“Tadi Aarav dijodohin lagi sama oma,” kata mommy berbisik di tengah-tengah acara fashion show sedang berlangsung.
Keduanya duduk di kursi di sisi catwalk bersama tamu undangan yang lain. Daddy Akbi menoleh ke belakang mencari Aarav yang tadi terlihat duduk di sana dan akhirnya menangkap sosok Aarav, sang putra menatapnya malas karena daddy Akbi memberikan senyum meledek. Hanya melihat senyum daddy saja, Aarav sudah menduga kalau sang mommy pasti telah memberitahu daddy perihal perjodohannya dengan seorang gadis makeup artis. Pasalnya tadi saat oma selesai mengucapkan kalimat paksaan agar gadis makeup artis itu mau menikah dengannya—bertepatan dengan langkah mommy tiba di antara mereka. Aarav masih ingat dengan ucapan sompralnya sewaktu menunggu Rachel-sang kakak ipar melahirkan si kembar di rumah sakit beberapa waktu lalu—Aarav pernah mengatakan akan menerima siapapun gadis yang dijodohkan untuknya. Jadi sepertinya sekarang dia tidak memiliki kuasa untuk menolak lagi. “Ceweknya ajak makan malem habis acara ini,” kata daddy yang ingin tahu gadis seperti apa yang kali ini dijodohkan sang ibu mertua kepada Aarav. Pasalnya oma Aneu sudah puluhan kali menjodohkan Aarav dengan banyak gadis cantik dan selalu berakhir gagal. “Okeh,” kata Mommy mengangkat satu jempolnya begitu antusias. “Kamu tahu orangnya, Yang?” Daddy Akbi bertanya. “Tahu percis sih enggak, tapi aku kenal … dia makeup artis kepercayaannya oma.” Daddy mengerutkan keningnya bingung. “Yang mana?” “Kamu enggak akan tahu, Yang.” Karena memang Mommy dan oma memiliki makeup artis sendiri-sendiri untuk para model yang akan memperagakan baju hasil rancangan mereka. “Cantik?” Daddy bertanya penasaran. “Cantik donk, dia makeup artis dan beauty blogger.” “Lalu apa kata Aarav waktu ibu jodohin dia sama cewek itu?” Daddy tidak fokus memperhatikan para model yang berlenggak-lenggok di atas catwalk, dia malah sibuk mencecar sang istri dengan banyak pertanyaan mengenai gadis yang dijodohkan dengan Aarav. “Dia diem aja sambil natap Bella tanpa jeda … terkesima kali dia.” Mommy mengakhiri jawabannya dengan tawa karena mengingat ekspresi pucat sang putra kala itu. Daddy jadi tidak sabar ingin bertemu dengan gadis yang dijodohkan dengan Aarav. *** “Bella, ikut saya makan malam ya!” Oma Aneu berseru demikian sembari berlalu tanpa bersedia mendengar jawaban Sifabella. Dan makan malam kali ini pasti melanjutkan permintaan beliau tentang menikahi cucunya. Sifabella bisa apa? Oma Aneu adalah bosnya, hubungan mereka akan tidak kondusif nantinya bila Sifabella menolak. Jadi mau tidak mau Sifabella menyanggupi keinginan beliau untuk ikut makan malam usai acara selesai. “Cucu saya itu orangnya baik, dia sudah mapan dan akan tinggal di Sydney untuk memimpin perusahaan milik kakeknya … kamu enggak perlu kerja lagi nanti … tinggal ongkang-ongkang kaki saja di rumah … buatlah anak yang banyak karena keluarga kami memiliki banyak anak perusahaan yang membutuhkan banyak pemimpin,” ujar oma Aneu begitu renyah saat mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran. Sifabella tersenyum kecut menanggapi ucapan oma Aneu. “Kamu tenang aja, di sana kamu akan tinggal di kawasan yang banyak orang Indonesianya …,” sambung oma Aneu lagi seakan Sifabella telah menyetujui permintaannya. Mobil MPV Premium yang dikemudikan driver akhirnya berhenti di depan lobby sebuah restoran yang tidak jauh dari venue. Sifabella turun lebih dulu tidak lupa membantu bu Aneu yang sudah sepuh untuk turun dari mobil. Perhatian kecil itu yang oma Aneu suka dari Sifabella karena jarang ada karyawannya yang sampai peduli hingga hal seperti itu kepadanya. Dan Sifabella melakukannya bukan hanya kepada oma Aneu saja tapi orang lain yang usianya seumuran beliau jadi oma Aneu bisa menilai kalau Sifabella memiliki hati yang tulus. Sifabella menggandeng tangan oma Aneu memasuki restoran, mereka diarahkan oleh pelayan menuju sebuah meja. “Halloooo …,” sapa wanita mungil yang juga Sifabella kenal sebagai desainer ternama Negri ini dan merupakan anak dari bosnya. Sifabella mengangguk disertai senyum membalas sapaan beliau. “Ini kenalin suami saya, dia penasaran banget sama kamu, Bell ….” Beliau menunjuk seorang pria yang masih tampan meski usianya tidak lagi muda. Pria itu tersenyum sembari mengulurkan tangan. “Hallo calon mantu … panggil aja Daddy Akbi,” kata beliau berkelakar. “Kalau gitu, mulai sekarang panggil saya Mommy Bee, ya!” pinta beliau tampak begitu bahagia. “Sifabella, Om… eh, Dad….” Sifabella memaksakan sebuah senyum. Seorang pria bernama Aarav yang tadi dijodohkan oma Aneu pada Sifabella duduk di samping daddy Akbi dan menunjukkan tampang tidak bersahabat. “Aarav … ajak Bella ngobrol di meja lain.” Oma memerintah. Sifabella dan Aarav saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya secara bersamaan memutus tatap. Sifabella masih bisa menyunggingkan seulas senyum tidak seperti Aarav yang menunjukkan tampang masam. “Bella ngobrol aja dulu sama Aarav … nanti lambaikan tangan kalau udah enggak kuat.” Daddy Akbi tertawa usai berkata demikian. “Kami enggak akan memaksa, kalau setelah pertemuan ini kalian merasa enggak cocok … ya sudah enggak jadi juga enggak apa-apa, tapi sekarang kalian ngobrol saja dulu berdua,” kata mommy agar Aarav dan Sifabella tidak tegang. “Tapi enggak semudah itu, Bu … eh, Mom.” Sifabella membatin. Mommy yang sudah beranjak dari kursi pun merangkul lengan Aarav dan Sifabella lalu menuntunnya ke sebuah meja kosong. “Mommy tinggal ya,” kata mommy setelah Aarav dan Sifabella duduk berhadapan.Suatu pagi, aroma tumisan bawang putih sempat memenuhi dapur rumah utama keluarga Marthadijaya di kawasan elit kota Sydney.Sifabella sedang memasak melakukan rutinitas paginya setelah mereka liburan.Meski hanya mengenakan kaos putih longgar dan celana linen krem namun ibu satu anak itu tampak cantik dengan rambutnya diikat asal.Aura keibuan nya terpancar saat sibuk di balik meja dapur.Aghastya sudah bangun, dia duduk di kursi tingginya terlihat sibuk bermain mainan dinosaurus sambil sesekali menyuap sereal cokelat dari mangkuk.Aarav juga ada di rumah makan bersama Aghastya tapi di hadapannya laptop terbuka dan secangkir kopi.“Aga, habisin sarapannya, ya, sayang. Nanti kita antar kamu ke sekolah terus Papi kerja,” ujar Sifabella sambil mengaduk sayur.“Iya Miiii.” Aga menjawab malas-malasan.Tiba-tiba—“Ugh!”Sifabella menghentikan gerakannya. Tangannya refleks menutup mulut.Aarav langsung menoleh. “Sayang, kamu kenapa?”Alih-alih menjawab, Sifabella berlari ke kamar
Matahari pagi sudah naik tinggi saat mobil yang dikemudikan Aarav tiba di area Carriageworks Farmers Market, yang terkenal dengan hasil bumi lokal segar, kopi artisan, dan suasana yang hidup setiap Sabtu dan Minggu pagi.Sifabella turun dari mobil, tubuh rampingnya dibalut setelan linen longgar warna sage green dan sandal tali, dengan kacamata hitam besar yang menutupi wajah segar tanpa makeup.Sementara Aarav menurunkan stroller—meski yang naik bukan bayi, melainkan Aghastya yang ngotot ingin naik stoller “seperti bayi bar-barat”.Mereka berjalan beriringan menuju deretan lapak.“Mami, aku mau beli pisang yang bisa jadi senjata!” seru Aga.“Pisang bukan buat dimainin, sayang,” timpal Sifabella sabar.“Tapi bisa jadi pistol bayangan!” balas Aga sambil mengacungkan jari ke udara.Di tengah keramaian, mereka menyusuri lorong-lorong lapak berisi ; buah-buahan lokal seperti persik dan ceri, sayuran organik dengan warna mencolok, roti sourdough yang menggoda, dan aneka bunga segar y
Akhir pekan tiba dengan langit biru bersih tanpa awan. Udara di Rose Bay terasa segar, embusan angin dari lautan membawa aroma asin yang menenangkan. Di rumah mungil mereka yang terletak hanya dua blok dari pantai, suasana pagi lebih lambat dari biasanya.Sifabella berjalan santai ke dapur dengan daster bergambar semangka, rambutnya masih berantakan. Di meja, Aarav tengah menggulung pancake untuk Aghastya, yang sudah duduk manis di kursi tinggi sambil bernyanyi lagu dari kartun favoritnya.“Mami, hari ini kita ke pantai ‘kan? Aga mau cari kerang!” serunya sambil mengangkat dua tangan seperti orang teriak “yeay!”Aarav menoleh, “Kita bukan cuma mau cari kerang. Kita mau piknik! Mami udah siapkan sandwich dan buah-buahan, Papi yang nyetir, Aga yang nyanyi.”“Terus tugas Mami apa?” tanya Sifabella sambil menuang teh ke cangkir.Aarav mendekat, memeluk istrinya dari belakang. “Tugas Mami adalah kelihatan cantik dan bahagia. Bonus kalau nanti malam bisa… skidipapap.”Sifabella menyik
Di pagi yang cerah di The Little Explorers Early Learning Centre, suasana kelas usia tiga tahun sedang sibuk-sibuknya.Meja bulat mungil dipenuhi crayon warna-warni, kertas gambar, dan remah-remah biskuit. Di sudut ruangan, dua anak kecil duduk berdampingan dengan wajah serius—seolah sedang membahas perjanjian internasional yang sangat penting.Mereka adalah Aghastya dan Amira.Aga memakai jumper dinosaurus favoritnya. Amira mengenakan dress bergambar unicorn. Di tangan mereka ada satu kertas gambar besar berisi lukisan aneh: seekor dinosaurus berwarna ungu yang memeluk pelangi dan makan donat.“Itu kamu ya, Aga?” tanya Amira menunjuk dinosaurus ungu.“Iya. Kamu yang pelangi,” jawab Aga mantap.“Kenapa aku pelangi?”“Soalnya kamu cantik, kayak langit kalau abis hujan,” sahut Aga, meniru ucapan papi ke mami malam sebelumnya.Amira terdiam sejenak, lalu tersipu—gaya anak tiga tahun tersipu adalah menunduk sambil menggigit lengan baju sendiri.“Tapi… kamu enggak boleh peluk pela
Pagi itu aroma roti panggang, scrambled egg, dan kopi hitam memenuhi dapur padahal matahari belum sepenuhnya naik di atas Sydney Harbour.Sifabella dengan rambut dikuncir asal dan piyama berbentuk bintang-bintang, tengah menuang susu ke gelas kecil bergambar dinosaurus.Di meja makan, Aarav sudah duduk dengan koran digital di tablet dan secangkir kopi favoritnya, sementara Aghastya duduk di kursi tingginya sambil memukul-mukul sendok ke meja.“Mami, Aga mau dua telur! Tapi yang satu setengah! Yang satu lagi utuh tapi enggak boleh ada kuningnya!” katanya penuh semangat, lalu menepuk-nepuk meja seperti koki sedang demo masak di TV.Sifabella menoleh dengan alis naik satu. “Permisi, kamu pikir ini restoran hotel bintang lima, sayang?”Aghastya mengangkat bahu kecilnya. “Kan Mami chef terbaik se-Sydney,” jawabnya dengan senyum menawan.Aarav tertawa sambil melirik istrinya. “Pinter banget anak ini gombalin maminya.”“Ada turunan dari siapa ya kira-kira?” Sifabella memicing menatap
Langit Sydney cerah dengan semburat merah muda ketika Aarav turun dari mobil hitamnya di depan gedung kaca menjulang di kawasan Barangaroo—pusat distrik finansial baru yang menggantikan dominasi Central Business District tua.Gedung kantor pusat Marthadijaya Group Australia berdiri megah menghadap Darling Harbour. Dindingnya memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ilusi kolom-kolom cahaya yang bergerak.Seorang security lokal membuka pintu lobby dan menyapa ramah, “Morning, Mr. Marthadijaya.”Aarav membalas dengan anggukan kecil. Meski statusnya CEO, dia menjaga budaya kerja yang egaliter—budaya khas Australia. Tidak banyak formalitas, tapi tetap penuh profesionalisme.Begitu memasuki lift kaca yang bergerak pelan ke lantai 37, ia sempat melihat pantulan dirinya—kemeja putih bersih, coat abu-abu, dan wajah yang terlihat tiga tahun lebih tua sejak sang kakek, Beni Marthadijaya, wafat dan mewariskan perusahaan ini padanya.**Sesampainya di lantai eksekutif, Meira—asisten pr