Terhenyak seketika Djuwira mendengar pertanyaan dari Key.
"Mem-bantu, Tuan?" tanya balik Djuwira, sambil mengerutkan keningnya."Ya, bantu aku menyelesaikan masalah ini," jawab Key dengan ekspresi dinginnya. Bisa-bisanya dia melihat wanita cantik di depannya dengan perasaan canggung."M-masalah apa maksudnya, Tuan?" Djuwira pun terbata-bata menjawabnya."Jadi lah tunanganku malam ini," jawabnya dengan arah pandangan sedikit melenceng ke kanan. Bukan jawaban itu yang seharusnya keluar. Key malah menimpali dengan permintaan bukan penjelasan akan masalahnya. Djuwira dipaksa memahami hal yang tidak dia pahami."Tuan," sahutnya meminta Key melepaskan tubuhnya. Permintaan jadi tunangan bukanlah permintaan yang sepele. Masa depan bisa berubah kalau dia menerimanya.Key mengabulkan permintaan lepas dari Djuwira kemudian menantikan jawaban atas pertanyaan tadi. Pikiran kusut yang melanda membuat Key memilih cara ini."Maaf, Tuan. Aku tidak bisa mengikuti kemauan Tuan. Aku tidak mau menerima tawaran yang diluar nalar," tolak Djuwira setelah berpikir singkat dengan penuh pertimbangan.Key menarik napas panjang, lalu berbalik arah menuju jendela. Djuwira bisa melihat bayangan dirinya juga Key dari kaca. Terpampang jelas kalau Key kacau dengan masalah yang tidak diketahui olehnya."Kalau kau tidak mau, maka kau harus mengganti ponselku," singgungnya lagi tentang gawai yang tergeletak tak berdaya di atas meja.Djuwira melirik benda tipis tersebut kemudian menarik napas bingung. "Apa yang terjadi, Tuan? Tunanganmu tidak datang?"Key menghela napas dari hidungnya sedikit keras. "Kau tidak perlu tahu itu dan cukup menjawab pertanyaanku saja. Kau menolaknya, pertanda kau lebih memilih mengganti ponselku dari pada menerima tawaran tadi," jawabnya.Tanpa banyak bicara, Key memberikan cek sisa pembayaran itu lagi pada Djuwira, lalu memintanya keluar. "Jangan muncul di hadapanku lagi dan apa pun yang terjadi di sini—lupakan saja. Jangan sampai aku mendengar ada seseorang yang membeberkan semua yang terjadi di sini."Djuwira mengerti pada kalimat yang dia ucapkan tersebut. Ia pun tidak minat mengatakan semua yang terjadi karena dianggap bukan urusannya. Sebuah kartu nama diberikan Key pada gadis itu kemudian dibacanya."Keane Matsumoto, CEO Matsu Raga Jaya."Dalam hitungan detik, mata yang tadinya menyempit langsung terbuka lebar dan terkejut batin mengetahui bahwa pria di depannya adalah sosok berpengaruh yang beberapa hari lalu fotonya terpampang jelas di sampul majalah terkenal."T-tuan benar-benar Keane Matsumoto?" tanya Djuwira gemetar.Key meliriknya sesaat, lalu duduk di kursi. "Kenapa? Kau menyesal menolak tawaranku?" tanyanya.Djuwira menggeleng dengan senyuman segan. "B-bukan begitu, Tuan. Aku hanya merasa beruntung bisa bertemu dengan Tuan walau pertemuan ini menyebabkan petaka bagiku sendiri."Tawa Key dari embusan napas terdengar. Sulit baginya tertawa lepas sekarang karena beban yang sedang dipikulnya. "Aku tunggu kabar tentang ponselku di kantor.""Iya, Tuan. Maaf karena aku tidak bisa membantumu. Aku hanya bisa mendoakan agar masalahmu cepat terselesaikan. Amin."Djuwira mengangguk lambat. Dalam pikirannya, tak hanya Key yang diserang masalah, tapi sekarang dia punya masalah yang lebih berat dari beban hidupnya. Cek sisa pembayaran di meja diambilnya sebelum meninggalkan ruangan.Dalam perjalanan menuju pintu, tba-tiba Djuwira berpikir kalau menerima tawaran itu bisa menghilangkan tanggungjawab mengganti ponselnya, maka dia akan melakukannya."Tuan," panggilnya berbalik badan.Key menoleh sedikit pada gadis itu. "Ada apa?""Andai aku menerima tawaran itu, apa masalah ponsel ini akan selesai?" tanyanya.Key tersenyum miring. "Harusnya begitu, tapi kau sudah menolaknya dan pantang bagiku memberi tawaran kedua. Jadi, pergi lah!"Gubrak!Terlambat sudah menemukan solusi atas masalah kerusakan gawai tersebut. Kesempatan terlewati penuh rasa penyesalan. Djuwira beringsut lemas meninggalkan ruangan. Dia terlalu cepat mengambil keputusan sebelum memikirkan kaitan antara masalah satu dan lainnya.Di luar kamar, Djuwira masih berdiri menyandar pada dinding. Penyesalan terdalam menemaninya sepanjang perjalanan menuju toko roti Diamond.Setibanya di parkiran, Djuwira berjalan lemas menuju pintu masuk yang hampir tertutup rapat itu. Dia pun bergegas menghentikan rekan kerjanya yang hendak menarik besi pelindung dari atas."Berhenti, Ted!" jeritnya.Sontak pria berusia lebih muda darinya itu melihat ke belakang. Djuwira datang dengan muka bingung."Kenapa cepat banget tutup?" tanya Djuwira."Bos minta kita istirahat. Orderan seribu paket tadi membuat lelah semua orang. Kami menunggumu sejak tadi, tapi kau malah tidak pulang-pulang," jawabnya.Djuwira tertawa malu. "Maaf, tadi aku ada urusan, jadi lupa kalau mobil ini kubawa," sahutnya.Teddy menggeleng dengan decitan kecil. "Kau kadang-kadang menyebalkan!""Hehe, iya ... Maaf banget, ya!" Djuwira segera memasukkan mobil dalam garasi kemudian pulang bersama Teddy.Setibanya di rumah, Djuwira tidak lagi bertemu dengan ayah juga adiknya karena keduanya sudah tidur. Dia pun segera membersihkan tubuh sebelum memejamkan kedua matanya.Keesokan harinya, langit menuju pagi terasa mendung. Djuwira menatap keluar dari jendela. Ingin sekali rasanya dia terlelap seperti biasanya, tapi malam ini berbeda. Matanya yang dipaksa menutup, hanya terlelap sekitar dua jam dan sisa waktu hingga pagi dihabiskan Djuwira untuk melakukan banyak hal.Dugaan Djuwira akan turun hujan pun terjadi. Ketika gadis itu selesai membuat sarapan untuk ayah dan adiknya, rinai hujan terus mengguyur kota. Rinaldi melihat langit dengan penuh cemas."Djuwira," panggilnya."Ya, Ayah?" sahut putrinya sambil membawa secangkir teh."Hujan. Kau tidak lupa beli payung baru 'kan?" tanya Rinaldi mengingat payung milik mereka rusak."Ya ampun!" Djuwira memukul kening sendiri. Dia lupa membelinya dan bisa membaca langkah selanjutnya usai memasak sarapan pagi ini."Kau lupa, Dju?" Rianaldi menggeleng kepala dengan cepat."Iya, Ayah! Aku lupa. Banyak banget kerjaan semalam." Djuwira ikut memperhatikan langit yang masih begitu mendung. Rintiknya turun tidak terlalu deras, tapi awet.Tiba-tiba ponselnya berdering, Djuwira izin pada ayahnya untuk menjawab telepon. Saat dia membaca nama penelepon di layar, Djuwira pun memilih menjawab telepon itu di kamar agar lebih jelas suaranya ketimbang di ruang tamu yang begitu berisik karena suara tv juga hujan."Halo, Pak!" sapanya lebih dulu."Djuwira, kau dengar suaraku? Sinyalnya di sini lagi gak bagus," sahut pria yang berstatus bosnya itu."Ya, Pak! Saya mendengar suara bapak," jawabnya."Kalau begitu saya ingin menanyakan masalah semalam saat kau mengantar pesanan ke hotel Hibiscus." Obrolan pagi perihal pekerjaan membuat Djuwira jantungan."Ya, Pak. Kenapa ya, Pak?" Djuwira berharap tidak terjadi kesalahan."Kau tahu siapa yang memesan seribu paket roti itu?" Bosnya terus bertanya tanpa menjawab lengkap."Ya, saya mengetahuinya." Djuwira mengangguk cepat.Hujan awet bertempo sedang berubah menjadi deras disertai petir. Djuwira kaget saat gelegar suara yang terdengar menakutkan. Ingin rasanya bersembunyi di balik selimut, tapi berhubung bosnya menghubungi, Djuwira harus menundanya dan pura-pura berani mendengar suara petir yang sedang terjadi."Saya mendapatkan laporan kalau kau sudah melakukan tindakan pele-cehan terhadap pe-milik acara," jelas pria tersebut dengan suara putus-putus akibat sinyal yang hilang timbul.Djuwira merasa salah dengar dan menyahut, "Apa, Pak? Bisa diulangi lagi?" pintanya.Pengulangan dari bosnya pun bisa dia dengar jelas kali ini. Djuwira syok seperti sedang terkena serangan jantung. "Astaga, Pak! Fitnah itu semua!" bantahnya merasa tidak pernah melakukan hal tersebut."Djuwira, saya tidak tahu siapa yang benar dan salah, tapi saya hanya ingin mempertahankan reputasi usaha ini dan menjaga relasi dengan pembeli," ungkapnya dengan sabar."Ya, Pak, saya tahu itu. Cuman ... Saya berusaha jujur sama Bapak kalau semua tuduhan itu tidak benar, Pak," katanya membela diri."Saya percaya padamu, tapi saya juga tidak bisa memutus kepercayaan pembeli dari keluarga Matsumoto. Jadi, dengan berat hati saya katakan kalau masa kerjamu berakhir pagi ini. Kau tidak perlu datang lagi setelah membereskan barang-barang yang tertinggal di sini," tukasnya dengan suara penuh penekanan supaya Djuwira mengerti.Napas Djuwira mendadak seperti berhenti. Setiap tarikannya begitu berat dan tersendat. Kali ini dia merasa tidak salah dengar karena sinyalnya bagus walau sedang hujan."Tapi kenapa saya malah dipecat, Pak? Saya gak salah, Pak."Beberapa hari kemudian. Ketika Key selesai menjalani rapat penting dengan klien, tiba-tiba Sayuri muncul tanpa janjian. Sayuri bingung saat melihat sosok perempuan yang harusnya menjadi posisi terbawah di perusahaan calon tunangannya malah sekarang terlihat berduaan dengan Key. "Key!" panggil Sayuri. Pria yang hendak naik ke mobilnya itu pun langsung menahan salah satu kakinya demi melihat orang yang sudah memanggilnya. Djuwira ikut menoleh karena berdiri di dekat Key dengan posisi dekat pintu, baru saja membukakan pintu. Key berdeham karena melihat Sayuri semakin menjadi hantu yang mengikuti ke mana pun. Djuwira mundur selangkah dan menyaksikan Sayuri memeluk kekasihnya. "Sayang!" sapanya ramah, bersikap seolah seperti perempuan bangsawan. Melirik Djuwira sesaat dengan alis mengerut. "Kenapa kau bisa di sini?" tanya Key heran, perlahan melepas pelukan itu. "Ah, tadi aku bertemu teman lama. Kalau tahu kau mau ke sini, pasti kita bisa pergi bareng, Key ...." Sayuri mul
Waktu berlalu. Key berakting baik sebagai calon tunangan Sayuri. Perempuan itu semakin sering ke kantor dan merasa bahwa perusahaan tersebut sudah menjadi miliknya. Dia bahkan tidak segan menegur karyawan yang dirasanya tidak sesuai dan bermalas-malasan.Djuwira juga tersambar dengan sindiran juga makian. Sayuri tidak secantik wajah dan namanya. Djuwira hanya bisa bersabar karena mengingat tujuan Key pada Sayuri."Cleaning service kok suka banget keluar masuk ruangan bos! kau genit ke pemilik perusahaan ini, ya?" tuduhnya.Djuwira terkejut saat mendengar bentakannya. Qesya saja emosi melihat Sayuri marah-marah ketika Key sedang menjalani bisnis di luar kantor. Qesya ingin meremas rambut Sayuri, lalu membenturkannya ke meja. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin memastikan kalau ruangan Pak Keane tetap bersih." Djuwira menjaga sikapnya walau darahnya mendidih."Awas kalau sampai Kau berniat macam-macam dengan calon tunangan saya. Saya pastikan Kau akan menyesal.""Baik, Bu."Sayuri pergi dengan
Djuwira melihat kerusuhan itu dan segera menerobos kerumunan. "Halo, maaf! permisi!" Tak hanya Djuwira, anak buah keluarga Matsumoto yang lain ikut menertibkan. Key dan Djuwira bergegas menuju mobil dan Key pun segera naik. Djuwira menyusul dan langsung tancap gas. Embusan napas Key di balik wajah tegangnya bisa dilihat oleh Djuwira dari spion. Dia tidak berani menanyakan apa pun saat kondisi seperti ini. "Terima kasih sudah membantuku," katanya. "Oh, iya, Tuan. Sudah tugasku melakukannya. Apa Tuan terluka?" tanya Djuwira. "Tidak, hanya saja aku tidak suka bau mereka. Bau badan salah satu dari mereka tadi menusuk hidungku," sahutnya. Djuwira menahan tawa karena memang dia juga merasakan tadi. "Mereka bekerja keras demi mendapatkan informasi. Panas-panasan menunggu Tuan." "Hum, jadi kau tahu mereka di sana sejak tadi?" Key menginterogasi. "Tidak, Tuan. Kalau aku tahu, sudah aku tutupin Tuan dari dalam pakai jaket, masker dan topi," jawab Djuwira. Key langsung tersenyu
Keesokan harinya di rumah Key. Djuwira sudah bersiap menjemput bos sekaligus pria kesayangan yang semakin brutal menunjukkan rasa cintanya saat tidak ada yang melihat. Key menyambut kehadiran Djuwira dengan romantis. "Pagi, Sayang!" ucapnya mengejutkan Djuwira dan dihadiahi sebuah kecupan lembut tanpa diminta. Djuwira tersipu malu, memegang pipinya yang masih merasakan hangat sentuhan Key. "Tuan ... kenapa udah main serang aja pagi-pagi begini?" Key menatapnya dengan pipi menanjak akibat senyuman manisnya. Dia mengusap rambut Djuwira dan melihat kondisi wanita kesayangannya. "Apa kau mau lebih dari itu?" "Eh, tidak-tidak ... cukup, Tuan!" Djuwira menggeleng cepat. "Makanya jangan pernah tolak sesuatu yang kuberikan." Key mengeluarkan sesuatu dari kantongnya kemudian meminta Djuwira memejamkan mata. "A-Ada apa, Tuan? kenapa Tuan menyuruhku tutup mata?" tanyanya. Key mengusap muka Djuwira agar menuruti kemauannya kemudian meraih tangan gadis itu dan memasangkan sesuatu d
Key menggigit bibirnya saat mengejar Djuwira yang semakin menjauh. Hatinya berdebar keras, tercampur antara kekhawatiran akan keadaan Djuwira dan kemarahannya terhadap Uwais. Dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang Djuwira, tapi juga tentang keputusannya sendiri.Saat akhirnya ia berhasil menyalip Djuwira dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, Key turun dengan cepat dan berlari menghampiri Djuwira yang berjalan dengan langkah cepat."Djuwira!" panggilnya, napasnya terengah-engah.Djuwira berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Tuan, tolong jangan repot-repot. Aku baik-baik saja."Key mendekatinya dengan hati-hati. "Tolong dengarkan aku, Djuwira. Aku tahu ini semua terlalu cepat, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku mencintaimu, Djuwira. Harusnya aku tidak menyembunyikan masalah hatiku pada semua orang, tapi aku—"Djuwira akhirnya menoleh, matanya penuh keraguan dan ketidakpercayaan. "Tuan, bisakah kita bicara tentang ini nanti? Aku tidak ingin membuat masalah di
Dengan hati yang berat, Key memasuki mobilnya dan memulai perjalanan ke bar yang biasa didatangi oleh Key dan Uwais. Pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan dan kekecewaan atas keputusan Djuwira. Dia merasa seperti segalanya berantakan di sekitarnya, dan dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Di dalam mobil, Uwais berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Dia bercerita tentang rencana-rencana mereka untuk malam itu, mencoba mengalihkan perhatian Djuwira dari keheningan yang tegang. Namun, Djuwira hanya menatap keluar jendela dengan ekspresi datar. "Djuwira, ada apa?" tanya Uwais. Ia pun terkejut dan menoleh. "Eh, enggak ada apa-apa, Uwais." "Apa ada masalah?" tanya Uwais lagi masih penasaran. "Gak ada, Kok! aku cuman ngerasa lelah." Uwais menghela napas. "Lelahmu akan hilang nanti saat tiba di sana. Teyamo adalah bar termewah dan juga asyik!" Djuwira tersenyum. "Apa di sana banyak laki-laki kesepian?" Uwais kaget mendengarnya. "Kenapa kau tanya itu?" "Hah