Share

Aku difitnah

Sebelum mereka tahu kehadiranku di sini, lebih baik aku bergegas pergi, tapi terlambat sudah karena pintu rumah kini sudah terbuka.

"Dewi, kamu?"

"Hhmm, saya mau ambil kunci toko, Bang."

Meski sekuat tenaga kusembunyikan, tapi getaran suaraku tetap terdengar, aku memang berusaha menyembunyikan kemarahan dan juga sedih yang mencabik-cabik perasaanku saat ini.

"Wik, tadi kamu?"

"Lolita sudah bertunangan dengan Erwin, Bang, dan akad pernikahannya bulan depan, Bang Faisal tunggu saja surat undangannya."

Wajah, Bang Faisal memerah, lalu dia saling pandang dengan papanya, karena takut lepas kendali lebih baik aku segera pergi dari rumah itu, aku melupakan soal kunci toko karena saat ini yang terpenting adalah pergi dan mencari tempat untuk menenangkan diri.

"Dewi, tunggu, Abang bisa jelasin soal pembicaraan tadi, Abang cuman bercanda tadi."

Aku tidak perduli dengan penjelasan Bang Faisal, aku terus melangkahkan kakiku menjauh sebab aku gak mau ketahuan karena air mataku sudah jatuh bercucuran membasahi pipi.

Pantang bagiku dipandang lemah oleh orang lain, makanya aku tak mau ada siapa pun melihat air mata ini menetes, aku hanya ingin mereka melihat si Dewi yang kusam ini adalah gadis yang kuat.

Namun, nyatanya aku gagal menghentikan tangisan, sial! Aku harus mencari tempat untuk mengheningkan pikiran dan menumpahkan kemarahan juga kesedihan ini.

Setelah yakin Bang Faisal tidak mengikuti, aku pelankan langkah kakiku yang sudah terasa lemas dan terasa tak mampu lagi aku ayunkan.

Aku menyusuri trotoar jalan, udara pagi beserta polusi kendaraan menemaniku kini, deru mesin kendaraan seakan tidak mau kalah menemani langkah gontai kakiku ini.

Kaki ini melangkah tak tentu arah, aku tak terlalu memusingkan ke mana aku akan pergi sebab memang tak ada tujuan pasti, aku hanya ingin berjalan di keramaian supaya pikiranku terbias, mencair, dan bebas.

Aktivitas ini ternyata efektif berhasil membuatku merasa lebih tenang, sepertinya aku sudah bisa kembali ke tempat kerja, walaupun sakit hati dengan ucapan Bang Faisal anaknya Bu Susi, aku tak mungkin untuk mundur dari pekerjaan.

Kalau aku mundur dari sana lantas aku mau kerja di mana lagi? Aku gak mau jadi pengangguran terus makin dihina-hina sama Lolita dan mama, memang sih ayah selalu memberikan uang jajan untukku, tapi tidak akan cukuplah untuk rencana menabungku, jika tidak menabung bagaimana aku bisa berobat dan merawat kulitku yang cacat ini.

Aku kembali ke toko untuk bekerja, aku berusaha bersikap biasa saat bertemu Bu Susi begitu pun saat bertemu Bang Faisal, tak boleh ada yang tahu dengan kejadian yang menyakitkan tadi.

Selesai kerja aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang, aku takut Bang Faisal datang dan minta untuk bicara, kurasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, semua sudah jelas bahwa kebaikannya selama ini palsu, sikap manisnya selama ini hanya sebagai batu loncatan demi mencari perhatian Lolita.

Untunglah Bang Faisal tidak ada, jadi aku gak perlu lari-lari untuk menghindarinya, sebelum pulang aku mampir dulu di warung makan nasi campur, bukannya mau nongkrong sembarangan hanya saja takut jika di rumah masih belum dikasih jatah makan karena mama masih marah.

Selesai makan aku segera melangkahkan kakiku untuk pulang, setelah sampai tidak ada seorang pun di rumah.

"Ke mana mereka? Tak biasanya mama gak di rumah," gumamku dalam hati.

Karena rumah sepi dan aku juga mau mandi, jadi aku kunci saja pintunya lagi, lalu aku bergegas pergi mandi.

Selesai mandi terdengar suara ketukan pintu, "Itu pasti mereka pikirku."

Dengan hanya berbalut handuk aku sedikit berlari untuk membukakan pintu.

Namun, betapa kagetnya ketika pintu aku buka ternyata yang datang adalah Erwin tunangan adikku.

Aku merasa tidak enak karena hanya mengenakan handuk mandi, aku mencoba menutup kembali pintunya tapi Erwin menahan dengan lengannya.

"Lolita ada di rumah gak? Mama dan papamu ada gak?" Cecar Erwin sembari mengedarkan pandangannya ke dalam rumah.

"Mereka lagi keluar, kembalilah nanti" Ucapku dan kembali berusaha menutup pintu.

Namun, lagi-lagi Erwin menahan pintu lalu dia memegang tanganku, dia merangsek masuk kemudian menutup pintunya.

"Lepaskan tanganku, mau apa kamu?" Suaraku bergetar saking takutnya.

"Aku bisa kasih berapa pun yang kamu mau asalkan kita!"

"Jangan kurang ajar!! Aku bukan pelacu ..."

Belum selesai aku berbicara, Erwin mendekap bibirku dengan tangannya, dia berusaha melepas handuk yang aku kenakan tapi dengan sekuat tenaga aku pertahankan.

Dia menyeretku ke sofa lalu mulai menindihku, tapi tindakannya berhenti ketika tiba-tiba terdengar teriakan.

"Apa-apa kalian!"

Seketika Erwin melepasku  lalu dengan cepat dia membela diri.

"Dewi yang merayuku, aku datang untuk menemuimu, Sayang,  tapi karena di rumah sedang sepi Dewi terus mendesakku, aku sudah bilang tidak mau berkhianat tapi dia terus memaksaku," ucap Erwin memfitnahku.

Mendengar itu Lolita menjadi gelap mata, dia menjambak rambutku lalu menarik dengan sekuat tenaganya, tak sampai di situ dia mulai menampar pipiku beberapa kali hingga kepalaku terasa pusing.

"Kurang ajar kamu!, dasar jalang! Dia itu calon suamiku!, dasar pelac**!" Teriaknya kencang.

"Ada apa ini?" Tanya mama yang baru datang dari luar bersama ayah.

Erwin dengan cepat melemparkan kebohongannya, hingga mama pun juga menjadi gelap mata dan mulai menamparku tanpa memedulikan penjelasan dariku.

"Kamu tega ya! Erwin itu calon iparmu! Dasar gak tahu diri!" Sekali lagi mama menamparku sembari berteriak.

"Dia bohong, Ma, Dewi yang mau diperkosa sama Erwin," ucapku sembari merintih kesakitan.

"Heh mana mungkin Mas Erwin mau memperkosa cewek burik seperti lu! Yang ada lu itu kegatelan karena gak laku-laku!"

Ucap Lolita lagi, lalu dia kembali menampar pipiku hingga setetes darah mulai keluar dari sela bibirku.

"Demi Tuhan, aku tidak bohong, Na, Ta." Tangisanku membuat suara yang keluar terdengar parau.

"Jangan bawa-bawa nama Tuhan, wanita jalang sepertimu gak pantes!" Serang Lolita lagi.

Entah bagaimana perasaan Erwin melihat orang yang difitnahnya disiksa, pasti dia sedang tersenyum puas di dalam hatinya, ternyata calon suami adikku bajingan, adikku pasti akan sengsara jika menjadi istrinya, tapi tidak mungkin rasanya untuk menggagalkannya, buktinya saat ini saja tidak ada yang percaya penjelasanku.

"Lolita sudah! Kasihan Dewi! Bagaimanapun dia itu kakakmu." Ayah akhirnya bereaksi setelah sedari awal dia hanya berdiam diri.

Ayah menarik Lolita hingga penyiksaan ini berakhir, sepertinya ayah juga termakan fitnah yang dibuat Erwin meskipun ayah tidak serta-merta ikut menamparku.

"Ayah jangan terlalu baik padanya, jelas-jelas dia salah! Biar aku siksa dia biar cacat sekalian!" Lolita berontak dari tarikan ayah.

"Sudahlah, Sayang, semua orang juga pernah khilaf, toh Dewi akan tetap jadi iparku jadi lupakan saja kejadian tadi." Ucap Erwin penuh dengan pencitraan.

Ayah menyuruhku masuk kamar dan mengenakan pakaian karena melihat handuk yang membelit tubuhku hampir lepas karena tangan ini terasa sudah tidak sanggup lagi menahannya supaya tidak terjatuh.

Saat aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar, air mata tak henti-hentinya menetes dan ketika kudengar Lolita dan mama sepakat berkata kepada ayah, bahwa mulai detik ini mereka tidak mau melihatku lagi di rumah ini, semakin berderai air mataku mendengarnya.

Sesampainya di kamar aku segera mengenakan pakaian, kubiarkan sakit hati dan sakit fisik ini bersatu seiring dengan tangisan yang tidak sanggup aku hentikan.

Mengingat ultimatum mama dan Lolita, aku memutuskan akan keluar dari rumah ini, entah ke mana yang penting aku pergi dari rumah surga yang terasa neraka bagiku.

Aku mulai bersiap memasukkan beberapa pakaian dan benda-benda penting yang aku punya, tidak lupa aku memecahkan si panda celenganku satu-satunya, harusnya belum saatnya kupecahkan tapi apa boleh buat, aku akan pergi pasti perlu uang untuk biaya hidup dan menyewa kos atau kontrakan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
bajingan tunangan lolita,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status