Share

Bab 5. Pupus Harapan

Terhenyak seketika Djuwira mendengar pertanyaan dari Key.

"Mem-bantu, Tuan?" tanya balik Djuwira, sambil mengerutkan keningnya.

"Ya, bantu aku menyelesaikan masalah ini," jawab Key dengan ekspresi dinginnya. Bisa-bisanya dia melihat wanita cantik di depannya dengan perasaan canggung.

"M-masalah apa maksudnya, Tuan?" Djuwira pun terbata-bata menjawabnya.

"Jadi lah tunanganku malam ini," jawabnya dengan arah pandangan sedikit melenceng ke kanan. 

Bukan jawaban itu yang seharusnya keluar. Key malah menimpali dengan permintaan bukan penjelasan akan masalahnya. Djuwira dipaksa memahami hal yang tidak dia pahami.

"Tuan," sahutnya meminta Key melepaskan tubuhnya. Permintaan jadi tunangan bukanlah permintaan yang sepele. Masa depan bisa berubah kalau dia menerimanya.

Key mengabulkan permintaan lepas dari Djuwira kemudian menantikan jawaban atas pertanyaan tadi. Pikiran kusut yang melanda membuat Key memilih cara ini.

"Maaf, Tuan. Aku tidak bisa mengikuti kemauan Tuan. Aku tidak mau menerima tawaran yang diluar nalar," tolak Djuwira setelah berpikir singkat dengan penuh pertimbangan.

Key menarik napas panjang, lalu berbalik arah menuju jendela. Djuwira bisa melihat bayangan dirinya juga Key dari kaca. Terpampang jelas kalau Key kacau dengan masalah yang tidak diketahui olehnya.

"Kalau kau tidak mau, maka kau harus mengganti ponselku," singgungnya lagi tentang gawai yang tergeletak tak berdaya di atas meja.

Djuwira melirik benda tipis tersebut kemudian menarik napas bingung. "Apa yang terjadi, Tuan? Tunanganmu tidak datang?"

Key menghela napas dari hidungnya sedikit keras. "Kau tidak perlu tahu itu dan cukup menjawab pertanyaanku saja. Kau menolaknya, pertanda kau lebih memilih mengganti ponselku dari pada menerima tawaran tadi," jawabnya.

Tanpa banyak bicara, Key memberikan cek sisa pembayaran itu lagi pada Djuwira, lalu memintanya keluar. "Jangan muncul di hadapanku lagi dan apa pun yang terjadi di sini—lupakan saja. Jangan sampai aku mendengar ada seseorang yang membeberkan semua yang terjadi di sini."

Djuwira mengerti pada kalimat yang dia ucapkan tersebut. Ia pun tidak minat mengatakan semua yang terjadi karena dianggap bukan urusannya. Sebuah kartu nama diberikan Key pada gadis itu kemudian dibacanya.

"Keane Matsumoto, CEO Matsu Raga Jaya."

Dalam hitungan detik, mata yang tadinya menyempit langsung terbuka lebar dan terkejut batin mengetahui bahwa pria di depannya adalah sosok berpengaruh yang beberapa hari lalu fotonya terpampang jelas di sampul majalah terkenal.

"T-tuan benar-benar Keane Matsumoto?" tanya Djuwira gemetar.

Key meliriknya sesaat, lalu duduk di kursi. "Kenapa? Kau menyesal menolak tawaranku?" tanyanya.

Djuwira menggeleng dengan senyuman segan. "B-bukan begitu, Tuan. Aku hanya merasa beruntung bisa bertemu dengan Tuan walau pertemuan ini menyebabkan petaka bagiku sendiri."

Tawa Key dari embusan napas terdengar. Sulit baginya tertawa lepas sekarang karena beban yang sedang dipikulnya. "Aku tunggu kabar tentang ponselku di kantor."

"Iya, Tuan. Maaf karena aku tidak bisa membantumu. Aku hanya bisa mendoakan agar masalahmu cepat terselesaikan. Amin."

Djuwira mengangguk lambat. Dalam pikirannya, tak hanya Key yang diserang masalah, tapi sekarang dia punya masalah yang lebih berat dari beban hidupnya. Cek sisa pembayaran di meja diambilnya sebelum meninggalkan ruangan.

Dalam perjalanan menuju pintu, tba-tiba Djuwira berpikir kalau menerima tawaran itu bisa menghilangkan tanggungjawab mengganti ponselnya, maka dia akan melakukannya.

"Tuan," panggilnya berbalik badan.

Key menoleh sedikit pada gadis itu. "Ada apa?"

"Andai aku menerima tawaran itu, apa masalah ponsel ini akan selesai?" tanyanya.

Key tersenyum miring. "Harusnya begitu, tapi kau sudah menolaknya dan pantang bagiku memberi tawaran kedua. Jadi, pergi lah!"

Gubrak!

Terlambat sudah menemukan solusi atas masalah kerusakan gawai tersebut. Kesempatan terlewati penuh rasa penyesalan. Djuwira beringsut lemas meninggalkan ruangan. Dia terlalu cepat mengambil keputusan sebelum memikirkan kaitan antara masalah satu dan lainnya.

Di luar kamar, Djuwira masih berdiri menyandar pada dinding. Penyesalan terdalam menemaninya sepanjang perjalanan menuju toko roti Diamond.

Setibanya di parkiran, Djuwira berjalan lemas menuju pintu masuk yang hampir tertutup rapat itu. Dia pun bergegas menghentikan rekan kerjanya yang hendak menarik besi pelindung dari atas.

"Berhenti, Ted!" jeritnya.

Sontak pria berusia lebih muda darinya itu melihat ke belakang. Djuwira datang dengan muka bingung.

"Kenapa cepat banget tutup?" tanya Djuwira.

"Bos minta kita istirahat. Orderan seribu paket tadi membuat lelah semua orang. Kami menunggumu sejak tadi, tapi kau malah tidak pulang-pulang," jawabnya.

Djuwira tertawa malu. "Maaf, tadi aku ada urusan, jadi lupa kalau mobil ini kubawa," sahutnya.

Teddy menggeleng dengan decitan kecil. "Kau kadang-kadang menyebalkan!"

"Hehe, iya ... Maaf banget, ya!" Djuwira segera memasukkan mobil dalam garasi kemudian pulang bersama Teddy.

Setibanya di rumah, Djuwira tidak lagi bertemu dengan ayah juga adiknya karena keduanya sudah tidur. Dia pun segera membersihkan tubuh sebelum memejamkan kedua matanya.

Keesokan harinya, langit menuju pagi terasa mendung. Djuwira menatap keluar dari jendela. Ingin sekali rasanya dia terlelap seperti biasanya, tapi malam ini berbeda. Matanya yang dipaksa menutup, hanya terlelap sekitar dua jam dan sisa waktu hingga pagi dihabiskan Djuwira untuk melakukan banyak hal.

Dugaan Djuwira akan turun hujan pun terjadi. Ketika gadis itu selesai membuat sarapan untuk ayah dan adiknya, rinai hujan terus mengguyur kota. Rinaldi melihat langit dengan penuh cemas.

"Djuwira," panggilnya.

"Ya, Ayah?" sahut putrinya sambil membawa secangkir teh.

"Hujan. Kau tidak lupa beli payung baru 'kan?" tanya Rinaldi mengingat payung milik mereka rusak.

"Ya ampun!" Djuwira memukul kening sendiri. Dia lupa membelinya dan bisa membaca langkah selanjutnya usai memasak sarapan pagi ini.

"Kau lupa, Dju?" Rianaldi menggeleng kepala dengan cepat.

"Iya, Ayah! Aku lupa. Banyak banget kerjaan semalam." Djuwira ikut memperhatikan langit yang masih begitu mendung. Rintiknya turun tidak terlalu deras, tapi awet.

Tiba-tiba ponselnya berdering, Djuwira izin pada ayahnya untuk menjawab telepon. Saat dia membaca nama penelepon di layar, Djuwira pun memilih menjawab telepon itu di kamar agar lebih jelas suaranya ketimbang di ruang tamu yang begitu berisik karena suara tv juga hujan.

"Halo, Pak!" sapanya lebih dulu.

"Djuwira, kau dengar suaraku? Sinyalnya di sini lagi gak bagus," sahut pria yang berstatus bosnya itu.

"Ya, Pak! Saya mendengar suara bapak," jawabnya.

"Kalau begitu saya ingin menanyakan masalah semalam saat kau mengantar pesanan ke hotel Hibiscus." Obrolan pagi perihal pekerjaan membuat Djuwira jantungan.

"Ya, Pak. Kenapa ya, Pak?" Djuwira berharap tidak terjadi kesalahan.

"Kau tahu siapa yang memesan seribu paket roti itu?" Bosnya terus bertanya tanpa menjawab lengkap.

"Ya, saya mengetahuinya." Djuwira mengangguk cepat.

Hujan awet bertempo sedang berubah menjadi deras disertai petir. Djuwira kaget saat gelegar suara yang terdengar menakutkan. Ingin rasanya bersembunyi di balik selimut, tapi berhubung bosnya menghubungi, Djuwira harus menundanya dan pura-pura berani mendengar suara petir yang sedang terjadi.

"Saya mendapatkan laporan kalau kau sudah melakukan tindakan pele-cehan terhadap pe-milik acara," jelas pria tersebut dengan suara putus-putus akibat sinyal yang hilang timbul.

Djuwira merasa salah dengar dan menyahut, "Apa, Pak? Bisa diulangi lagi?" pintanya.

Pengulangan dari bosnya pun bisa dia dengar jelas kali ini. Djuwira syok seperti sedang terkena serangan jantung. "Astaga, Pak! Fitnah itu semua!" bantahnya merasa tidak pernah melakukan hal tersebut.

"Djuwira, saya tidak tahu siapa yang benar dan salah, tapi saya hanya ingin mempertahankan reputasi usaha ini dan menjaga relasi dengan pembeli," ungkapnya dengan sabar.

"Ya, Pak, saya tahu itu. Cuman ... Saya berusaha jujur sama Bapak kalau semua tuduhan itu tidak benar, Pak," katanya membela diri.

"Saya percaya padamu, tapi saya juga tidak bisa memutus kepercayaan pembeli dari keluarga Matsumoto. Jadi, dengan berat hati saya katakan kalau masa kerjamu berakhir pagi ini. Kau tidak perlu datang lagi setelah membereskan barang-barang yang tertinggal di sini," tukasnya dengan suara penuh penekanan supaya Djuwira mengerti.

Napas Djuwira mendadak seperti berhenti. Setiap tarikannya begitu berat dan tersendat. Kali ini dia merasa tidak salah dengar karena sinyalnya bagus walau sedang hujan.

"Tapi kenapa saya malah dipecat, Pak? Saya gak salah, Pak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status