Sifabella dan Aarav saling memaku tatap.
Mereka duduk berhadapan di meja itu. Oke, Sifabella akui kalau Aarav memang tampan tapi sebagai makeup artis yang bekerja untuk oma Aneu yang selalu berhubungan dengan para model—Sifabella sudah imun dengan pria tampan dengan tubuh atletis. Itu kenapa Sifabella merasa biasa saja. Sedangkan Aarav sedang fokus memindai keseluruh wajah Sifabella untuk mencari kekurangannya. Dia masih memiliki mindset akan menolak perjodohan ini padahal sudah tidak bisa lagi untuk melakukan itu. Wajah Sifabella kecil, keningnya sempit, hidungnya lancip, matanya bulat dan bibirnya mungil tapi padat. Menurut Aarav, secara keseluruhan Sifabella memang cantik tapi dia menduga pasti Sifabella cantik karena polesan makeup mengingat gadis yang dijodohkan dengannya ini adalah makeup artis. Sifabella menunggu Aarav bicara namun pria itu malah melipat kedua tangan di dada sambil terus menatapnya membuat Sifabella jengah. Dia tidak memiliki waktu untuk main-main seperti ini. Sifabella harus pulang untuk kemudian tidur karena besok dia harus merias pengantin pagi sekali. Tidak sedikitpun dia berharap pada ucapan oma Aneu di dalam mobil tadi yang mengatakan dia tinggal ongkang-ongkang kaki saja di rumah bila menikah dengan pria di depannya itu. Semenjak sang ayah mengecewakannya, Sifabella pantang berharap pada siapa atau apapun di dunia ini. “Gini ya Mas … siapa tadi namanya?” Sifabella memulai dengan pertanyaan yang terdengar meremehkan di telinga Aarav. “Sialan … dia lupa nama gue.” Aarav membatin, egonya terluka merasa disepelekan. “Aarav.” Aarav menyebut juga namanya meski dengan ekspresi kesal. “Oke … Mas Aarav itu ‘kan cucunya bu Aneu, sedangkan aku adalah pegawainya bu Aneu … ‘kan enggak mungkin ya aku nolak terang-terangan perjodohan ini … dan aku juga tahu kalau Mas Aarav enggak tertarik sama aku sejak kita ketemu di backstage tadi, jadi … aku mohon, Mas Aarav aja yang nolak perjodohan ini ya … aku enggak enak hati kalau nolak permintaan bu Aneu, soalnya aku kerja sama beliau.” Demi apa, hati Aarav mencelos. Ternyata seperti ini rasanya ditolak dan Sifabella adalah satu-satunya gadis yang menolak dijodohkan dengannya di pertemuan pertama. “Kalau gue enggak mau gimana?” Aarav mengetes. Bila sebelumnya dia memiliki kuasa untuk menolak semua wanita yang dijodohkan dengannya, kali ini dia tidak akan menerima penolakan terang- terangan yang dilakukan gadis terakhir yang dijodohkan dengannya tersebut. Tentu saja Sifabella melongo mendengar satu kalimat Aarav tadi. “Enggak mau itu maksudnya gimana? Enggak berani ngomong sama bu Aneu atau enggak akan menolak perjodohan ini?” Sifabella tanpa segan meminta kejelasan. Sikap Sifabella itu justru membuat Aarav tertarik padahal awalnya pria itu memandang Sifabella tanpa minat. “Gue enggak akan nolak perjodohan ini … gue udah janji sama oma akan menerima gadis terakhir yang beliau jodohkan … dan lo gadis terakhir itu.” Aarav mengatakannya hanya untuk membuat gadis sombong di depannya ini kesal. Sifabella mengerjapkan mata beberapa kali membuat bulu mata lebatnya mengibas dan menarik perhatian Aarav. Sifabella mengembuskan napas panjang, dia bersandar punggung. Mengikuti gesture tubuh Aarav, Sifabella melipat kedua tangan di dada membuat dua gundukan di sana tampak jelas dan sebagai pria normal—pandangan Aarav langsung tertuju ke sana. “Waw … gede juga.” Dia memuji di dalam hati. “Maaf banget ya Mas … sekali lagi aku minta maaf, tapi setau aku tuh menikah harus berlandaskan atas cinta … sedangkan tadi dalam perjalanan ke sini, bu Aneu cerita kalau Mas Aarav akan pergi ke Sydney dua minggu lagi dan menetap di sana jadi kalau kita udah sepakat … kita menikah minggu depan ….” Sifabella menjeda, menatap Aarav lekat. “Dan itu enggak mungkin, karena kita enggak punya waktu untuk saling mengenal sampai ke tahap mencintai,” sambungnya penuh penekanan. Sorot mata Sifabella yang berani dan tidak berkedip ketika menatapnya membuat Aarav kian tertantang. “Iya … betul, kita enggak punya waktu.” Aarav memberi tanggapan. “Nah karena itu … Mas Aarav harus menolak perjodohan ini.” Sifabella malah mengatur. “Ini cewek terbuat dari apa sih? Berkali-kali dia merendahkan gue, ngomong secara enggak langsung kalau dia enggak suka sama gue … dia buta apa? Gue udah ganteng banget gini, juga.” Yang hanya bisa Aarav utarakan di dalam hati. Aarav tidak mengerti kenapa bisa kencannya kali ini sangat absurd karena biasanya dia yang menolak para gadis dan bukan malah sebaliknya. “Gue udah bilang ‘kan tadi, gue enggak akan nolak perjodohan ini … kita akan menikah dua minggu lagi.” Aarav mengatakannya dengan lugas. Sifabella sontak mengurut kening yang terasa pening dan sikapnya tersebut memperparah luka pada ego Aarav.Arshavina tidak berhenti menangis sepanjang perjalanan udara.Dia yang paling dekat dengan opa dan sering berkomunikasi dengan beliau meski hanya bertukar pesan singkat karena sekarang Arshavina sibuk merawat ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.Beruntung Kama membawa Nanny ikut serta guna menjaga tiga anaknya jadi dia bisa fokus menenangkan sang istri.“Aku harusnya lebih sering datang ke Sydney, aku semestinya lebih sering telepon … aku hiks … aku ….” Arshavina tidak mampu melanjutkan kalimatnya lantaran tidak sanggup menahan sesak di dada.Arshavina terus menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang di luar kuasanya.Matanya masih belum berhenti mengalirkan buliran kristal yang semakin deras.Kama menarik pinggang Arshavina, menenggelamkan tubuh mungil istrinya itu di dalam pelukan dan detik berikutnya terdengar suara raungan Arshavina yang teredam di dada Kama.Beberapa kursi di belakang mereka, ada Mommy yang juga sedang menangis di pelukan daddy.“Kamu tahu, Bee … andaikan papa
Semua yang terjadi ternyata sudah ditakdirkan, tidak ada yang kebetulan.Kama tidak kebetulan memiliki waktu cuti saat mommy mengajaknya ke Sydney untuk menengok anggota keluarga Marthadidjaya yang baru lahir ke dunia sehingga dia dan istri Arshavina-Marthadidjaya juga anak-anaknya bisa bertemu opa Beni.Aarash dan Rachel juga bukan kebetulan memiliki waktu luang saat mommy mengajak mereka ke Sydney.Begitu juga oma Aneu yang biasanya super sibuk namun selama satu minggu ke depan sedang tidak memiliki jadwal apapun.Tiba-tiba mereka semua dipermudah untuk pergi ke Sydney, bertemu opa untuk yang terakhir kali.Sepertinya opa Beni begitu bahagia dikelilingi anak, menantu, cucu, cucu menantu dan para cicitnya sampai mantan istri dan besan sehingga beliau meninggalkan mereka semua dalam keadaan tersenyum.Opa Beni juga mungkin sudah lega karena Aarav telah menikah dan dikaruniai anak serta kasus skandal yang menyeretnya telah selesai, berakhir dengan nama baiknya kembali.Kebahagiaan tadi
Aarav sedang menikmati momen kebahagiaan menjadi seorang ayah.Sebenarnya tidak pernah terpikir olehnya bisa sampai pada tahap ini bersama seorang perempuan mengingat dia pernah sangat trauma untuk menjalin cinta.Namun ternyata pernikahan yang dipaksakan dengan orang yang tepat bisa membuat Aarav percaya lagi dengan yang namanya cinta.Hari itu Aarav membawa Sifabella dan putra mereka pulang dari rumah sakit ke rumah opa lantaran keluarganya akan tinggal di sana selama beberapa hari ke depan.Otomatis suasana rumah menjadi sangat ramai oleh para balita, batita dan newborn dengan tawa, teriakan dan tangis.Opa merasa sangat bahagia, hidupnya terasa sempurna.Ruang televisi yang luas itu kini dipenuhi oleh keluarga Marthadidjaya.“Opa, foto donk sama cicit-cicit …,” cetus Arshavina membawa kamera profesional milik suaminya.“Iya … Opa foto sama para cicit, nih gendong.” Aarav memberikan Aghastya-putranya kepada Opa tanpa khawatir.Opa langsung menekukan lengannya menerima Aghastya, ter
Harvey memeluk Rossa sekaligus Aleia yang sedang digendong wanita itu.Tanpa segan—di depan Aleia—Harvey memberikan banyak kecupan di wajah Rossa.Aleia ikut-ikutan memberikan kecupan di sisi wajah Rossa yang lain.Hati Rossa terasa bergetar hebat, namun dia tidak bisa mengubah pikirannya.Dia tidak ingin anaknya nanti bernasib sama dengannya, menjadi anak brokenhome.Apalagi yang dicintai Harvey adalah sahabatnya sendiri.“Aunty … kapan Aunty akan datang lagi?” tanya Aleia menegakan tubuhnya begitu juga Harvey yang sudah berhenti menciumi Rossa.Mereka berdua melihat kantung mata Rossa basah oleh buliran kristal tapi tidak berani membahasnya.Refleks Rossa mengusap kelopak matanya menggunakan punggung jari.“Emmm … nanti Aunty telepon Aleia kalau mau ke sini ya, Aunty harus kerja dulu.” Rossa terus mengulang alasan kepulangannya itu agar Aleia tidak tantrum.“Jangan lama-lama ya Aunty, nanti Aleia rindu … Aunty Bella sekarang udah punya bayi jadi mungkin enggak akan main sama Aleia
Rossa yang duduk di depan meja rias sedang memakai skin care menoleh pada pintu saat terdengar suara ketukan dari sana.Detik berikutnya pintu itu terbuka memunculkan sosok Harvey.Pria itu masuk tanpa segan lalu menutup pintu rapat tidak lupa mengunci pintu.Dari sana Rossa tahu kalau dia harus ‘bekerja’, dia memang tidak bayar makan tidur di rumah Harvey tapi harus melayani nafsu pria itu yang telah lama terpendam semenjak istrinya meninggal.Dia beranjak dari kursi meja rias, langkahnya bertemu dengan Harvey di tengah kamar.“Aleia udah tidur?” Rossa bertanya.“Udah … tadi aku yang ngelonin,” jawab Harvey dengan tangan menarik pinggang Rossa sehingga dada mereka merapat tanpa jeda.“Daddynya Aleia mau aku kelonin juga?” Rossa menawarkan dengan suara dan tatapan menggoda.Harvey tersenyum, dia menjawab dengan ciuman di bibir Rossa.Kali ini Rossa merasakan ciuman Harvey berbeda, begitu lembut namun tetap mendamba, tidak seperti biasa yang selalu bernafsu.Kedua tangan Harvey melapis
“Hallo adik bayi, Apakabar adik bayi?” Aleia sedang mengajak bermain bayi tampan yang sedang digendong Rossa sementara mami si bayi sedang sarapan pagi disuapi sang papi.“Aunty … Aleia mau punya adik,” pinta Aleia kepada Rossa dengan ekspresi memohon membuat Rossa tergelak begitu juga Sifabella yang tampak senang.“Bilang donk sama daddy, biar daddy cari mommy untuk Aleia.” Rossa menimpali.“Kalau Aunty aja yang jadi mommynya Aleia, gimana?” tanya Aleia polos.“Tuuuh, Ca … kode itu sih, bokapnya yang ngajarin,” kata Aarav menggoda Harvey.Tatapan Harvey dari Rossa dan Aleia beralih kepada Aarav kemudian mendelik kesal sebagai bentuk sanggahan kalau ucapan Aarav tidak lah benar.Rossa menoleh pada Harvey disertai senyum kecut.“Auntyyyy ….” Aleia merengek.“Apa sayaaaang.” Rossa menjawil pipi Aleia karena gemas.Tok … Tok …“Permisi ….” Opa Beni masuk dengan ekspresi wajah gembira.“Masuk Opa ….” Aarav bangkit dari kursi di sisi ranjang Sifabella kebetulan dia sudah selesai menyuapi