Share

Bab 4. Perempuan Dalam Pelukan

Dia pun menunduk, menatap karpet di bawahnya sambil berpikir. "Bukan cuma rusak, tapi mati total. Berarti biayanya lebih banyak atau jangan-jangan aku harus menggantinya dengan yang baru?" tanyanya dalam hati sambil menduga-duga, kedua matanya terbelalak menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membeli ponsel baru yang sama seperti itu.

Ingin rasanya Djuwira melarikan diri saja saat ini. Pikiran tanggung jawab atas kesalahannya harus dikubur dalam-dalam. Dia menyesal sudah bersedia bertanggung jawab.

Sambil tersenyum sedih, Djuwira menggeleng dengan dada sesak, lalu mundur dari posisinya saat ini. Dia benar-benar ingin kabur saja. Mengabaikan pandangan dingin dan menakutkan dari pria di depannya yang sudah membaca gerakan melarikan dirinya.

"Aku harus pergi," bisiknya dalam batin mengingat uang dalam dompet dan rekeningnya sangat terbatas.

Namun, baru dua langkah bergerak menjauhi pria tersebut—suara bel berbunyi pun terdengar. Membuat keduanya sama-sama menoleh. Sontak saja Djuwira mempercepat larinya kemudian dikejar oleh pria bertubuh tinggi dengan suara hak rendah pantofel yang digunakan bergesekan dengan lantai.

Tiba-tiba pria itu berhenti melangkah dan segera berbalik arah. Berjalan cepat menuju Djuwira kemudian menarik tangannya kasar dan membawa wanita itu ke belakang pintu. Menghempas tubuh Djuwira dengan kuat.

Djuwira menahan sakit dengan pandangan tetap pada pria di depannya. "Kenapa Tuan menarik saya?" tanya Djuwira.

Pria itu meminta Djuwira diam dengan jari telunjuk yang menutup bibirnya sendiri. Kedua mata indahnya menatap bergantian ke iris Djuwira kemudian memindahkan gadis itu ke dinding. Tepat di dekat pintu.

"Diam, jangan bersuara."

Djuwira langsung memasukkan kedua bibirnya ke dalam kemudian mengangguk dengan wajah panik. Tidak lama setelah itu, pintu dibuka dan Djuwira berada di baliknya. Dia disembunyikan oleh pemilik kamar saat ada yang datang. Rencana kaburnya gagal total. Bahkan dia tidak bisa bergerak bebas karena mulutnya dibekap oleh pria itu.

"Key, kau sedang apa? Ini sudah jam berapa, kenapa belum turun juga?!" tanya seorang wanita pada putranya.

Djuwira tidak bisa melihat wajah wanita itu dan hanya mendengar suaranya dari balik pintu. Dari sapaan pertama tersebut, Djuwira tahu nama pria yang sudah menghempasnya ke pintu dan dinding adalah Key.

"Sebentar lagi aku turun, masih bersiap-siap," jawab Key.

"Ponselmu mana? Mama hubungi sejak tadi, tapi tidak aktif," tanya wanita yang ternyata adalah ibunya.

"Rusak, Ma. Tiba-tiba mati," jawab Key, sambil menekan mulut Djuwira.

Djuwira berusaha menurunkan tangan Key dari mulutnya karena tenaga yang dia keluarkan terlalu besar. Namun, Key tidak mau menurunkan bekapan itu bahkan semakin dalam dan lebih naik lagi sampai menutupi hidung.

Bernapas dengan masker terpasang di wajah saja sudah menyulitkan, Key malah menambah beban lagi.

"Apa semua baik-baik aja, Key?" Sang ibu merasa wajah putranya tidak tenang.

"Semua baik-baik aja, Ma," jawabnya tersenyum tipis.

"Keluarga Sayuri belum datang satu pun, apa kau sudah menghubunginya?" Mamanya merasa risau.

Muka Key berkedut sebelah karena tidak punya jawaban atas pertanyaan ibunya. Key mengangguk saja agar tidak ada yang mengetahui keadaan sebenarnya.

Wina menyempitkan kelopak matanya kemudian pergi dengan perasaan tidak tenang. Key menutupi sesuatu yang terjadi tepat di hari pertunangannya dan sedang mencari solusi atas masalahnya.

Begitu pintu tertutup, Djuwira terlepas dari bekapan Key dan tiba-tiba terduduk lemas. Lubang pernapasan yang ditutup Key membuatnya kekurangan oksigen.

"APA KAU GILA?!" bentaknya dalam keadaaan lemah, tapi amarahnya yang dipendam akibat menutup mulut dan hidungnya membuat Djuwira menyisakan sedikit tenaga untuk membentaknya. Panggilan formal itu pun luntur setelah kejadian ini.

Key terkejut mendengar wanita itu bersuara lantang. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan alis menyatu.

Djuwira bangkit dari lantai kemudian memperbaiki maskernya sebelum menjawab pertanyaan pria tersebut. Begitu tubuhnya sudah berdiri menghadap Key, dia pun berkata, "Kau menutup mulut dan hidungku! Kau tidak perlu melakukan itu, Tuan! Kalau aku mati bagaimana?"

Key mengernyit emosi kemudian melangkah semakin dekat dengan Djuwira sampai wanita itu mundur dan bersandar ke dinding. "Ini hari pertunanganku, ponselku jatuh karena kau dan aku tidak bisa menghubungi tunanganku," balasnya.

Sinar amarah di mata Djuwira sedikit meredup karena Key menyinggung masalah ponsel yang jatuh. "Apa karena ponselmu kau tidak bisa menghubungi tunanganmu, Tuan?" tanyanya dengan nada lebih rendah. Meragukan jawaban pria di depannya.

"Ya, salah satunya karena itu." Key berdecak kesal mengingat Sayuri yang sejujurnya memang sudah bermasalah sebelum ponselnya rusak. Djuwira malah menyudutkannya dengan pertanyaan dengan makna interogasi.

"Oke, sebagai gantinya pakai aja ponselku," tawar Djuwira sebagai bentuk rasa bersalah. Dia mencoba mencari cara agar pria itu menemukan tunangannya.

Key berpaling dengan embusan napas keras. Satu tangannya berada di pinggang sementara satu lagi memijat kening. "Kau tidak perlu berbaik hati. Pergi ambil uangmu dan tinggalkan kamar ini," jawabnya.

Djuwira menggeleng cepat. "Tidak, Tuan. Aku merasa ini salahku. Sebelum aku pergi, kumohon katakan apa yang harus kulakukan agar masalah ponsel Tuan selesai. Tuan membuat keadaan ini seperti semuanya salahku," sambarnya lagi, menolak pergi meski sudah diberikan izin.

Key memejam mata saat menarik napas dalam. Dia tidak mungkin mengatakan kalau tunangannya berniat membatalkan acara yang dianggap penting ini. Langkahnya semakin jauh dari Djuwira hingga menuju jendela.

"Jika benar karena ponsel itu rusak dan Tuan tidak bisa menghubunginya, maka pakai aja ini," ulangnya lagi menawarkan alat komunikasi miliknya sambil mengikuti dari belakang.

Begitu sampai ke dekat jendela, Key berbalik arah secara mendadak dan membuat Djuwira terkejut. Jarak yang terlalu dekat menjadi alasan Djuwira tidak siap mengelak saat Key memutar tubuh. Sontak saja wanita itu terjatuh ke menarik tubuhnya ke belakang dengan keseimbangan yang buruk.

Dalam hitungan detik, Djuwira akan jatuh.

Beruntung Key sigap membaca situasi kemudian menangkap tubuh Djuwira dengan menarik sisi depan kemejanya dengan tangan kiri. Tak hanya itu saja, tangan kanan Key juga spontan melingkar ke pinggangnya. Membawa tubuh wanita itu menyatu dengannya agar tidak bersentuhan dengan lantai.

Adrenalin Djuwira terpacu amat kencang. Dia sudah pasrah dengan kenyataan akan jatuhnya dia ke lantai, tapi gerakan Key menangkapnya justru membuat gadis itu terkejut. Sebagai balasan sikap spontan Key, tangannya pun mencengkram erat kemeja putih tersebut.

"Ah," lirihnya saat tubuh mereka berbenturan akibat tarikan Key ke dalam pelukan.

Sepasang mata Djuwira terpaku menatap Key dengan segala ketampanannya. Tak disangka kalau Key masih peduli meski sejak tadi dirasa begitu dingin juga tidak manusiawi karena sudah membekap mulutnya.

Napasnya tertahan karena jarak mereka tak lagi jauh. Pandangan itu tidak sepihak. Key juga menatap erat Djuwira tanpa bergeming.

"Terimakasih, Tuan," kata Djuwira bernada rendah. Perlahan gelombang aliran darahnya yang naik turun mulai tenang.

Key masih memandangi dia penuh rasa kagum. Mengagumi keindahan mata dan juga aroma tubuh dari perempuan dalam pelukan. Pun Djuwira tidak merasa ingin buru-buru lepas dari pelukan yang menjadikannya nyaman.

Djuwira terlalu mudah jatuh hati akibat tidak pernah berhadapan terlalu intens dengan lelaki selama hidupnya.

"Apa kau bisa membantuku?" tanya Key tiba-tiba. Kedua matanya pelan-pelan menyempit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status