B 4 Pertemuan dengan Sang Adik
Angin sore menyusup melalui celah jendela, membawa aroma bunga kamboja yang tertiup dari halaman belakang rumah megah kediaman Elvano. Raina duduk di kursi rotan dekat balkon lantai dua, memandangi langit jingga yang perlahan berubah biru tua. Di tangan nya ia memegang secangkir teh melati sudah mendingin. Hari-harinya terasa lambat sejak ia tinggal di rumah Elvano. Lelaki itu lebih sering pergi pagi buta, pulang malam hari, dan hanya mengeluarkan sepatah-dua patah kata padanya. Dinginnya bukan seperti angin malam, tapi lebih seperti kaca es yang membeku dan tajam. Tapi hari ini berbeda. Suara mesin mobil terdengar di bawah memasuki pekarangan rumah megah Elvano. Tak lama, terdengar tawa ringan dan langkah kaki yang cepat mendekat ke dalam rumah. Raina menoleh, merasa penasaran untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Ia mendengar suara tawa di rumah megah ini. Seseorang terdengar menaiki tangga menuju ke lantai dua. Langkah itu ringan tapi mantap. Ketika sosoknya muncul di balik koridor, Raina sedikit terperanjat. Lelaki itu… Siapa dia? Batin Raina. Wajahnya mirip Elvano, namun ia lebih muda. Lebih hangat. Lebih bersahabat. Mata cokelatnya tidak dipenuhi bayangan seperti milik kakaknya. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman kecil. Di lantai dua mata mereka saling bertemu. "Eh?" Lelaki itu menghentikan langkahnya, Ia terus menatapku tanpa kedip. Namun sesaat kemudian ia mengernyit lucu. "Kamu bukan Mbak Rani. Ucap nya lalu bertanya. Siapa kamu?" Raina berdiri dengan kikuk. Sambil menunduk ia berkata. "Aku… aku Raina." “Raina?” Lelaki itu berjalan menghampiri nya, menatapnya sejenak dengan mata berbinar bahagia. “Kamu yang tinggal di sini sekarang, ya?tanya pria itu, lalu mengulurkan tangannya dan berkata. Perkenalkan Aku Tristan. Adiknya Elvano.” ucapnya lembut. Raina mengangguk pelan. Dan tersenyum. “Senang bertemu denganmu…” “Wah, kamu beneran cantik ya,” gumam Tristan, tanpa basa-basi. “Elvano nggak bilang apa-apa soal kamu. Aku kira dia masih betah hidup kayak pertapa di rumah ini.” cerocos Tristan. Wajah Raina memerah, ia tak terbiasa dengan sebuah pujian yang dilontarkan begitu santai. “Aku cuma numpang… untuk sementara.” jawab Raina. Tristan terkekeh. “Kalau numpang tapi bikin suasana rumah jadi hangat begini, aku rasa kamu boleh tinggal lama-lama.” Ada sesuatu dalam caranya bicara yang menenangkan. Berbeda jauh dari Elvano yang selalu seperti sedang memegang kontrol atas segalanya. Tristan seperti… pelabuhan sementara dari badai. “ Apakah Kakakmu… selalu seperti itu?” Raina akhirnya memberanikan diri bertanya. Tristan hanya mengangkat bahu, lalu duduk di kursi di sebelahnya. “Kalau kamu maksud ‘itu’ adalah kayak patung es yang bisa ngomong, ya, sejak dulu memang begitu. Tapi dia nggak jahat kok. Cuma… rusak.” “Rusak?” bisik Raina. “Bukan tubuhnya,” sahut Tristan sambil menyender ke kursi, menatap langit. “Tapi hatinya.” jelas Tristan. Ada jeda sejenak. Hening. Raina memandangi tangan mungilnya yang terlipat di pangkuan nya. Mengapa Rasanya seperti mendengar bayangan dirinya sendiri. “Aku juga… merasa kalau aku rusak,” lirihnya tanpa sadar. Tristan menoleh. “Kamu bilang kamu amnesia, kan?” Raina mengangguk pelan. “Tapi… bahkan sebelum aku lupa, aku merasa kosong. Seperti... tidak ada satu pun yang bisa kusebut milikku. Tidak ada tempat kembali. Tidak ada alasan untuk bertahan.” Suara itu lirih, namun jelas. Luka-luka itu mengendap dalam setiap jeda kalimatnya. Tristan tidak tertawa, tidak memberi komentar basa-basi. Ia hanya memandang gadis itu dengan sorot yang tidak menghakimi. “Mungkin kamu pernah punya semuanya,” katanya akhirnya, “lalu kehilangan dalam waktu yang sangat cepat.” Dengan cepat Raina menoleh padanya. Atau.... “Mungkin juga kamu memang tidak punya siapa-siapa sejak awal. Tapi kamu tetap bertahan sampaj di detik ini, kan?” ucap Tristan. Hening.. taj ada jawaban . Sebuah keheningan lagi membentang, sebelum senyum tipis muncul di wajah Raina. Ia tak menjawab. Tak perlu. Keduanya hanya terdiam beberapa saat, menikmati ketenangan langka itu. Hingga suara berat khas Elvano terdengar dari ujung tangga. "Tristan," sapanya singkat. Tristan berdiri dan menyambut kakaknya dengan pelukan cepat. "Lama banget nggak pulang. Kamu kelihatan tua, Van." Ucap Tristan mengolok kakak nya. “Elu juga masih kayak bocah,” balas Elvano datar. Lalu matanya bergerak ke arah Raina. Sorot itu lagi. Dingin. Tidak menyukai. “Kamu udah kenal Raina?” tanyanya, seolah itu sesuatu yang tidak penting. “Udah,“Dia begitu manis dan lembut. Kamu nyuruh dia tinggal di sini karena kasihan, atau karena… tertarik?” “Jangan mulai, Tris.” Elvano berbalik, nada suaranya seperti pintu yang ditutup paksa. Raina tahu dirinya tidak seharusnya mendengarkan percakapan itu. Tapi langkahnya terasa berat untuk pergi. Setelah Elvano berlalu, Tristan menyenggol bahu Raina. “Maaf ya, kakakku itu memang kayak paku. Nggak fleksibel. Tapi percayalah, dia baik kalau kamu berhasil menembus bentengnya.” Raina mengangguk pelan. Tapi dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar ingin tembus ke dalam benteng itu? Atau… akan lebih aman jika ia tetap berdiri di luar pagar? Raina bingung Karena ia selalu merasa, jika terlalu dekat, luka-luka lama bisa terbuka. Bukan hanya milik Elvano… tapi juga miliknya sendiri. Dan mungkin, luka itu bisa lebih dalam daripada yang pernah ia duga.Hari-hari menjelang konferensi pers Nadine terasa seperti detik-detik menuju perang. Rumah Elvano menjadi markas kecil yang penuh dengan rahasia, strategi, dan ketegangan yang tak pernah surut. Raina kerap merasa jiwanya terhimpit, namun setiap kali mengingat kata-kata Elvano dan dukungan Lusi, ia mencoba berdiri tegak.Pagi itu, ia duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela. Langit mendung, awan kelabu menggantung rendah seakan ikut merasakan beban yang tengah dipikulnya. Di pangkuannya, buku catatan lusuh yang selalu ia bawa kini terbuka pada halaman terakhir. Ia menulis pelan, “Jika aku jatuh, aku ingin jatuh dengan nama Amara, bukan bayangan yang lain.”“Sedang menulis lagi?” suara berat Elvano memecah lamunannya.Raina menutup buku itu cepat, seolah menyembunyikan rahasia. “Hanya… mencoba menenangkan hati.”Elvano mendekat, duduk di kursi seberang. Tatapannya tajam, namun ada kelembutan samar yang jarang muncul. “Aku ingin kau bersiap. Besok malam, kita akan menghadap dewa
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Raina bangun dengan kepala yang dipenuhi pikiran. Konferensi pers Nadine hanya tinggal hitungan hari. Bayangan itu terus menghantuinya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Di sisi lain, tekadnya untuk merebut kembali jati diri semakin kuat, meski tubuhnya kadang terasa lemah untuk menanggung beban sebesar itu.Ia melangkah ke ruang makan, menemukan Elvano sudah duduk dengan koran terbuka di depannya. Wajah dinginnya seperti biasa, tapi mata tajamnya menatap lurus ke sebuah artikel di halaman depan. Raina mendekat, menunduk untuk membaca.“Keturunan Gunawan Akan Umumkan Pewaris Baru.”Tulisan besar itu membuat jantung Raina seakan terhenti. Di bawahnya, ada foto Nadine dengan gaun putih elegan, senyum penuh percaya diri terpampang jelas.Raina tertegun. “Dia sudah mulai…”Elvano menutup koran itu, lalu menatap Raina dalam. “Ya. Nadine ingin semua orang percaya padanya sebelum kita sempat bertindak.”Lusi masuk tak lama kemudian, w
Keesokan harinya, rumah Elvano terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara gesekan sapu dari para pekerja yang terdengar di koridor panjang. Raina berjalan pelan melewati lorong itu, langkahnya ragu seakan setiap ubin yang ia pijak bisa memantulkan beban hatinya. Malam sebelumnya ia menuliskan tekad di buku kecilnya, tapi pagi ini ia merasakan tubuhnya lemah, jiwanya gamang.Ia berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke taman. Bayangan pohon flamboyan masih melekat kuat di pikirannya. Ukiran kecil “A” di batangnya seakan menyalakan kembali sesuatu yang sudah lama padam dalam dirinya. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga menyeruak. Bagaimana jika Nadine benar-benar menghancurkan semua bukti? Bagaimana jika pada akhirnya, kebenaran yang ia genggam tidak cukup kuat untuk mengalahkan kebohongan besar itu?“Raina.”Suara berat itu membuatnya menoleh. Elvano berdiri beberapa langkah di belakang, dengan kemeja hitam yang rapi, wajah dinginnya tampak semakin tajam di bawah cahay
Malam di rumah besar Wijaya Gunawan seakan membeku. Setelah kepergian Nadine dari taman flamboyan, udara dingin menusuk tulang. Raina duduk di tepi ranjang dengan buku catatan lusuhnya, sementara pikirannya terus berputar—antara rasa takut dan keberanian yang dipaksa lahir.Ia memandangi jendela, seolah bulan yang pucat bisa memberinya jawaban. Setiap kali ia mengingat wajah Nadine yang penuh kemenangan tadi sore, tubuhnya bergidik. Namun ketika menunduk, ia melihat bekas tinta yang baru ditulis: Aku adalah Amara. Kata-kata itu menjadi pengingat bahwa ia tidak lagi bisa bersembunyi.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. “Raina?” suara Elvano terdengar tenang, namun ada ketegasan di baliknya.“Masuk,” jawabnya.Elvano melangkah masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja samping ranjang. “Kau belum tidur. Matamu masih sembab.”Raina mencoba tersenyum, meski terasa pahit. “Aku tidak bisa. Setiap kali memejamkan mata, aku merasa Nadine sudah lebih dulu bergerak.
Hari itu berjalan dengan aneh bagi Raina. Setelah pertemuannya dengan Elvano di balkon, ia merasa ada beban yang menekan dadanya, seolah waktu terus menghitung mundur. Nadine sudah bergerak lebih dulu, dan setiap jam yang berlalu membuat kebohongan itu semakin dipercaya banyak orang.Di ruang tengah, Lusi duduk bersama beberapa berkas lama milik keluarga Wijaya Gunawan. Di hadapannya, tumpukan map cokelat berdebu yang baru saja diambil dari gudang arsip rumah utama. Raina yang melintas spontan berhenti.“Apa itu, Lusi?” tanyanya, suaranya serak.“Dokumen lama,” jawab Lusi tanpa menoleh. Ia sibuk membuka halaman demi halaman. “Aku mencari sesuatu yang bisa menjadi pembeda. Surat lahir, catatan kesehatan, apapun yang mencatat keaslian Amara kecil dulu.”Raina mendekat, jantungnya berdebar. Tangannya hampir gemetar saat ia ikut membuka satu map. Di dalamnya ada beberapa foto lama: seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, berambut hitam panjang, matanya tajam. Hatinya mencelos—i
Suasana di aula besar keluarga Wijaya Gunawan masih dipenuhi gemuruh bisik-bisik setelah pengumuman Nadine. Para tamu saling menatap dengan ekspresi beragam: terkejut, curiga, ada pula yang tampak terbuai oleh keyakinan perempuan bergaun merah itu.Nadine berdiri tegak, seolah cahaya lampu kristal seluruhnya ditujukan padanya. Senyumnya tidak sekadar manis, tapi penuh perhitungan. “Aku adalah Amara Wijaya Gunawan, putri sah yang selama ini hilang,” ulangnya, kali ini dengan nada yang lebih lantang, seolah ingin mengukuhkan kebenaran pada telinga siapa pun yang hadir.Raina, yang berdiri di samping Elvano, merasa darahnya mendidih. Setiap kata Nadine adalah penghinaan bagi dirinya—bagi masa lalunya. Jemarinya meremas gaun biru pucat yang ia kenakan, berusaha menahan gejolak untuk tidak berteriak di hadapan semua orang.Namun genggaman tangan Elvano di pergelangannya tetap kokoh, menahan. Ia hanya melirik singkat ke arah Raina, seolah berkata tanpa suara: Bukan sekarang.Lusi melangkah