Sudah lewat tengah malam ketika Raina terbangun karena mimpi yang sama untuk ketiga kalinya di minggu ini.
Tangisan. Kilat. Bunyi klakson. Dan jeritan seseorang yang memanggil nama… Amara. Ia terduduk dengan napas memburu. Keringat membasahi pelipis dan lehernya. Ia begitu gelisah, ia buru buru ke dapur untuk mencari air minum. Berharap bisa mengurangi kegelisahan yang sedang ia rasa. Ia langsung menegak habis air putih di tangan nya. Setelah sedikit tenang ia kembali ke kamarnya. Ia duduk bersandar di sofa kamar. Berusaha mengingat suara dan nama yang di panggil lewat mimpinya. Amara.. ia mulai kembali gelisah mengingat nama itu. Namun bukan hanya mimpi itu yang membuatnya gelisah malam ini. Sebuah ponsel asing bergetar di bawah laci meja samping tempat tidurnya. Ia bahkan tidak tahu kapan benda itu ada di sana. Elvano tak pernah memberinya ponsel. Dan ia sendiri yakin bahwa ia tidak pernah menyimpannya. Dengan tangan gemetar, ia menarik laci. Sebuah ponsel hitam, model lama, menyala tanpa suara. Nama peneleponnya hanya satu kata: MOM. Raina ragu sejenak, lalu menyentuh tombol hijau. Tak ada suara di ujung sana selama beberapa detik. Hingga akhirnya terdengar suara perempuan tua—lembut, parau, tapi menusuk. “Amara… kau di mana, nak? Kenapa kau menghilang?” Jantung Raina seketika membeku. “Siapa… siapa ini? “Kau marah pada Ibu, ya? Ibu minta maaf, Amara. Tapi jangan pergi begitu. Mereka bisa—” Klik. Sambungan terputus. Raina menatap layar yang kembali gelap. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat seolah takut jika suara itu tak kembali lagi. Amara…? Nama itu terus bergema di kepalanya. Rasanya familiar dan asing di saat yang sama. Ia menatap bayangannya di kaca jendela. Wajahnya pucat, matanya sayu, tapi tak ada jawaban di sana. Hanya satu hal yang pasti: seseorang mengenalinya. Dan selama ini… seseorang mencarinya. Pagi harinya, suasana rumah Elvano terasa dingin seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berubah dari cara pria itu memandangnya. Raina tak berani menyebut soal telepon itu. Ia bahkan menyembunyikan ponsel itu di balik pakaian dalam lemari. Namun pikirannya tidak bisa tenang. Pertanyaan demi pertanyaan menggerogoti logikanya. Kenapa ia dipanggil Amara? Siapa wanita itu? Dan… sejak kapan ponsel itu ada di sana? Saat sarapan, Elvano duduk di sisi meja yang berseberangan dengannya. Tak ada pembicaraan Diantara mereka.Hanya bunyi sendok dan piring saling bersahutan. Tapi tiba-tiba, pria itu berkata lirih, “Malam tadi… kamu tidak bisa tidur?” Raina terkejut. Ia menunduk, lalu menjawab, “hanya... Sedikit gelisah saja.” Elvano menatapnya, dalam dan penuh tanda tanya. Tapi ia tidak mendesak. “Aku akan pergi ke kantor lebih pagi. Ada dokumen yang harus aku cek.” Raina mengangguk. Tapi sebelum pria itu benar-benar pergi, ia memberanikan diri bertanya, “Elvano… kamu yakin tidak ada orang lain yang tahu aku tinggal di sini?” Langkah Elvano terhenti. “Kenapa bertanya begitu?” “Tidak. Hanya… mimpi buruk,” bohong Raina cepat-cepat. Ia belum siap membagi kebenaran yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami sendiri. Elvano menatapnya sebentar sebelum akhirnya melanjutkan langkah. Raina memegang dadanya sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang berlari terlalu cepat. Ia tahu... mulai sekarang, hidupnya tak akan tenang. Telepon semalam bukan hanya kebetulan. Sepulang dari kantor sore itu, Raina memutuskan untuk menyelidiki ponsel misterius itu lebih jauh. Ia menutup pintu kamar rapat-rapat, menarik ponsel itu, dan menyalakannya lagi. Ada beberapa pesan lama yang masih tersimpan. Semuanya dari kontak bernama MOM. Pesan pertama: “Jangan pernah bilang siapa dirimu pada siapapun. Mereka sedang mencarimu.” Pesan kedua: “Kalau kamu masih selamat, carilah rumah di lembah Juwana. Di sana ada orang yang bisa membantu.” Pesan ketiga, terkirim dua minggu lalu: “Kau adikku… dan mereka tidak boleh tahu.” Raina membeku. Jari-jarinya mulai gemetar. Adikku…? Kata-kata itu menggema keras di kepalanya. Ini lebih dari sekadar kehilangan ingatan. Ini adalah sesuatu yang lebih rumit… lebih gelap. Raina duduk terpaku. Pikirannya berputar liar. Jika ia adalah adik dari seseorang… siapa dia sebenarnya? Dan kenapa begitu banyak orang yang ingin menangkapnya. Namun ia tetap tidak tahu. Ia lupa segalanya.Pintu besar rumah keluarga Gunawan berdiri megah di hadapan Amara. Meski telah direnovasi berkali-kali, aura bangunan itu tetap sama—dingin, berwibawa, seperti menatap siapa pun yang berdiri di depannya dengan tatapan menghakimi.Amara menarik napas panjang. Tangannya yang menggenggam jemari Elvano sedikit bergetar. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan menenangkan, seolah berkata tanpa kata: Aku di sini.Seorang pelayan membuka pintu. “Silakan masuk, Nona...” Suaranya ragu, seperti tak yakin harus memanggil Amara dengan nama apa. Tapi begitu mata pelayan itu menangkap wajahnya, ia langsung terdiam. Lalu, perlahan, pelayan itu menunduk hormat, mata berkaca-kaca.“Selamat datang kembali... Nona Amara.”Kata-kata itu menusuk hatinya. Bukan karena menyakitkan, tetapi karena asing. Ia belum terbiasa dengan nama itu, meskipun setiap hurufnya terasa seperti bagian dari dirinya yang hilang.Di ruang utama, pria paruh baya dengan rambut memutih berdiri tegak. Matanya tajam, tapi ketika bertemu
Amara duduk di dekat jendela tua yang menganga, membiarkan angin pagi menerpa wajahnya. Rambutnya berantakan oleh semilir udara, tapi ia tak peduli. Pandangannya kosong, menatap jauh ke kebun liar di belakang rumah tua itu. Setiap helai rumput yang tumbuh, setiap dahan pohon yang melengkung liar—semuanya seperti menyimpan suara-suara masa lalu yang belum selesai.Di belakangnya, Elvano sedang menyalakan air untuk membuat teh. Gerak-geriknya sederhana, hati-hati, seperti takut mengganggu suasana batin Amara yang masih muram.Rumah tua itu—yang mereka temukan semalam—rasanya terlalu penuh untuk sekadar disebut tempat. Ia seperti ruang yang menyimpan potongan hidup, potongan rasa, yang selama ini tak pernah benar-benar hilang. Hanya mengendap di sana. Menunggu ditemukan kembali.“Elvano...” Suara Amara pelan, nyaris tenggelam dalam desir angin.Lelaki itu menoleh. “Ya?”“Kau tahu... waktu pertama kali kau menemukan aku di jalanan dulu, apa yang paling membuatmu yakin bahwa aku butuh dise
Langkah mereka keluar dari lorong itu terasa seperti keluar dari perut waktu. Dunia di luar masih gelap, tapi bukan kegelapan yang menakutkan—melainkan kegelapan menjelang pagi. Kegelapan yang menggigil, yang diam-diam menyisakan harapan akan datangnya cahaya.Amara menarik napas dalam-dalam. Udara gunung yang dingin menusuk paru-paru, tapi juga menyegarkan. Ia menatap langit yang masih pekat, dengan jejak bintang yang mulai memudar. Di sebelahnya, Elvano berdiri diam. Wajahnya diterpa cahaya pucat dari fajar yang mulai merangkak pelan-pelan di balik bayangan pohon-pohon tinggi.Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiri di sana. Tidak ada yang bicara.Kadang, kesunyian bukan tentang tidak adanya suara, melainkan tentang adanya rasa yang tak perlu diucapkan.“Elvano,” suara Amara akhirnya memecah hening.Lelaki itu menoleh perlahan. “Hm?”“Kau pernah kembali ke masa lalu?”Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan.Elvano menghela napas, menggosok kedua tangannya karena udara dingin.
Udara di dalam lorong itu lembap dan pengap. Bau tanah tua dan kayu lapuk memenuhi hidung, seperti aroma masa lalu yang terkurung terlalu lama dalam diam. Langkah kaki Amara dan Elvano menyusuri gelap dengan hati-hati, hanya ditemani cahaya kecil dari kristal biru yang tergantung di dada liontin Amara. Cahaya itu tidak terang, tapi cukup untuk memberi mereka arah. Cukup untuk memberi harapan.Dinding-dinding sempit lorong itu berbicara dalam bisikan sunyi—retakan kecil di batu, akar pohon yang menembus masuk, dan gelegar gemuruh yang kadang terdengar dari atas kepala mereka, entah ledakan atau hanya bayang-bayang ketakutan yang terus membuntuti.Langkah mereka berdua pelan, nyaris tanpa suara. Tapi di dalam kepala Amara, suara justru semakin ramai. Bukan hanya suara-suara asing yang sejak beberapa hari ini mulai muncul, namun juga suara dirinya sendiri. Yang takut. Yang ragu. Yang ingin berhenti.Ia mencoba mengatur napas, menyelaraskan detak jantung dengan langkah kakinya.Satu... du
Setelah Salim menunjukkan mereka kamar kecil di belakang pondok untuk beristirahat, Amara duduk memandangi jendela yang retaknya membingkai langit. Di balik kaca itu, langit memerah seperti darah tua, dan suara burung malam terdengar seperti erangan hampa. Pikirannya penuh. Tentang Nadine. Tentang liontin. Tentang suara-suara yang semakin sering berbisik di kepalanya—suara-suara yang bukan miliknya sendiri. Elvano datang diam-diam, membawa dua selimut tipis dan secangkir air hangat. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding di seberangnya, menatap Amara dalam hening. “Tak bisa tidur?” tanyanya akhirnya, lirih. Amara menggeleng. “Terlalu banyak yang bergerak di dalam pikiranku.” “Mau bicara?” Elvano menawarkan, lembut. Ia tak menjawab seketika. Tapi pandangannya tak lepas dari liontin di dadanya yang kini tampak semakin hidup. Seolah benda itu punya nadi sendiri, menyatu dengan tubuhnya. “Sejak turun dari Cermin Darah… rasanya aku bukan diriku lagi,” bisik Amara. “Dan yang pal
Malam itu, hutan Larangan tidak hanya sunyi. Ia seperti menanti sesuatu.Tak ada desir daun, tak ada lolongan binatang malam, bahkan cahaya bintang terasa enggan menembus celah ranting. Langkah-langkah Amara, Elvano, dan Ezra yang mulai terhuyung perlahan menapaki kembali tangga menuju permukaan tanah. Cahaya dari Cermin Darah masih berpendar lembut di belakang mereka, tapi tak ada yang berani menengok lagi.Sejak janji diucapkan, Amara tahu: dunia telah berubah."Bagaimana perasaanmu?" suara Elvano pelan, nyaris seperti bisikan.Amara tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tangannya masih sedikit bergetar, tapi bukan karena takut. Bukan pula karena dingin. Tapi karena kenyataan bahwa sesuatu di dalam dirinya... telah bangkit."Ada yang berbeda di tubuhku," ujarnya akhirnya, masih lirih. "Seperti... aku membawa sesuatu yang bukan hanya milikku. Seperti banyak suara, banyak kenangan... hidup di dalamku sekarang."E