Share

Ternyata sama saja

Aku dimusuhi sama mama dan Lolita karena kejadian kemarin, jangankan berbicara untuk sekadar menjawab sapaanku saja mereka tidak mau. Bukan cuma hanya itu, sarapan di atas meja juga tidak ada. 

Karena tidak bisa protes jadi aku menerima saja perlakuan dan keadaan ini, tak apalah nanti juga kalau mereka ada perlu pasti akan berbicara denganku, bukankah selama ini mereka itu hobinya menyuruhku ini dan itu, jadi mana mungkin mereka akan berlama-lama tidak memanfaatkanku. 

Jadilah hari ini aku berangkat kerja tanpa sarapan, gampanglah nanti beli kue basah aja di dalam perjalanan karena kebetulan dari rumah menuju tempat kerja melewati pasar tradisional. 

Syukurlah masih ada sisa roti gabin dan dadar gulung di lapak dagangan Nenek Surti, tak apalah ini juga sudah cukup untuk mengganjal perut sampai siang. 

Kue basah di lapak dagangan Nenek Surti memang sangat laris, kue-kue buatannya memang sangat enak, harganya juga merakyat ditambah lagi Nenek Surti orangnya ramah sekali, jadi ya banyak pelanggannya. 

Setelah semua kue yang aku beli habis aku makan sembari mengobrol dengan Nek Surti, aku segera pergi dari sana menuju tempat kerjaku, sampai di sana Bu Susi dan pekerja lainnya sudah mulai bekerja, rupanya aku datang agak terlambat. 

"Dewi," 

Panggilan seseorang dari arah belakang menghentikan langkahku. 

"Ayah, kenapa datang ke sini?" Tanyaku heran, tak biasanya ayah datang ke tempat kerjaku. 

"Nih, ayah bawakan nasi bungkus untuk sarapan, tadi di rumah gak sarapan kan? Ayah pergi dulu nanti ketahuan mamamu."

Setelah memberikan nasi bungkus kepadaku ayah berlalu, sebelum pergi ayah sempat melambaikan tangannya kemudian memacu motornya. 

Tak terasa mataku berkaca karena terharu atas perhatian yang diberikan ayahku, selama ini ayahku memang cuek, tapi ternyata di dalam hatinya aku ini masih putrinya. 

"Wik, pagi-pagi udah melamun! Lagi jatuh cinta ya?"

Di tengah lamunanku aku dikagetkan oleh panggilan Bang Faisal anak pertama dari Bu Susi. 

"Eh, Bang Faisal, bikin saya kaget aja."

Bang Faisal memang jarang ada di sini, karena dia membuka usaha jual-beli handphone di luar kota dan kabarnya akan segera membuka cabang di yang lainnya. 

Untuk sesaat dadaku berdebar ketika melihat senyuman manis dari Bang Faisal, tapi aku segera menarik napas untuk meredakan perasaan itu supaya tidak keterusan karena sangat berbahaya, aku yang hanya seorang gadis biasa dan bisa dibilang jelek gak boleh berlebihan dan harus tahu diri. 

"Dewi, kamu sudah datang? Ayo cepet ke sini kerjaan sudah numpuk, pagi-pagi udah banyak pelanggan yang bawa pakaian kotor!"

Aku segera meninggalkan Bang Faisal yang baru saja mau berbicara lagi, Ibu Susi adalah bos yang baik hati, jadi setiap perkataannya adalah sebuah perintah buatku. 

Karena sudah banyak pakaian kotor yang menumpuk, aku segera melakukan pekerjaan bersama beberapa rekan kerjaku, usaha laundry Bu Susi memang tak pernah sepi walaupun banyak saingan, itu karena Bu Susi mengajari kami semua untuk bekerja dengan rapi dan konsisten, jadi semua pelanggan sangat menyukai hasil kerja kami. 

Tepat jam 5 sore, semua kerjaanku sudah beres dan aku langsung pulang, meskipun kebayang seramnya di rumah saat ini, tapi aku tidak punya pilihan lain selain pulang ke rumah. 

"Mau diantar, Wik? Tiba-tiba Bang Faisal sudah ada di sampingku dengan mengendarai motor matic-nya, entah kenapa hari ini kurasakan ada banyak kejutan. 

"Nggak usah, Bang, makasih. Dekat kok aku jalan kaki saja," ucapku dengan perasaan deg-degan. 

"Ayolah naik, kebetulan aku bakal lewat rumahmu dan gak baik loh menolak rezeki."

Sebenarnya aku pengen nolak, tapi Bang Faisal berhasil membujukku untuk ikut dengannya,  lalu aku naik untuk berbonceng dengannya. 

Di sepanjang jalan menuju rumahku, hampir semua pasang mata memperhatikan kami yang sedang berboncengan. 

Aku tahu apa yang sedang dipikirkan orang-orang tersebut, aku hanya menundukkan kepalaku di belakang punggung Bang Faisal, aku takut akan menjadi perbincangan warga dan ujung-ujungnya penghinaan untukku. 

Maklumlah, Bang Faisal itu lelaki tampan dan mapan, dan saat ini tengah membonceng wanita seperti aku, pastinya banyak gadis bakal merasa marah denganku, secara selama ini Bang Faisal memang menjadi pujaan banyak gadis di daerah sini. 

Apakah aku salah satunya? Iya aku juga suka melihat Bang Faisal, tapi perasaan itu sudah lama aku kubur dalam-dalam, karena gak mungkinkah seorang lelaki seperti Bang Faisal akan menyukaiku yang buruk rupa ini. 

"Sudah sampai, Wik, aku pamit dulu ya! Sampai ketemu besok."

"Makasih, Bang, udah diantar sampai depan rumah, saya jadi gak enak." 

"Santai aja, Wik," Ucap bang Faisal sembari kembali menggeber motornya. 

Untung saja di rumah sedang sepi, jadi aku gak malu sama Bang Faisal kalau seandainya tiba-tiba aku dimarahi oleh mama ataupun Lolita. 

***

Pagi ini aku sengaja berangkat kerja lebih awal agar gak lama-lama melihat raut muka masam Lolita dan mama, lebih baik cari aman daripada terjadi pertengkaran. 

Ternyata laundry belum dibuka karena aku datangnya kepagian, jadi aku memutuskan untuk pergi ke rumah bu Susi untuk mengambil kunci, di sana terlihat motor matic Bang Faisal sudah terparkir, mungkin dia baru datang karena pintu gerbang juga terbuka, melihat pintu gerbang terbuka lalu aku masuk saja langsung. 

Ketika di depan pintu rumah, niatku mengucap salam tertahan sebab dari dalam rumah terdengar percakapan. 

"Jangan dekat sama Dewi! Gosip bahwa kemarin kamu membonceng Dewi hingga rumahnya sudah tersebar luas, papa gak suka dengan itu!!"

"Cuman bonceng Dewi, Pa, kemarin itu kebetulan aku lewatin rumah Dewi, jadi gak masalah kan jika aku sekalian anter dia pulang?"

"Kamu suka sama Dewi? Papa tahu Dewi itu anak yang baik, tapi kalau kamu jadiin pacar atau istri itu tidak mungkin, dia itu gak cantik, cacat kulit dan hanya lulusan SMP, bisa malu keluarga kita!!"

"Ya ampun, Pa, masak aku pacaran sama Dewi, aku nganter Dewi karena sebenernya pengen ketemu adiknya si Lolita, aku masih normal, Pa! Tahu mana barang bagus dan nggak."

Percakapan Bang Faisal dengan Pak Darso ayahnya yang juga berarti suami Bu Susi benar-benar menusuk hatiku, tusukan itu kembali melebarkan luka yang masih menganga di hati. 

Saat ini aku semakin sadar betapa tidak punya harga diri dan tidak berartinya seorang Dewi ini di mata orang-orang, bahkan orang yang sedari dulu kusangka baik ternyata sama saja, bahkan tega ingin menjadikanku batu loncatan untuk mendekati adikku Lolita. 

Aku harus berubah! Akan kubuktikan jika aku juga bisa menjadi wanita yang dihormati dan disukai banyak orang. 

Sebelum mereka tahu kehadiranku di sini, lebih baik aku bergegas pergi, tapi terlambat sudah karena pintu rumah kini sudah terbuka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status