Home / Horor / Gadis Tanpa Mata Batin / 2. Kostan Bu Diah

Share

2. Kostan Bu Diah

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2024-11-29 10:42:11

Bu Diah terlihat sumringah menyambut kedatangan Mina dan keluarganya. Wanita paruh baya itu terlihat lebih segar dan rapi dengan rambut yang disanggul. Ini tidak seperti bayangan Mina, ia membayangkan bahwa pemilik kostan ini adalah nenek-nenek tua. Ia menyambut mereka dengan senyum ramah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke area kost yang terlihat terawat dengan baik.

“Selamat datang, Bu, Pak, Mbak Mina yang mana ya?” sapanya halus sambil melirik ke arah Mina dan Miranti.

“Saya Mina yang mau kost disini, kalau ini adik saya, namanya Miranti” ucap Mina sambil menengok ke arah Miranti.

Miranti membalas dengan anggukan kecil, ekspresinya tetap serius, sementara Mina tersenyum lebar, antusias melihat kost barunya.

“Silakan masuk. Saya sudah siapkan kamarnya,” lanjut Bu Diah sambil mempersilakan mereka melangkah ke dalam.

Mina dan kedua orang tuanya terlihat nyaman dengan keramahan Bu Diah, tetapi Miranti sedikit menahan diri. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di atmosfer tempat itu. Bukan karena kostannya tampak tua—justru tempat itu bersih dan rapi—tapi lebih pada aura yang ia rasakan, yang sulit dijelaskan.

“Ini kamar nomor lima di lantai satu,” kata Bu Diah, membuka pintu kamar yang akan menjadi tempat tinggal Mina. Ruangan itu sederhana tetapi cukup nyaman, dengan satu ranjang single, meja belajar kecil, lemari, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di belakang.

Mina langsung masuk dengan mata berbinar. “Wah, bagus banget, Bu! Terima kasih ya. Aku nggak nyangka bisa dapat tempat sebagus ini dengan harga segini lho.”

Bu Diah terkekeh. “Alhamdulillah, Mbak Mina suka. Saya memang berusaha bikin penghuni nyaman. Lagipula anak-anak kost di sini kebanyakan juga sopan dan nggak banyak tingkah.”

Setelah Mina meletakkan kopernya, Bu Diah mengajak mereka melihat fasilitas lain. Ia menunjuk dapur bersama yang cukup luas dengan beberapa kompor, kulkas dan lemari tempat penghuni menyimpan bahan makanan. Lalu mereka naik ke lantai dua, di mana ada ruang mencuci dengan mesin cuci umum, serta area jemuran yang cukup lapang dan terlindung dari hujan.

“Tempat ini nyaman banget, Ayah, Ibu,” kata Mina sambil menoleh ke kedua orang tuanya. Pak Nurdin hanya tersenyum kecil, sementara Bu Nita mengangguk setuju meskipun masih ada sedikit kecemasan di wajahnya.

“Kalau Mina senang, ya Ayah juga senang,” jawab Pak Nurdin singkat.

Namun, Miranti tetap diam, hanya mengamati sekeliling. Saat melewati lorong menuju tempat jemuran, ia merasa seperti ada yang mengintip dari salah satu kamar kosong. Ia menoleh cepat, tetapi tidak melihat apa-apa. Kamar itu tertutup rapat.

Setelah selesai berkeliling, mereka kembali ke kamar Mina. Bu Diah berpamitan, meninggalkan mereka untuk membereskan barang-barang.

“Kamarnya nyaman, kok,” kata Mina lagi sambil mulai membuka kopernya. “Aku senang banget pilih kost ini. Murah, bersih, dan fasilitasnya banyak. Aku beruntung banget!”

Miranti mendekati jendela kamar, melirik ke arah taman kecil di belakang. Ia mengerutkan kening. Ada bayangan seperti seseorang berdiri di sana, tapi saat ia berkedip, bayangan itu menghilang.

“Mbak Mina,” panggil Miranti pelan, suaranya agak bergetar. “Kamu yakin tempat ini nggak... ada apa-apa?”

Mina tertawa kecil. “Ah, kamu terlalu parno, Ran. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Ini kost, bukan rumah hantu.”

Pak Nurdin dan Bu Nita saling bertukar pandang. Meskipun mereka tidak ingin menakut-nakuti Mina, kekhawatiran kecil mulai tumbuh di hati mereka, terutama karena sikap Miranti yang semakin murung.

Sore itu, mereka meninggalkan Mina di kost, berharap anak sulung mereka baik-baik saja. Tetapi, di kepala Miranti, ada satu pertanyaan yang belum bisa ia abaikan: Apakah Mina benar-benar aman di sini?

***

Malam semakin larut, Mina akhirnya selesai membereskan barang-barangnya. Ia merasakan kering di tenggorokannya. Mina melangkah ke dapur dengan sendal rumah yang sedikit berbunyi saat menyentuh lantai keramik. Ia membuka lemari dapur untuk mengambil gelas, lalu mengisi air dari dispenser. Setelah minum seteguk, matanya melirik sebuah rak kecil di sudut dapur. Popmie rasa ayam bawang yang ia bawa dari rumah masih tertata di sana, dan perutnya mulai berbunyi pelan.

Ia memutuskan menyeduhnya. Sementara air panas mengalir ke dalam gelas Popmie, suara langkah pelan terdengar mendekat. Mina menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri di ambang pintu dapur. Perempuan itu tersenyum ramah, mengenakan piyama bermotif bunga, rambutnya dikuncir sederhana.

"Eh, lagi bikin mie, ya?" tanya perempuan itu.

"Iya," jawab Mina sambil membalas senyum. "Kamu siapa? Aku baru pindah ke sini tadi sore."

Perempuan itu melangkah masuk, mendekati Mina. "Aku Kinan, penghuni kamar nomor 9. Kamu yang baru pindah ke kamar 5, kan? Aku lihat waktu kamu bawa barang tadi siang."

Mina mengangguk. "Iya, aku Mina. Kerja di bagian administrasi kantor PT. Tidur Enak Indonesia. Kantornya tidak jauh kok sama kost ini."

"Oh, aku juga kerja di sana, tapi di divisi gudang, bagian purchasing," ujar Kinan. Ia menyandarkan tubuh ke meja dapur, tampak santai. "Kost ini enak, kok. Tenang, cuma kadang ada beberapa hal yang... ya, gitu deh."

Mina mengerutkan kening, meletakkan tutup Popmie ke atas gelasnya agar matang sempurna. "Maksud kamu gimana?"

Kinan tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa. Mungkin aku cuma kebanyakan nonton film horor." Ia tertawa kecil, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Mina tidak terlalu menggubris, dan suasana kembali nyaman. Setelah mie siap, ia mengaduk pelan dan duduk di kursi dapur. Kinan mengambil satu mug kopi dari rak dan menuang air panas untuk dirinya sendiri.

Namun, saat mereka berbincang, suara pelan seperti ketukan terdengar dari arah jendela dapur. Kinan menoleh cepat, tetapi Mina tidak menyadarinya. "Kamu dengar itu?" tanya Kinan, wajahnya tampak sedikit tegang.

"Dengar apa?" Mina menatapnya bingung sambil menyeruput kuah mie. "Aku nggak dengar apa-apa."

Kinan diam sejenak, matanya kembali melirik ke arah jendela. "Nggak, nggak apa-apa. Mungkin cuma pohon kena angin."

Mina tersenyum santai. "Ohh gitu ya"

Kinan hanya tersenyum samar, tapi sorot matanya berubah—seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang.

Kinan tiba-tiba berdiri, wajahnya terlihat sedikit tegang. Ia melirik ke arah jendela sekali lagi, lalu cepat-cepat meletakkan mugnya di atas meja. "Eh, aku ke kamar dulu, ya," katanya singkat, suaranya terdengar sedikit gemetar.

"Loh, buru-buru banget? Baru juga ngobrol," sahut Mina santai sambil menyeruput kuah mie yang masih panas.

Kinan tersenyum tipis, lebih seperti berusaha menutupi kegelisahan. "Iya, ada yang mesti aku urus di kamar. Nanti kita ngobrol lagi, ya." Ia melangkah cepat keluar dari dapur, meninggalkan Mina yang masih asyik menikmati makanannya.

Mina hanya mengangkat bahu, merasa Kinan agak aneh, tapi tidak terlalu memikirkannya. Suasana dapur kembali sunyi. Ia melanjutkan makan dengan tenang, menyeruput mie hangat sambil memainkan sendoknya.

“Hmm, ini mie udah enak, tapi kayaknya kuahnya kurang asin, kebanyakan air nih kayanya” gumam Mina sambil mengaduk mie dengan sendok. Ia berdiri, melangkah ke rak bumbu untuk mencari garam, tiba-tiba tanpa disadari, sosok perempuan berbaju putih dengan rambut panjang muncul di belakangnya, berdiri diam di sudut dapur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Tanpa Mata Batin   32. Keanehan Kembali

    Langit di ufuk timur perlahan mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi ungu keemasan. Udara pagi terasa dingin menusuk, namun semangat rombongan mulai bangkit kembali saat mereka memulai perjalanan ke puncak tepat pukul 05.00.Pak Rahman memimpin rombongan di barisan depan, diikuti oleh Zuen, Iren, Mina, dan Tara yang berjalan berdekatan di tengah, sementara Pika memilih untuk berada di barisan paling belakang. Sebagai salah satu yang paling berpengalaman dalam mendaki, Pika merasa tanggung jawabnya adalah memastikan tidak ada yang tertinggal atau mengalami masalah di perjalanan.Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin tidak tenang perasaan Pika. Bukan hanya karena medan yang semakin berat, tapi karena Tara.Pika melirik ke arah Tara yang berjalan di depan dirinya. Gerakannya terlihat lambat dan kaku, berbeda dari biasanya. Wajahnya tetap pucat, dan tatapannya kosong. Pika merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu."Tara… kenapa kamu jadi seperti ini?" gumamn

  • Gadis Tanpa Mata Batin   32. Gangguan Berlanjut

    Setelah memastikan semua orang sepakat, Pika keluar dari tenda untuk menyampaikan keputusan kepada Pak Rahman.Di dalam tenda, suasana kembali hening. Tara berbaring kembali tanpa mengatakan apa-apa, sementara Mina merapikan tasnya untuk memastikan semuanya siap saat mereka harus pergi.Zuen duduk bersandar di dinding tenda, menatap ke arah pintu dengan pandangan kosong. "Aku harap keputusan ini yang terbaik," gumamnya.Iren yang duduk di sebelahnya menghela napas panjang. "Aku juga. Semoga Tara benar-benar kuat. Aku nggak mau ada yang jatuh sakit atau… sesuatu yang lebih buruk."Mina menoleh ke arah mereka berdua, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tulus. "Nggak ada yang buruk akan terjadi. Kita harus percaya, kan? Kalau kita bareng-bareng, semuanya pasti baik-baik aja."Kata-kata Mina membuat suasana sedikit lebih ringan. Zuen dan Iren tersenyum kecil, meskipun rasa gelisah masih mengintai di hati mereka.Di sudut tenda, Tara membuka matanya sedikit, mengamati Mina dalam diam

  • Gadis Tanpa Mata Batin   31. Keputusan Pendakian

    Dini hari suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Jam di tangan Pak Rahman menunjukkan pukul 02:00 saat ia berjalan menuju tenda Pika. Suara langkah kakinya terdengar samar di atas tanah yang lembap. Lampu senter kecil yang dibawanya menerangi jalan, menciptakan bayangan panjang yang tampak semakin menakutkan di antara pohon-pohon tinggi.Pak Rahman berhenti di depan tenda Pika dan mengetuk bagian atasnya perlahan."Pika, kamu bangun?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.Terdengar suara resleting tenda dibuka. Pika muncul dengan wajah setengah mengantuk, rambutnya berantakan dan tubuhnya terbungkus jaket tebal."Pak Rahman? Ada apa?" tanya Pika, suaranya serak."Saya mau tanya, apa kalian berencana melihat matahari terbit di puncak? Kalau iya, kita harus mulai perjalanan sekarang," jawab Pak Rahman sambil menunjuk ke arah jam di pergelangan tangannya.Pika menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kusut. Ia menoleh ke dalam tenda, tempat Nadin dan Ratn

  • Gadis Tanpa Mata Batin   31. Mencekam

    Iren dan Zuen saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Langkah kaki itu masih terdengar, semakin jelas, seperti bergerak lebih dekat ke tenda mereka."Zuen, kamu denger itu lagi?" bisik Iren sambil mendekat ke Zuen.Zuen mengangguk, matanya tidak lepas dari pintu tenda. "Iya. Aku nggak tahu siapa atau apa itu, tapi ini nggak wajar."Mina menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin ini cuma pikiran kalian aja. Aku nggak denger apa-apa, beneran."Namun, suara langkah kaki itu mendadak berhenti. Keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih mencekam daripada suara apa pun.Zuen dan Iren semakin tegang, tetapi Mina tetap tidak mendengar apa-apa. Dia memandang teman-temannya dengan rasa bingung sekaligus penasaran."Kalian berdua serius banget. Kalau ada suara itu, kenapa aku nggak denger?" tanya Mina.Zuen mengangkat bahu, suaranya pelan. "Aku juga nggak tahu. Tapi ini nyata, Min. Aku yakin."Mina kembali menoleh ke Tara, yang masih duduk diam dengan wajah

  • Gadis Tanpa Mata Batin   30. Kembali

    Yang lain mengikuti, menatap Tara dengan campuran lega dan keheranan. Tara berdiri di tengah kabut, tubuhnya sedikit membungkuk, tetapi senyuman kecil terlihat di wajahnya."Aku… aku akhirnya balik," ucap Tara dengan suara pelan.Mina langsung berlari dan memeluk Tara erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Tara, maaf! Aku bener-bener minta maaf. Aku ninggalin kamu. Aku pikir… aku pikir kamu nggak akan balik."Tara tidak langsung menjawab, hanya menepuk punggung Mina dengan lemah. Suaranya terdengar serak. "Aku baik-baik aja, Mina. Jangan nangis, ya. Maaf aku tadi pergi gak bilang-bilang"Yang lain ikut bergabung, memeluk Tara satu per satu dengan wajah lega. Bahkan Zuen yang biasanya tenang terlihat emosional, sementara Kinan terus-menerus memastikan Tara benar-benar tidak terluka.Namun, di tengah kehangatan itu, Pak Rahman hanya berdiri di tempatnya, mengamati Tara dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Tara terlalu pucat, lebih pucat dari orang yang hanya kehu

  • Gadis Tanpa Mata Batin   29. Pencarian

    Hujan masih turun, meski mulai mereda menjadi gerimis tipis. Udara di sekitar perkemahan terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Kabut tetap tebal, seperti selimut tak kasat mata yang menutup pandangan. Malam semakin larut, tetapi perasaan cemas di antara rombongan tak kunjung reda.Tenda yang tadinya menjadi tempat berlindung terasa seperti ruang sempit penuh beban. Semua orang duduk dalam diam, saling melirik dengan wajah lelah dan pucat. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, memenuhi atmosfer yang sudah mencekam sejak Tara menghilang.Pintu tenda terbuka dengan suara lirih. Pak Rahman masuk, wajahnya basah oleh air hujan, tubuhnya tampak kelelahan setelah berjam-jam mencari di tengah hutan. Semua mata tertuju padanya, berharap ia membawa kabar baik.Namun, tatapan kosong di wajahnya sudah menjawab semuanya. Ia menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Saya belum berhasil menemukan Tara."Kata-kata itu membuat suasana di dalam tenda lang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status