri hidupmu?” Pertanyaan itu membuat tubuh Raina gemetar. Bibirnya bergetar tanpa suara. “Aku... nggak tahu.” Keheningan kembali turun di antara mereka. “Kalau kamu tidak tahu siapa dirimu, bagaimana aku bisa membantumu hmm?” Suara Elvano lirih, nyaris seperti gumaman yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Raina menunduk. “Aku juga ingin tahu, Elvano. Aku juga ingin tahu kenapa aku selalu merasa seperti sebuah pecahan dari seseorang yang pernah utuh.” Untuk pertama kalinya, Elvano tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang gadis itu, dalam diam yang tak bisa ditebak. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia melepaskan genggaman tangannya dan melangkah pergi. Raina berdiri mematung. Dada nya begitu sesak. Tangannya gemetar. Badannya terasa lemas. Ia tidak tahu luka itu milik siapa, tapi ia tahu—mungkin luka itu adalah satu-satunya petunjuk siapa dirinya sebenarnya. Kemudian ia bergegas masuk ke kamarnya, untuk bersiap karena sebentar lagi ia akan berangkat ke kantor. Siang harinya, suasana kantor Elvano kembali formal seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang berubah dalam tatapan pria itu terhadap Raina. Bukan hanya dingin atau datar, melainkan seperti sedang menahan sesuatu—rasa ingin tahu yang mulai melampaui batasnya. Raina berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia bahkan berlatih membuat kopi sesuai selera Elvano. Tapi saat menyuguhkan kopi itu ke ruangannya, ia tanpa sengaja melihat seberkas foto di atas meja, tersembunyi sebagian oleh tumpukan kertas. Wajah perempuan muda dalam foto itu... sangat familiar. Seperti... dirinya sendiri? Tangannya terhenti. “Keluar,” suara Elvano terdengar tajam dari balik meja, seolah tahu apa yang ia lihat. Raina terkaget. Ia buru-buru meletakkan kopi dan pergi. Tapi pikirannya mulai berantakan. Siapa perempuan itu? Kenapa wajahnya begitu mirip denganku? Dan… kenapa Elvano menyembunyikannya? Pertanyaan demi pertanyaan mulai menggerogoti pikirannya, seperti semut yang menyusup pelan-pelan dan membuat sarang di sudut benaknya. Ia tahu—apapun jawabannya, itu tidak akan sesederhana seperti yang ia harapkan. Karena semakin dalam ia menyelami, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang sedang menunggu untuk bangkit—sesuatu dari masa lalu yang seharusnya tetap terkubur.Mobil yang dikendarai Elvano melaju kencang menembus malam yang basah. Wiper bekerja keras menghapus air hujan di kaca depan, sementara kilatan petir sesekali menyambar langit, menerangi wajah Raina yang menatap keluar jendela dengan mata nanar. Kotak musik itu masih berada di pangkuannya, digenggam seolah nyawanya sendiri bergantung padanya.“Elvano… kalau sesuatu terjadi padaku,” katanya pelan di sela suara hujan, “pastikan bukti ini sampai ke dewan. Pastikan semua orang tahu kebenarannya.”Elvano menoleh sekilas, rahangnya mengeras. “Jangan bicara seolah kau menyerah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”Mobil berbelok tajam ke jalan kecil di sisi kota, menuju rumah aman milik Elvano—sebuah vila tua yang jarang dipakai, tersembunyi di antara pepohonan pinus. Tempat itu dingin, namun jauh dari jangkauan mata dan telinga orang-orang Nadine.Begitu mereka tiba, Elvano segera menutup gerbang dan mengaktifkan sistem keamanan. Raina turun dari mobil dengan langkah gemetar. P
Langit malam meneteskan hujan tipis ketika Raina dan Elvano melangkah cepat menuju rumah sakit. Jalanan lengang, hanya suara langkah mereka yang terdengar beriringan dengan ritme hujan. Bayangan lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan pantulan samar dua sosok yang berjalan tanpa henti—menyelinap dalam gelap, dengan satu tujuan: kebenaran.Raina memeluk jaket tipisnya erat-erat. Udara malam begitu dingin, namun yang membuatnya menggigil bukanlah cuaca, melainkan ketegangan yang mencengkeram dadanya. Ia masih memegang kotak musik itu, benda kecil yang kini terasa lebih berharga dari apa pun. Di dalamnya tersimpan pesan terakhir sang ibu, petunjuk menuju rahasia besar yang hampir ditelan waktu.Elvano berjalan sedikit di depan, matanya awas mengamati setiap sisi jalan. Ia tahu mereka tidak hanya menghadapi kebohongan, tetapi juga orang-orang yang tak segan melakukan apa pun untuk menutupinya.“Pintu utama dijaga,” ucap Elvano pelan sambil memandangi bangunan rumah sakit yang ta
Hujan turun perlahan di luar rumah sakit sore itu. Butiran air membasahi kaca jendela, memantulkan cahaya lampu yang berpendar lembut di koridor. Raina duduk di ruang tunggu, tangan gemetar di pangkuan, sementara matanya terpaku pada pintu laboratorium yang tertutup rapat. Di dalam sanalah nasibnya sedang ditentukan.Waktu berjalan seolah lambat. Setiap detik terdengar seperti detakan jantung yang menegangkan. Elvano berdiri tak jauh darinya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, namun sorot matanya terus mengamati setiap pergerakan di sekitar. Ia bukan hanya menunggu hasil—ia berjaga, seperti seekor serigala yang tahu bahaya sedang mengintai.Raina menatapnya sesekali. Ada sesuatu pada sosok Elvano yang selalu menenangkannya, meski kata-kata lelaki itu sedikit dan sikapnya kaku. Tapi kali ini, bahkan Elvano pun terlihat gelisah.“Berapa lama lagi, ya?” Raina berbisik pelan.Elvano menatap jam tangannya. “Mereka bilang satu jam. Tapi sudah hampir dua.”Suasana di ruang tunggu kian m
Pagi itu, rumah besar Wijaya Gunawan dibangunkan bukan oleh suara burung, melainkan ketukan keras di pintu-pintu kayu yang menggema. Para pelayan berlarian, pengawal bergantian berpatroli di koridor, dan udara dipenuhi bisikan cemas. Uji DNA dijadwalkan siang ini—dan semua orang tahu, hasilnya bisa mengubah sejarah keluarga.Raina berdiri di balkon kamarnya, tubuhnya diselimuti selendang tipis. Dari ketinggian itu, ia melihat halaman rumah besar sudah dijaga ketat. Beberapa mobil hitam berjejer di depan, dengan orang-orang bersetelan rapi keluar-masuk. Semua terasa seperti sebuah panggung besar yang menunggu tirai dibuka.Namun di balik itu, hatinya gelisah. Ia masih mengingat bayangan hitam semalam, suara ranting patah, dan tatapan Elvano yang penuh kewaspadaan. Nadine jelas semakin berbahaya.Pintu kamar diketuk pelan. Elvano masuk dengan ekspresi dingin yang selalu sama, meski sorot matanya lebih tajam dari biasanya. “Aku sudah mengatur segalanya. Dua mobil akan membawa kita ke rum
Lorong rumah besar Wijaya Gunawan masih dipenuhi langkah kaki para tamu yang baru saja keluar dari ruang sidang. Udara tegang belum sepenuhnya reda, seolah bayangan pertengkaran tadi masih menempel di setiap dinding. Di balik itu semua, Nadine berjalan cepat, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan jejak suara yang tajam.Wajahnya pucat, bibirnya menggigit keras hingga hampir berdarah. Ia tidak menyangka Elvano akan menantang dirinya dengan uji DNA. Itu bukan rencana yang pernah ia persiapkan. Ia tahu, jika sampai tes itu dilakukan, semua kebohongan akan runtuh seperti pasir diterpa badai.Ia masuk ke ruang pribadinya, membanting pintu hingga bergetar. Tangannya gemetar ketika ia menyalakan lampu meja, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun merah menyala yang tadi membuatnya percaya diri kini justru tampak seperti noda darah yang menempel di tubuhnya.“Tidak… ini tidak boleh terjadi,” gumamnya. “Aku sudah sejauh ini. Aku tidak akan kalah hanya karena satu tes
Pagi itu, udara di rumah besar Wijaya Gunawan terasa tebal dan berat, seolah setiap dinding menyerap kecemasan yang memenuhi isi rumah. Para pelayan bergegas, suara langkah kaki dan bisikan memenuhi lorong-lorong panjang. Hari ini, dewan keluarga akan berkumpul untuk menentukan satu hal penting: siapa pewaris sah yang akan diakui—Amara atau Nadine.Raina duduk di ruang ganti, jantungnya berdebar keras. Rambutnya ditata sederhana, gaun berwarna putih lembut membalut tubuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin: wajah yang dulu ia kenal sebagai Raina, tapi kini harus ia yakini sepenuhnya sebagai Amara. Di pangkuannya, kotak musik perak peninggalan Kirana ia genggam erat.Ketukan pintu terdengar. Elvano masuk dengan setelan jas hitam rapi, aura dingin namun berwibawa memancar kuat. Ia menatap Raina lama, lalu berkata pelan, “Kau siap?”Raina menelan ludah. “Aku harus siap, kan?”Elvano mendekat, mengambil tangannya dan menekannya lembut. “Kau tidak sendiri. Ingat itu.”Sentuhan itu me







