Share

Aku yang tak pernah dihargai

Belum sempat pintu kamar dibuka, aku melepaskan cengkeraman tangan mama.

"Dewi mau ganti baju dulu, Ma, kalian duluan saja ke ruang tamu, nanti aku segera nyusul," ucapku pada mama sembari menundukkan kepalaku.

"Gak usah ganti baju, Wik, lagian lu itu burik mau ganti baju pun juga bakal terlihat sama," hina Lolita kemudian dengan bibir mencibir.

Ucapan Lolita sungguh melampaui batas, ingin rasanya aku menjambak rambutnya hingga rontok dan menghantamkan vas bunga yang ada di atas meja, tapi sebisa mungkin aku tahan keinginan itu, bagaimanapun dia itu adikku bukan musuhku.

"Ya sudah kalau begitu, mama keluar duluan tapi kamu jangan kelamaan dan ingat kamu terima lamaran itu ya, mama pengen kamu punya suami mumpung ada yang mau, mama gak pengen malu punya anak jadi perawan tua, apa kata tetangga dan kerabat keluarga nanti!"

"Yuk sayang kita keluar," Ucap mama sembari menarik tangan Lolita keluar dari kamarku.

Setelah keduanya pergi, aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur, rasanya tubuh ini tidak ingin kubangunkan lagi, andai ada pintu rahasia ingin rasanya kabur dari rumah  dan pergi sejauh mungkin.

Aku merasa berada dalam situasi penghinaan tertinggi dalam hidupku, bukan karena lelaki yang ingin melamarku itu tua dan duda, tapi aku merasa keluargaku tidak menghargaiku sama sekali, mereka sedikit pun tidak memikirkan perasaan hatiku.

Pernahkah mereka sedikit saja menghargai perasaan dan hati wanita yang tidak beruntung ini, haruskah aku memohon dan bersimpuh untuk mendapatkan semua itu, tapi apakah aku harus melakukan hal seperti itu?

Bukan salahku jika dulu aku mengalami sakit kulit bertahun-tahun sehingga membuat wajahku tidak cantik, kulitku tidak mulus serta kegagalanku untuk berpendidikan tinggi, mungkin ini memang nasibku dan hanya Tuhan yang tahu.

Agar masalah cepat terselesaikan aku harus menghadapinya dengan tenang dan berani, aku bergegas mandi supaya temperatur tubuhku menurun dan pikiran menjadi bersih.

Setelah badan bersih dan hatiku mulai tenang, aku keluar menuju ruang tamu dengan gontai penuh dengan perasaan yang tak menentu.

Di sana terlihat lelaki yang umurnya kurasa tidak jauh berbeda dengan ayahku, dia duduk di sebelah Erwin calon suami adikku, kata mama dia karyawan Erwin di kantornya.

Aku memilih duduk di sebelah ayahku karena aku selalu merasa aman bila di sampingnya, aku berusaha tegap dan tenang menghadapi situasi ini.

Suasana sempat hening untuk beberapa saat, ayah lalu membuka pembicaraan dengan mengatakan maksud kedatangan lelaki yang bernama Sugiono itu, lalu disusul dengan lelaki itu yang menegaskan maksud kedatangannya.

Sekuat mungkin aku berusaha mengendalikan perasaanku ini, saat Erwin, Mama, dan Lolita ikut bersuara aku pun tetap berusaha tetap tenang dan tidak terbawa emosi, harus diselesaikan dengan baik tanpa menyinggung lelaki itu, sedangkan mama dan Lolita terserahlah, itulah keinginanku satu-satunya.

"Terima kasih untuk maksud baik dan kepercayaan Bapak Sugiono pada saya, saya lihat Bapak lelaki yang baik dan saya yakin Bapak bisa menjadi suami yang baik pula. Namun, bukan saya istri yang tepat untuk lelaki baik seperti Bapak, saya ini wanita yang tidak cantik, kulit tubuh juga cacat, dan lagi saya tidak berpendidikan tinggi, saya mohon maaf sekali jika saya tidak dapat menerima maksud baik Bapak." Aku menolak dengan harapan tidak mengecewakan lelaki itu.

"Dewi, durhaka sekali kamu! Beraninya menolak lelaki sebaik dan semapan Pak Sugiono!" hardik mama hingga telingaku menjadi mendengung mendengarnya.

"Belagu sekali kamu, Wik, udah ada yang berbaik hati menerimamu jadi istrinya, harusnya kamu nyadar diri dong!" Lolita menimpali ucapan mama.

Aku tahu Pak Sugiono kecewa berat, terlihat dari tatapan matanya yang berubah dari yang awalnya berbinar menjadi memerah, bukan usia bukan juga statusnya yang menjadi alasanku menolak, tapi karena tidak ada rasa dan ikhlas dalam hati ini yang menjadi alasannya.

Perasaanku menjadi lega karena sudah berani menyampaikan keputusan yang tepat dan berani, meski konsekuensinya sangat besar akan dimarahi oleh mama dan mungkin akan dimusuhi, tapi aku sudah siap menerima jika itu terjadi dan pasti akan terjadi.

Pak Sugiono akhirnya angkat bicara, dia berbesar hati menerima keputusanku, meski jelas terlihat kecewa tapi dia ikhlas menerima, setelah semua masalah terselesaikan, kini Pak Sugiono dan Erwin akhirnya pamit untuk pulang.

Dan, aku sudah siap menerima omelan bahkan cacian setelahnya, Ayah tentu tidak akan berani membelaku karena ayah adalah seorang suami yang menghormati istri, lebih tepatnya mungkin suami yang takut istri.

"Lu itu benar-benar songong ya, Wik, gue yakin lu bakal nyesel udah nolak Pak Sugiono, apa lu mau nyari suami yang ganteng dan kaya seperti Mas Erwin? Ngaca dikit dong, Wik!"

"Dasar anak tak tahu diuntung, mama kecewa berat sama kamu, Wik, kamu itu susah diatur dan bikin malu aja!" Umpat mama dengan wajahnya yang merah padam.

Aku hanya bisa diam seribu bahasa mendengar makian mama dan adikku, aku pasrah karena papa gak mungkin berani membelaku. Namun, tiba-tiba ayah berdiri dari duduknya.

"Sudahlah! Kalian ini kenapa sih? Itu haknya Dewi mau terima atau tidak, kalian hargai sedikit keputusan Dewi! Dan, kamu Lita jaga bahasamu sedikit, bagaimanapun Dewi itu kakakmu jadi yang sopan bicaranya!" Kata-kata ayah keluar dengan nada yang cukup keras.

Akhirnya ayah memberikan pembelaannya padaku, aku merasa sedikit lega dengan kata-kata yang diucapkan ayahku, seumur-umur baru kali ini ayah berani membela ketika aku sedang dimarahi ibu ataupun dihina Lolita.

"Ayah kok malah nyalahin aku sih? Emang pantas Lita marahin Dewi kan? Mas Erwin dan aku udah berbaik hati bawain calon suami, eh Dewi yang gak tahu terima kasih ini malah bikin kecewa dan bikin malu di depan mas Erwin." Lolita gak mau kalah garangnya dengan menaikkan volume suaranya meskipun di depan ayah.

"Dewi yang harusnya marah, bukan kamu Lolita!! Mulai sekarang kalian tidak usah ngurusin jodoh Dewi, dia sudah dewasa dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk! Dan, ini sudah larut malam kalian masuk ke kamar masing-masing!!" Hardik ayah kepada Lolita dan mama hingga berhasil memadamkan api perdebatan malam ini.

Karena suara ayah yang meninggi, kami semua tidak berbicara lagi dan langsung masuk ke kamar masing-masing, mama juga tidak seperti biasanya malah kini dia seperti kucing yang sedang digonggong seekor anjing, diam tidak bergerak.

Syukurlah, mungkin untuk beberapa hari ini aku tidak akan menerima umpatan dan hinaan dari mama dan Lolita, kecuali jika mereka sudah benar-benar tidak menghormati ayah sebagai kepala keluarga.

Sesampainya di kamar aku duduk di atas kasur yang sedikit keras, aku menatap wajah dan kulit tangan hingga leher, sungguh kusam dan menjijikkan pikirku, tapi apa daya inilah kondisiku saat ini, andai saja aku punya banyak uang pasti akan dengan mudah bisa mengubah penampilanku, maka dari itu aku berusaha untuk terus menabung dalam celengan panda yang ukurannya cukup besar, aku berharap suatu hari nanti uangnya cukup untuk perawatan kulitku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
sabar wi,..,..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status