Djuwira menerka suara yang menjadi lawan bicaranya sampai menyipitkan mata. Satu nama sudah dikantongi, tapi mendadak ragu karena maraknya penipuan. Ia menunggu jawaban saja biar tidak salah terka."Hoho, kau bahkan lupa pada mantan bosmu!" jawab pria itu."Mantan bos?" ulang Djuwira menghela napas cepat."Aduh, kau ini benar-benar pikun? ini aku Supri!" jawab pria itu lagi.Nama itu mengetuk ingatan Djuwira pada pekerjaan lama yang berjalan seumur jagung. Pekerjaan yang membuatnya bergidik ngerih."Maaf, Bos! maaf," sahut Djuwira meringis seram. Mata penasaran dengan lawan bicara sahabatnya. Djuwira langsung memberi kode pada Maya dengan gaya memutar jari ke kepala."Hoho! akhirnya kau ingat aku. Bagaimana kabarmu? aku yakin hidupmu semakin sengsara," ujarnya menanyakan hal yang tak seharusnya ditanya. Itu berkaitan dengan privasi orang."Semakin sengsara?" batinnya heran, bertanya pada diri sendiri. Supri seolah tahu kalau dia lagi kebingungan."Ada tujuan apa bos menghubungi saya?"
Teriakan bersuara lantang itu membuat Djuwira tak bergeming. Dia hanya menatap jalanan beraspal yang kini menjadi tempat rubuhnya tubuh akibat ditarik oleh pria asing yang membentaknya keras."Apa yang kulakukan? aku juga tidak tahu. Yang aku tahu dengan mati bisa meringankan beban hidupku," jawabnya sembarangan juga dengan tatapan kosong.Pria itu bertopang tangan ke pinggang, lalu satu tangannya ia ubah ke kepala. Wajahnya penuh rasa kesal. "Kau hanya akan menambah beban bagi orang lain bila kau mati!" pekiknya geram.Djuwira perlahan semakin merunduk. Tunduk dan kedua tangannya menyentuh bumi. Tangisan pun pecah, lalu ia bertingkah seperti anak kecil. "Kenapa kau tolong aku?!" protesnya."Tidak waras! bundir bukan jalan satu-satunya! kau ingin mengakhiri hidup yang sebenarnya masih panjang, begitu? menyusahkan Tuhan saja!" tandasnya dengan jelas, lalu giginya merapat."Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Pergi dan jangan hiraukan aku!" sahut Djuwira tanpa ingin melihat wajah si pelin
"Bantu apa?" tanya Key, sahabatnya Uwais."Beri pekerjaan untuk seseorang yang aku rekomendasikan di perusahaan tempatku bekerja. Aku tahu ini gila, tapi akan lebih gila lagi kalau aku gagal membuatnya bekerja," jawab Uwais.Key terkesiap kemudian tertawa kecil. "Siapa orang yang sudah membuatmu begini? apa dia kekasihmu?""Sialan! aku belum punya pacar. Aku hanya menolong seseorang dari keputusasaan. Aku yakin dia bisa bekerja dengan baik. Bukankah kau butuh sekretaris di perusahaan Dinajayama?" tanya Uwais dengan alis menanjak.Key tersimpul. "Tidak mudah jadi sekretarisku, tapi boleh juga aku terima rekomendasimu. Kalau tidak sesuai, aku tetap tidak bisa terima.""Usahakan terima ya, Key! kasihan. Sumpah kasihan banget dia." Uwais memohon pada sahabatnya."Hei, aku penasaran—kenapa kau tiba-tiba jadi kasihan padanya?" tanya Key dengan serius.Uwais akhirnya menceritakan kronologi pertemuannya dengannya Djuwira tanpa mengatakan nama gadis tersebut. Uwais juga tidak mengatakan kalau
Key menaikkan alis, lalu membasahi bibir merahnya. "Ya, saya sudah mendapatkan orangnya."Key merasa salah satu dari mereka adalah kandidat yang tepat. "Ibu Qesya Aldinar," panggilnya.Spontan wanita kedua yang duduk dari Ariyanto pun berdiri. "Saya, Pak!""Mulai besok, Anda bisa bekerja sebagai sekretaris saya dan Bu Anna akan memberikan penataran singkat hari ini. Saya harap Anda bisa cepat tanggap. Kalau tidak, saya akan mencari sekretaris baru," ungkap Key, menandakan bahwa hanya Qesya yang berhasil diterima sementara ketiga lainnya gugur.Anna memberi instruksi pada Qesya untuk mengikutinya sementara yang lain diperkenankan meninggalkan ruangan.Key bersiap pergi dengan membawa tas juga map kemudian melewati Djuwira yang masih duduk di kursi. Gadis itu masih duduk menunggu Key meninggalkan ruangan lebih dulu agar tidak berpapasan dengannya di luar.Namun, saat Djuwira ingin berdiri, roknya tersangkut di kursi dan robek sedikit di bagian bawah. "Ya Allah," lirihnya sambil melihat
Keesokan harinya.Djuwira terlalu bersemangat menjalani pekerjaan barunya. Sampai-sampai dia datang satu jam setengah sebelum jadwal masuk kantor. Ia duduk di anak tangga sambil makan roti karena pintu belum dibuka."Maaf, Bu!" sapa seorang satpam yang baru datang dari arah parkiran."Mmh, ya, Pak?" sapa Djuwira, menurunkan roti yang tadinya mau digigit."Ada keperluan apa, ya?" tanya satpam yang merasa asing pada wajah Djuwira.Gadis itu tersenyum, lalu berdiri sebelum menjawab, "Saya bekerja di sini mulai hari ini, Pak. Semalam saya lolos interview.""Oh, begitu. Maaf saya gak tahu.""Gak masalah, Pak!" Djuwira ikut tersenyum. "Hum, maaf saya mau nanya. Bapak terganggu sama tompel saya?" Djuwira baru ingat kalau maskernya dia buka karena makan roti."Astaghfirullah! mana mungkin terganggu. Ibu ini cantik! tompel itu gak akan mengubah penampilan Ibu." Pria tersebut menyenangkan hati Djuwira dan meyakinkan kalau tompel bukan masalah baginya."Alhamdulillah, Pak. Saya takut bapak meras
Tak hanya di luar ruangan saja yang memiliki aroma baru, tapi di dalam ruangan Key juga terhirup parfum yang baunya berbeda dari luar. Qesya bingung sendiri saat bosnya berhenti di depan pintu."Ada apa, Pak?" tanyanya heran."Tidak ada," jawabnya menutupi perasaan senang dengan suasana baru hari ini. "Tolong Ibu hubungi restoran unit 2. Minta laporan pengunjung dan keuangannya. Meja kerja Ibu di luar, bukan di ruangan saya. Jadi, sebatas di sini saja kalau saya tidak meminta Ibu masuk," lanjut Key tegas, tapi tetap elegan. Sebagai pemimpin dia harus punya wibawa."Maaf, Pak." Qesya pun menelan saliva kemudian bergegas melihat sebuah meja lengkap dengan peralatan kerja di dekatnya. Dia merasa kalau itu adalah mejanya.Sesampainya di ruangan yang memiliki perbedaan design dengan ruangan kerja di Matsu Raga Jaya. Di sini ruangan Key dikelilingi oleh kaca. Tirai PVC warna putih saja yang diturunkan bila ingin suasana lebih privasi.Key tersenyum mengingat Djuwira pagi ini. Jarinya berjal
"Ya, sahabat sejak kecil." Uwais tersenyum, lalu menepuk sesuatu di dinding. "Ada nyamuk!" sahutnya.Djuwira tersenyum. "Oh," sahutnya singkat, lalu meneruskan, "Alhamdulillah aku bisa diterima bekerja di sini. Pekerjaan apa pun akan aku lakukan demi terbebas dari utang. Bekerja adalah salah satu jalan supaya dapat gaji. Terima kasih banyak atas bantuannya, Uwais.""Apa pun?" tanya Uwais menaikkan alisnya sebelah."Ya, apa pun," jawab Djuwira polos."Kalau jadi pembunuh bayaran, apa kau mau? bayarannya besar," tanya Uwais."Astaghfirullah! bukan kerjaan itu juga kali, Uwais." Djuwira syok mendengarnya."Haha! aku bercanda. Kau di sini tidak sendiri. Ada aku yang bisa kau panggil saat kau butuh pertolongan." Uwais menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum.Djuwira pun ikut tersungging mendengarnya. Memang sedari tadi dia merasa asing. Terlebih bekerja bersama karyawan yang super sibuk dan berhati dangkal. Umpatan terus terdengar merendahkannya."Key di mana?" tanya Uwais."Ah, Pak Keane
Deg!Key sepertinya salah sangka. Ia menduga kalau Djuwira terlalu agresif memintanya membuka seluruh pakaian hanya demi luka kecil saja."Ah, maksud saya bukan semua baju bapak, tapi lengan bajunya aja, Pak," lanjut Djuwira memperbaiki ucapannya."Oh, biar aku saja." Key menggulung lengan kemeja birunya kemudian melihat sendiri luka itu."Ya Allah, kenapa bisa terluka, Pak?" tanya Djuwira, mengoleskan kapas basah tadi ke tangannya. "Maaf kalau sedikit perih," sambungnya.Key merespon dengan sakit yang terasa ketika Djuwira membersihkan lukanya. "Aku menolong seseorang dari pencopet tadi," jawabnya.Djuwira langsung kagum. Wajah polosnya menatap Key senang sekaligus tidak percaya. "Bapak serius? di mana kejadiannya?""Di depan waktu mau pulang tadi," jawab Key."Wah, bapak keren!" pujinya."Keren? aku hampir mati!" Key mengernyit tak percaya kalau wanita di sampingnya malah kagum.Djuwira tersenyum manis, lalu mengoleskan obat. "Allah pasti jaga bapak. Soalnya bapak baik," sahutnya.Ke